Penampilannya sangat sederhana, namun hasil kerjanya tidak main-main. Jika melihat FAO Food Hero 2024, Nissa Wargadipura, secara sekilas, mungkin tak akan berpikir bahwa dia adalah perempuan desa pada umumnya.
Dia baru saja dinobatkan oleh badan PBB, Food and Agriculture Organization (FAO) menjadi FAO Food Hero 2024.
Tampilan pakaian yang dia kenakan tak terlihat mahal dan mewah, wajahnya polos tanpa make up, dan tubuhnya mungil.
Nissa Wargadipura adalah perempuan asal Garut yang mendirikan Pesantren Ath Thaariq di kota dingin tersebut.
Tak sekadar belajar agama, santri di Pesantren Ath Thaariq diajak mengelola lahan, sawah dan hutan untuk menjaga keberlanjutan ekologi, memenuhi kebutuhan operasional pesantren dalam hal pangan dan nutrisi, sekaligus berbagi pada warga sekitar dan jaringan pesantren.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Nissa Wargadipura tentang kiprahnya menjaga alam sekaligus mandiri dalam pemenuhan pangan dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Selatan. Berikut wawancaranya:
Anda menerima penghargaan sebagai FAO Food Hero 2024. Boleh diceritakan apa sebenarnya yang dilakukan oleh Anda dan Pesantren Ath Thaariq?
Jadi Pesantren Ath Thaariq ini adalah pesantren yang berbasis hutan pangan. Hutan pangan itu, basisnya adalah pohon-pohon tinggi, karena kami harus membangun ekosistem, jadi pohon-pohon tinggi itu menjadi rumah burung, menjadi rumah tupai, dan hewan lain.
Kemudian di bawahnya adalah tanaman karbohidrat yang lain. Ada talas, ada ubi-ubian. Dan itu bisa diakses. Hutan pangan itu biasanya selalu surplus. Jadi tidak semua hasil hutan itu kami yang nikmati, tetapi tetangga kampung kami juga ikut menikmati.
Kami dan para santri, yang rentang usianya adalah SMP sampai kuliah, menanam berbagai sayuran dan kebutuhan nutrisi lain. Tapi hasil yang kami dapatkan tidak hanya untuk kami dan para santri, tapi juga untuk warga sekitar.
Selain itu, kami juga bisa memberikan benih ke seluruh Indonesia. Karena ada jaringan-jaringan kami yang menjadi pamong di desanya. Ikut menerima benih yang berasal dari kami.
Katanya Pesantren Ath Thaariq ini juga berbasis agroekologi. Boleh dijelaskan konsep agroekologi yang dijalankan pesantren ini?
Agroekologi itu kan berbasis pengetahuan dan berbasis kebutuhan. Jadi kami membuat zona-zona berdasarkan kebutuhan. Misalnya kami membutuhkan protein, maka kami menyiapkan zona untuk memenuhi kebutuhan protein. Jika kami membutuhkan sayuran, maka kami siapkan zona untuk memenuhi kebutuhan protein. Kami juga menyiapkan zona untuk keberlangsungan tanaman, misalnya menyediakan magot untuk pakan ikan, ya kami sediakan zonanya. Jadi kalau dibutuhkan kami sediakan zonanya, kalau tidak dibutuhkan ya tidak kami siapkan.
Apa yang menjadi basis utama gerakan Pesantren Ath Thaariq ini?
Semuanya ini kami jalani dengan basis kesehatan keluarga dan keanekaragaman hayati. Jadi akses dari pertanian keluarga ini bisa dalam bentuk tidak mempunyai lahan garapan. Tapi kampung itu menjadi wilayah yang mampu menyelamatkan pangan keluarga yang tentu saja beraneka ragam.
Nah landscape argoekologi itu bisa masuk untuk petani-petani yang tidak bertanah juga, tetapi mempunyai kemampuan untuk memberikan keamanan pangan bagi masyarakat miskin. Kan kampung itu adalah satu kesatuan yang kecil dan itu cukup untuk memberi makan keluarga-keluarga miskin.
Pola penanamannya apa? Tumpeng sari atau pola apa?
Polanya ya keanekaragaman hayati. Jadi ekologi naik, ini kan persoalannya adalah kacaunya atau porak porandanya ekosistem di Indonesia. Jadi ekologi naik, ekonomi naik.
Nah ekonomi itulah yang kemudian menjadi basis semua petani-petani atau buruh-buruh petani kecil. Jadi bukan persoalan tumpeng sari, tapi persoalan bagaimana keluarga-keluarga ini, terutama masyarakat miskin mampu mengakses pangan yang sehat dari berbasis landscape pertanian yang ramah. Jadi pertanian yang tidak merusak, pertanian yang tidak menggunakan insektisida, pestisida. Tapi pertanian yang berbasis pada benih-benih lokal yang mampu beradaptasi di wilayahnya sendiri.
Tidak semua orang ini maksudnya, tidak semua orang bisa menanam karena tidak semua orang punya lahan?
Jadi begini, tidak semua kita ini punya tanah. Tapi kita tinggal di kampung. Nah kampung itu ada landscape-nya. Biasanya kita kalau di kampung itu, bisa meminta hasil kebun tetangga. Jadi gotong royongnya harus dikedepankan, rasa kemanusiaan bertetangganya harus dikedepankan, jadi seperti itu perspektif agroekologi. Jadi agroekologi itu berbasis kasih. Jadi ada timbal balik. Perlindungan ekosistem itu bukan hanya binatang dan pohon, tapi ekosistem itu adalah ada manusia di dalam bagian itu sendiri.
Apa begini kesimpulannya, semua orang yang berada di satu kampung, misalnya saya punya pohon mangga, yang lain punya tanaman bayam, kangkong, lalu semua bisa saling barter?
Betul. Betul sekali. Bisa saling barter. Dan itu adalah sirkular ekonomi yang dimiliki oleh desa, oleh kampung. Saya tidak membicarakan desa, tapi membicarakan kampung. Karena kampung lebih kecil lagi, lebih mampu menghargai, lebih mampu menolong, dan lebih cepat bertindak pada keluarga-keluarga miskin ini.
Jadi prinsip gotong royong sangat terasa dalam agroekologi ini?
Sangat. Sirkular ekonomi akan sangat berjalan. Contohnya, kita membutuhkan makanan sehat untuk ibu hamil. Harusnya tidak ada lagi yang stunting, tidak ada lagi yang kekurangan gizi, tidak ada lagi daftar nama anak-anak atau ibu-ibu yang rentan di Posyandu. Karena kampung ini yang akhirnya bergotong royong mengurus para perempuan-perempuan dan anak-anak ini.
Bagaimana dengan sumber makanan nabatinya?
Sama juga. Contohnya sawah. Sawah itu adalah gudang makanan, sekaligus gudang keikhlasan orang-orang kampung. Biasanya di sawah itu memang menjadi tempat ada keong mas, ada tutut, ada ikan-ikan kecil, keong sawah, jamur, itu biasanya di desa bisa diambil oleh masyarakat kampung. Sayurannya ada genjer, ada eceng, ada pegagan. Jadi itu lengkap.
Kami di Pesantren Ath Thaariq sangat mengurus sekali sawah. Karena sawah adalah interpretasi tersedianya keamanan pangan bagi orang kampung.
Terkait angka stunting dan kesehatan ibu hamil, di Pesantren Ath Thaariq sendiri apakah itu juga sudah berhasil?
Paling tidak kami membuat gerakan kebun pekarangan. Jadi kalau datang ke Ath Thaariq, akan kelihatan bahwa tetangga-tetangga itu punya halaman yang dipenuhi tanaman-tanaman yang tidak setiap hari harus dibeli. Dan kami lakukan itu sebagai bagian dari gerakan kampung.
Artinya warga di sekitar pesantren bisa ikut menikmati tanaman yang ada di pesantren?
Iya. Satu, mereka bisa ikut menikmati tanaman yang ada di pesantren. Kecuali beras ya atau padi. Sebab karbohidrat kami bukan hanya beras. Tapi kami juga menanam singkong, dan ubi-ubian yang lain.
Sudah berapa banyak kampung yang terdampak dengan program Pesantren Ath Thaariq?
Ini laboratorium. Jadi gerakan kami ini bukan gerakan mendampingi kampung. Tapi ini adalah laboratorium di mana masyarakat bisa mengakses pengetahuan ini untuk diterapkan ke kampung-kampungnya sendiri. Banyak sekali yang belajar. Kami menerima banyak sekali rombongan belajar. FAO mungkin tidak memberi penghargaan kalau tidak melihat sendiri, sebanyak apa orang yang datang ke Pesantren Ath Thaariq.
Hasil tanaman dari Pesantren Ath Thaariq ini hanya untuk dinikmati sendiri atau juga dijual lagi?
Jadi kami ini membuat juga gerakan membantu teman. Jadi selain hasil tanaman ini dijual, kami juga membagi-bagikan ke jejaring kami. Jadi hasil dari penjualan bisa membantu operasional kami tapi kami juga bisa memberikan secara gratis untuk teman-teman di jaringan kami.
Kami berharap yang kami lakukan ini bisa menjangkau semua. Perekonomian keluarga, berbagi dengan jaringan sekaligus bisa mendanai operasional pesantren kami. Itu saja. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved