Terdakwa Deddy Kusdinar, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus menduduki jabatan sebagai Kabiro Perencanaan Sekertariat Kemenpora dituntut Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan hukuman 9 tahun penjara dikurangi masa kurangan yakni subsider 6 bulan dengan denda Rp 300 juta dan denda sidang pengganti Rp 300 juta jika tidak diganti selama 1 bulan maka diganti dengan 1 tahun penjara
Deddy Kusdinar, ungkap jaksa Kadek Wiradana, melanggar Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/02), Deddy dinilai terbukti bersalah lantaran diduga perbuatannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen dan Kabiro Perencanaan Sekertariat Kemenpora telah memperkaya diri sendiri dan orang lain.
Selain itu, Deddy dianggap menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya selaku Kabiro Perencanaan Sekertariat Kemenpora dan selaku PPK yang telah melakukan pengaturan dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Apa kata Deddy Kusdinar?
"Ketika akan diberi tugas sebagai PPK proyek Hambalang oleh atasannya, saya sempat menolak. Namun Wafid Muharam, Sesmenpora saat itu meyakinkan agar saya mau menerima tugas tersebut dan hanya tiga bulan saja," ungkap Deddy Kusdinar dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta dengan agenda nota pembelaan pribadi terdakwa, Selasa (25/02).
Kata Deddy, dirinya masih ragu untuk menerima tugas sebagai PPK. Kemudian atasannya, Wafid Muharam membuat pernyataan di atas materai bahwa beliau bertanggung jawab atas jabatan yang saya emban. "Akhirnya saya melaksanakan jabatan itu," katanya.
Sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Deddy Kusdinar mengakui telah menyalahgunaan wewenang yang dimilikinya. Hanya, tindakan tersebut dilakukannya tanpa sengaja karena hanya menjalankan perintah atasan karena rasa patuh.
"Niat saya hanya ingin menjalankan perintah atasan karena rasa patuh terhadap atasan saya....Perintah atasan membawa saya ke kursi hukuman ini," ungkap Deddy Kusdinar.
Deddy menilai dirinya sudah menjadi korban dari sebuah proyek besar Hambalang. "Saya hanya menjadi korban dari permainan politik di dalam persidangan. Dari 70 saksi hanya 20 yang saya kenal. Selebihnya, dalam sidang saya hanya jadi ajang politik," ujarnya.
Deddy merasa kaget mendengar tuntutan jaksa yang memintanya dihukum 9 tahun penjara serta uang denda Rp 300 juta. "Begitu besarkah kesalahan yang saya lakukan sehingga penuntut umum ingin menghukum saya seberat itu," katanya.
Dibagian lain pembelaannya, Deddy Kusdinar membantah memperkaya diri dalam proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor.
"Apa yang dituduhkan ke saya Rp 1,4 miliar melalui dakwaan penuntut umum ternyata tidak terbukti karena peruntukannya jelas," katanya.
Deddy menjelaskan, uang Rp 250 juta dari PT GDM merupakan pinjaman pribadi dari Paul Nelwan yang telah dikembalikan. Sementara yang Rp 100 juta dari Lisa Lukitawati adalah pembayaran utang. Begitu juga yang Rp 40 juta juga sudah dikembalikan pembayaran utang kurban hewan serta yang Rp 10 juta dari PT CCM pada tahun 2011 adalah sumbangan dari Ginting ke masjid.
Terkait tudingan ikut mengatur proses lelang Hambalang, Deddy mengatakan, sebagai pejabat pembuat komitmen dia hanya menerima laporan dan usulan dari panitia.
"Saya tidak turut campur pada proses lelang, saya mengingatkan pelaksanaan lelang harus sesuai aturan,"ungkap Deddy seraya menegaskan bahwa perihal kontak tahun jamak, dirinya hanya melaksanakan perintah Sesmenpora yang memperkenalkan saya dengan Arifin.
"Dia yang mengatur proyek ini tanpa pengetahuan saya dan ternyata dia dan stafnya yang mengatur perubahan kontrak tahun jamak," ungkap Deddy.
Sementara soal fee 18 persen yang diminta Choel Mallarangeng, Deddy mengaku baru mengetahuinya dari Arifin dan Lisa, Tim Asistensi proyek bentukan Wafid Muharam.
Kata Deddy, terkait pertemuan dengan Teuku Bagus M Noor, pejabat Adhi Karya, Deddy sebatas menanyakan persiapan kontrak kerjasama dengan Kemenpora. "Sedangkan yang membicarakan fee, Arifin dan Lisa. Saya tidak tahu masalah fee."
Bagaimana majelis hakim bersikap, setelah mendengarkan dakwaan Jaksa, keterangan para saksi dan pembelaan Deddy Kusdinar?
Hari ini, Selasa 11 Maret 2014 majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara, denda Rp100 juta subsidair 3 bulan dan uang pengganti Rp300 juta terhadap Deddy Kusdinar. Ia dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang dalam proyek lanjutan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor.
“Terdakwa Deddy Kusdinar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Ketua Majelis hakim, Amin Ismanto membaca putusannya.
Kata Hakim, Deddy yang juga pejabat pembuat komitmen (PPK) saat proyek berlangsung, terbukti menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangannya dalam proyek yang merugikan keuangan negara Rp463,668 miliar.
Hakim menyebut Deddy ikut menentukan pemenang lelang, ikut mengurus kontrak tahun jamak ke Kementerian Keuangan. Selain itu Deddy juga memaksa proses pelaksanaan proyek Hambalang tanpa studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Terdakwa memfasilitasi pemberian dari Adhi Karya untuk diberikan kepada Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng sebagai fee 18 persen yang diminta," ujar hakim.
Atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim, Deddy Kusdinar mengaku kaget mendapat hukuman dianggapnya berat.
"Saya masih shock, ini di luar nalar pengetahuan saya tentang hukum, saya tidak mengerti saya," kata Deddy kepada wartawan usai persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (11/03).
Terkait uang pengganti sebesar Rp300 juta, Deddy membantah dia turut menikmati dana Rp 300 juta dalam proyek tersebut. "Kalau saya mau korupsi nggak usah Rp 300 juta, masa dari Rp 2 triliun saya korupsi Rp 300 juta, saya rampok saja," ujarnya.
Selain memvonis Deddy, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengabulkan permohonan Deddy sebelumnya agar Jaksa Penuntut Umum membuka blokir rekening miliknya karena istrinya kesulitan mengambil gaji.
"Memerintahkan penuntut umum pada KPK membuka blokir rekning milik terdakwa di Bank BRI," kata hakim ketua Amin Ismanto.
Apa saja penyimpangan kewenangan yang dilakukan Deddy?
Menurut Hakim anggota, Sutio Jumadi, terdakwa memberikan surat tugas kepada Muhammad Arifin untuk mengurus pendapat teknis ke Kementerian PU terkait proyek P3SON di Hambalang.
Selain itu, terdakwa juga meminta Asep Wibowo dan Arifin membuat Rancangan Anggaran Biaya proyek P3SON di Hambalang, serta terdakwa mengajukan perhitungan biaya anggaran yang direncanakan Rp 2,5 triliun.
Kata Anwar, hakim anggota lainnya, terdakwa juga terlibat menentukan perusahaan yang akan menjadi pemenang lelang yaitu PT Yodya Karya menjadi konsultan perencana, PT Ciriajasa Cipta Mandiri sebagai konsultan manajemen konstruksi sebelum lelang dilakukan. "Dan PT Adhi Karya menjadi pelaksana jasa konstruksi."
Menurut Hakim, Deddy juga mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang penyusunan didasarkan pada bill of quantity (BoQ) yang dibuat PT Adhi Karya, bukan oleh panitia ataupun konsultan Perencana.
"Terdakwa menandatangani kontrak multi years padahal izin kontrak multiyears dari Kementerian Keuangan belum ada," ungkap Anwar.
Proses pembangunan P3SON dilakukan tanpa studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) terhadap lokasi. "Bahkan hingga proyek dihentikan, AMDAL tersebut tidak ada, padahal dalam pembangunan P3SON diwajibkan adanya AMDAL," kata Anwar.
Seperti apa cerita proyek pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON)? Kemana saja uang mengalir?
Terkait pengajuan usulan penambahan anggaran pembangunan P3SON, Menpora Andi Alifian Mallarangeng dan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam melakukan pertemuan di ruang kerjanya dengan anggota DPR, yakni Mahyudin, Angelina Sondakh, Mirwan Amir dan Muhammad Nazaruddin.
"Dalam pertemuan tersebut dibahas program-program dan anggaran Kemenpora. Dan saat itu Menpora Andi Alifian Mallarangeng menyatakan untuk penyusunan APBN Perubahan 2010 dari Kemenpora akan diproses Wafid Muharam," ungkap hakim.
Kemudian, usai pertemuan, ditindaklanjuti dalam pertemuan berikutnya di restoran Jepang di Senayan. Setelah itu pada 2 Mei 2010 Pokja anggaran Komisi X DPR menyetujui penambahan dana proyek Hambalang sebesar Rp 150 miliar dalam APBNP 2010.
Dengan demikian jumlah anggaran yang tersedia pada tahun 2010 untuk P3SON menjadi Rp 275 miliar.
"Atas penambahan anggaran tersebut Wafid Muharam melalui Paul Nelwan meminta uang Rp 500 juta kepada PT Adhi Karya dan Rp 100 juta dari Poniran, sehingga seluruhnya menjadi Rp 600 juta yang selanjutnya diserahkan kepada Profesor Mahyudin pada saat kongres Partai Demokrat di Bandung," kata Sutio Jumadi, hakim anggota.
Menyusul pengesahan APBNP Kemenpora 2010, Deddy Kusdinar bersama Wafid Muharam mengajukan permohonan pelaksanaan P3SON Hambalang dengan kontrak tahun jamak ke Kementerian Keuangan.
"Dalam surat disebutkan pelaksanaan P3SON akan dilaksanakan 3 tahun dan dimohonkan diberlakukan tahun jamak," ujar hakim.
Selain menyebut Mahyudin menerima uang sebesar Rp600 juta, Majelis hakim menyebut Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat berperan mengurus keluarnya SK hak pakai tanah di Hambalang.
Kata Sutio Jumadi, untuk pengurusan sertifikat Hambalang, Sesmenpora kala itu Wafid Muharram meminta Muhammad Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang untuk membantu mengurus masalah tanah Hambalang di Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI.
"Dan Muhammad Nazaruddin kemudian menyampaikan itu kepada Anas Urbaningrum selaku ketua fraksi Partai Demokrat di DPR dan selanjutnya Anas Urbaningrum memerintahkan Ignatius Mulyono selaku anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat yang mitra kerjanya BPN RI untuk mengurus permasalahan sertifikat hak pakai tanah untuk P3SON," kata Sutio.
Kemudian, kata majelis hakim, Ignatius Mulyono berhasil mengurus SK Hak Pakai atas tanah Hambalang dan kemudian menyerahkan SK tersebut ke Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.
"Bahwa pada sekitar Januari 2010, Mindo Rosalina menemui Wafid Muharam dan menyerahkan foto copy surat keputusan Kepala BPN RI tanggal 6 Januari 2010 tentang pemberian hak pakai atas nama Kemenpora," ungkap hakim dalam persidangan.
Kemudian, Wafid Muharam melaporkan soal keputusan Kepala BPN dimaksud kepada Menpora Andi Mallarangeng. Untuk pengurusan ini, Nazaruddin dan anak buahnya di Permai Group, Mindo Rosalina Manulang menyerahkan uang ke Kepala BPN saat itu.
"Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang telah menyerahkan uang Rp 3 miliar kepada Kepala BPN RI Joyo Winoto," tegas Sutio.
Sementara soal Andi Zulkarnaen Anwar alias Choel Mallarangeng, menurut majelis hakim, meminta jatah fee 18 persen terkait proyek pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON). Duit ini disediakan PT Ahdi Karya yang saat itu menjadi calon pemenang lelang proyek.
Kata Sutio Jumadi, permintaan jatah fee 18 persen ini disampaikan Choel pada pertemuan di restoran di Plaza Indonesia.
Pertemuan pada sekitar bulan September-November 2010 ini dihadiri Deddy Kusdinar, Seskemenpora saat itu Wafid Muharam dan Fahrudin staf khusus Andi Mallarangeng saat menjabat Menpora.
"Dalam pertemuan tersebut Choel Mallarangeng mengatakan "Kakak saya kan sudah setahun jadi menteri masak belum ada apa-apa ke saya, tolong backup dia dan jangan lupa bantu kami," tutur Sutio.
Setelah itu, Deddy Kusdinar melakukan pertemuan di ruang kerja Andi Mallarangeng dengan pihak PT Adhi Karya sebagai calon pelaksana pekerjaan konstruksi yang dihadiri Wafid Muharam, Choel Mallarangeng, M Fahrudin, M Arief Taufiqurrahman.
"Sebagai tindak lanjut, terdakwa bersama Lisa Lukitawati bertemu Teuku Bagus M Noor meminta fee 18 persen sebagaimana yang diminta Choel Mallarangeng. Teuku Bagus M Noor mengatakan realisasi fee akan diberikan melalui Machfud Suroso," ungkap Sutio.
"PT Adhi Karya mengeluarkan sejumlah uang yaitu Rp 14,601 miliar yang sebagian uang tersebut dari PT Wika sejumlah 6,9 miliar yang mana uang itu dikeluarkan untuk diberikan kepada terdakwa Wafid Muharram, Anas Urbaningrum, Professor Mahyudin, Aderusman Dault, Olly Dondokambey, petugas Kementerian Pekerjaan Umum, panitia pengadaan, anggota DPR dan pengurusan perizinan," ungkap Anwar, hakim anggota.
Menurut majelis hakim, uang itu diberikan setelah Deddy selaku pejabat pembuat komitmen menyetujui pembayaran kepada KSO Adhi-Wika sebagai perusahaan rekanan proyek pada tahun 2010 dan 2011.
Selain duit tersebut, Deddy pernah mengirim duit Rp 150 juta yang dikirim 3 tahap masing-masing Rp 50 juta ke rekening Iim Rohimah, sekretaris Menpora saat itu Andi Mallarangeng. "Yang digunakan untuk keperluan operasional Menpora," sebutnya.
Hakim juga menyebut Wafid Muharram selaku Sesmenpora menerima duit dari PT Adhi Karya dan PT Global Daya Manunggal yang digunakan untuk keperluan operasional Menpora Andi Mallarageng.
"Di antaranya operasional Menpora, tunjangan hari raya , serta akomodasi pembelian tiket menonton bola piala AFF di Senayan dan Malaysia," kata Hakim Anwar.
Lantas, akan seperti apa tindak lanjut dari materi dan fakta hukum yang disampaikan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam vonis terhadap Deddy Kusdinar? Kita tunggu episode selanjutnya. Masih ada terdakwa lainnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved