Memilih bermusik di jalur indie tentu bukan hal mudah. Apalagi memutuskan untuk secara spesifik menyuarakan tentang lingkungan, kerusakan alam, dan perubahan iklim.
Tapi jalur tersebut dengan sadar dipilih oleh Asteriska, pemusik spesialis lagu-lagu lingkungan hidup. Perempuan muda yang juga vokalis Barasuara ini dengan sadar memilih jalur solo kariernya untuk menyuarakan kegelisahan hatinya tentang bumi yang makin rusak.
Keinginan itu bermula ketika penyanyi yang juga dipanggil Icil ini diajak ke Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat oleh Greenpeace pada 2020.
Bersama Greenpeace dan Watchdoc, Icil diajak terlibat untuk proyek video Tenggelam Dalam Diam yang mendokumentasikan dampak abrasi terhadap wilayah di pesisir pantai Jawa Barat.
Kegelisahan itu akhirnya dia sampaikan lewat lagu. Sejak itu, Icil memutuskan untuk secara konsisten menyuarakan tentang kerusakan alam melalui lagu-lagu yang dia ciptakan sendiri.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Asteriska di Jakarta.
Berikut wawancara lengkapnya:
Bagaimana cerita awalnya ketika memilih menjadi musisi yang menyuarakan soal kerusakan lingkungan?
Awalnya saya suka travelling, termasuk naik gunung. Sampai akhirnya saya bertanya ke diri sendiri, apakah perjalanan yang saya lalui ini bisa membuat bumi saya semakin rusak? Lalu muncul juga pikiran, kalau bumi semakin rusak, saya malah enggak akan bisa travelling. Dari situ muncul kerisauan. Mulai muncul banyak pertanyaan, bagaimana kalau bumi semakin rusak. Orang-orang mulai koar-koar soal kerusakan lingkungan, tapi aku bingung mau bantu apa. Akhirnya karena saya adalah musisi, saya memutuskan untuk ikut menyuarakan lewat lagu.
Makin merasa dekat atau relate antara kehidupan dengan lingkungan ya?
Betul. Jadi isu lingkungan ini memang dekat sekali dengan kehidupan saya, kehidupan kita. Kalau enggak ada orang yang menyuarakan lingkungan dengan konsisten, kita enggak tahu, bagaimana nasib kita lima tahun lagi di Jakarta? Bisa jadi kondisi lingkungan makin memburuk dan membahayakan. Karena saya musisi, jadi saya memilih musik untuk bersuara.
Bersuara lewat lagu jadi pilihan yang sangat pas?
Iya. Karena menurut saya, yang bisa saya lalukan adalah bersuara dengan halus. Musisi itu kan bersuara dengan halus ya, enggak marah-marah, jadi lebih bisa masuk ke telinga orang. Lalu saya memulainya dengan menuliskan kerisauan saya, belum sampai memberitahu orang, tapi menuliskan hal yang menjadi kerisauan saya itu.
Akhirnya saya mulai menulis lagu, sampai akhirnya diajak oleh teman-teman di IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts, and Music Lab) untuk bergabung.
IKLIM ini organisasi atau agency?
IKLIM ini komunitas musisi-musisi yang menyuarakan alam. Dari situ saya tahu, ternyata memperjuangkan lingkungan lewat lagu itu ternyata bisa bersama-sama, enggak harus sendirian.
Awalnya kan aku sendirian, terus sempat bingung, karena setelah bikin lagu kok enggak ada gaungnya. Dengan bergabung ke IKLIM akhirnya orang jadi tahu, ada kelompok musisi yang menyuarakan tentang alam. Karena di situ kami dikumpulkan, dibuatkan katalog. Dan saya jadi merasa bahwa kesempatan untuk menyuarakan kegelisahan saya tentang lingkungan semakin terbuka lebar kesempatannya. Seperti kali ini saya diajak menjadi pengisi acara di Green Press Community ini, itu jadi terbuka setelah saya tergabung di komunitas IKLIM ini.
Berapa lama prosesnya dari mulai menciptakan lagu sampai akhirnya terjun serius menyuarakan lingkungan?
Kalau terlibat dalam urusan musik sebenarnya sudah sejak lama. SMP saya sudah punya band, SMA juga sudah punya band. Tapi baru memantapkan karier sebagai musisi itu ditahun 2010. Tapi kalau bersuara tentang alam dan lingkungan itu terjadi setelah saya diajak jalan oleh Green Peace ke Muara Gembong beberapa tahun lalu. Saat itu saya merasa, sebagai influencer, saya punya kewajiban untuk memberitakan keadaan bumi. Tapi saya bertanya sendiri, masa cuma post di media sosial saja? Padahal sebagai musisi, harusnya saya bisa memberikan lebih. Akhirnya saya memutuskan bikin lagu, karena yang terjadi ini sudah menjadi kegelisahan yang nyata.
Memang kondisi apa yang Anda temukan di Muara Gembong?
Di Muara Gembong, orang sudah kesulitan mendapatkan air bersih, lingkungan sudah butuh pertolongan. Sedih sekali melihat kondisi lingkungan di sana.
Dari situ saya merasa suara hati saya semakin membesar untuk ikut menyuarakan kegelisahan tentang rusaknya lingkungan melalui lagu. Dan setelah memutuskan itu, saya juga tidak mau setengah setengah. Meski saya bukan aktivis yang seperti yang lain, tapi pelan-pelan akhirnya saya bisa bertemu dan berkumpul dengan teman-teman yang punya visi dan misi yang sama.
Semoga ini bisa jadi semakin besar, dan semakin besar agar teman-teman juga semakin peduli. Karena akhirnya kita berada di komunitas yang sama, musisi dan pendengarnya punya kepedulian yang sama dengan isu lingkungan.
Sudah berapa banyak lagu tentang lingkungan yang diciptakan?
Kalau lagu yang saya ciptakan mungkin sudah lebih dari 100 lagu ya. Tapi kalau yang dirilis di spotify jumlahnya mungkin baru 30-an lagu.
Saya agak lupa. Karena bikin lagu dengan merilis lagu itu berbeda. Kalau bikin lagu, saya bisa bikin kapan saja ide itu muncul. Tapi kalau merilis lagu perlu konsep, perlu uang, dan seterusnya. Jadi kalau yang dirilis memang belum banyak. Tapi itu lagu gabungan ya, maksudnya tema lagunya beragam. Kalau lagu soal lingkungan baru aku mulai di tahun 2020, setelah aku diajak ke Muara Gembong oleh Green Peace itu, dan baru mulai rilisnya di tahun 2021. Jadi ya baru tiga tahun terakhir ini serius menulis lagu-lagu tentang lingkungan.
Memilih berada di jalur yang bukan mainstream, enggak khawatir dengan kariernya?
Enggak. Sejak awal saya memang memilih jadi musisi yang bukan di jalur mainstream. Sudah sejak awal saya memilih jadi musisi jalur indie. Jadi ya enggak ada masalah buat saya. Saya menulis dan bernyanyi untuk menyuarakan isi hati dan kegelisahan yang saya rasakan. Jadi buat saya tidak ada masalah dengan karier. Dan saya percaya musik itu ada jalannya. Selalu ada jalannya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved