INDONESIA akhirnya mendapatkan giliran menyampaikan pernyataan lisan (oral statement) di markas Mahkamah Internasional (ICJ), Den Haag, 23 Februari 2024.
Dalam pidato berdurasi 21 menit itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pandangan Indonesia di depan para hakim ICJ. Secara umum, pernyataan Indonesia itu bisa dikatakan yang paling tajam dan keras menuntut pertanggungjawaban Israel atas kekerasan di Gaza.
Pernyataan yang dibacakan Menlu Retno Marsudi ini mewakili suara Indonesia di dunia internasional sehubungan dengan gugatan Afrika Selatan terhadap Israel.
ICJ perlu mendengarkan opini dari 53 negara dan tiga organisasi internasional untuk merumuskan rekomendasi (advisory opinion) ke PBB. Meskipun rekomendasi ini tidak mengikat secara hukum, namun ini merupakan instrumen diplomasi preventif serta membantu upaya lembaga internasional seperti PBB memelihara perdamaian dunia (ICJ, tanpa tahun).
Beberapa poin argumen Indonesia untuk menjadi bahan pertimbangan ICJ merumuskan rekomendasi antara lain; bahwa advisory opinion ICJ bukan solusi perdamaian tetapi harus dilakukan negosiasi; bahwa Palestina punya hak menentukan nasibnya sendiri; bahwa dalih Israel untuk mempertahankan diri tidak dibenarkan; dan bahwa Israel melakukan kebijakan Apartheid sehingga termasuk kejahatan terhadap kekuasaan.
Moralitas Politik
Apa yang disampaikan oleh Menlu Retno di ICJ mencerminkan moralitas politik Indonesia di kancah internasional. Komitmen memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah amanat konstitusi dan wajib ditunaikan pemerintah Indonesia.
Komitmen ini bukan soal memperjuangkan kepentingan nasional melainkan kepentingan internasional yaitu “kemerdekaan adalah hak segala bangsa yang karenanya penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dalam Pancasila Sila-2, Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dilandasi prinsip kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat identitas dan kedaulatan. Artinya, bagi Indonesia prinsip kemanusiaan adalah universal.
Bung Karno pada acara kursus Pancasila tanggal 5 Juli 1958 menerangkan bahwa “Kemanusiaan adalah alam manusia ini, de mensheid. Perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dengan lain manusia adalah hubungannya, jiwa yang hendak mengangkat membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang” (Sukarno, 2016:205).
Dalam konteks kebijakan luar negeri, prinsip kemanusiaan ini terejawantah dalam prinsip internasionalisme. Bung Karno pada Suluh Indonesia Muda (1928) menulis, “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa” (Latif, 2011:180).
Hal ini mengimplikasikan kebijakan luar negeri Indonesia tidak hanya berorientasi pada diri sendiri (self-interested) tetapi juga berkomitmen memperjuangkan masyarakat di negara lain yang tertindas. Sederhananya, politik luar negeri Indonesia tidak seratus persen berpijak pada egoisme semata tetapi juga altruisme.
Konsekuensi dari moralitas politik luar negeri ini adalah Indonesia sangat menjunjung tinggi hukum internasional. Bagi Indonesia politik internasional bukanlah arena perjuangan memperebutkan kekuasaan (struggle for power) seperti klaim penganut aliran realisme politik. Politik internasional adalah tentang bagaimana menciptakan dunia yang damai, sejahtera, serta adil berdasarkan hukum internasional. Di ICJ Retno Marsudi mengulang pernyataannya dua kali bahwa “no country is above the law.”
Politik Kekuasaan
Pernyataan lisan Menlu Retno Marsudi di ICJ mencerminkan debat klasik dalam kajian ilmu Hubungan Internasional antara idealisme versus realisme. Idealisme yang diwakili kaum liberal-republikan seperti Presiden AS Woodrow Wilson mengatakan bahwa perdamaian mensyaratkan bentuk negara demokrasi serta peran organisasi internasional sebagai – meminjam frase Retno Marsudi – “guardian of justice.”
Sementara itu, realisme menyatakan bahwa menjaga perdamaian hanya dimungkinkan melalui perimbangan kekuatan (balance of power). Realisme meyakini pandangan bahwa perang antarnegara adalah fenomena lazim karena walau bagaimanapun tidak ada otoritas di atas negara yang dapat mendikte negara.
Artinya, negara – dengan kekuatan yang dimilikinya – bebas melakukan apa saja. Itulah sebabnya satu-satunya cara agar selamat dari ancaman negara lain adalah dengan memperkuat militer agar paling tidak bisa mengimbangi militer negara lain.
Itulah yang terjadi di Gaza. Israel sebagai negara terkuat di kawasan merasa bebas melakukan apapun yang dia mau. Israel merasa tidak akan ada negara maupun organisasi internasional yang mencegahnya melakukan aksi kekerasan terhadap Palestina. Kebijakan Israel mencerminkan pandangan realisme di mana “yang kuat bebas melakukan apapun, sementara yang lemah menjadi korban dari yang kuat.” Israel merasa tidak perlu menghormati hukum internasional, sebab hal itu bertentangan dengan kepentingan nasionalnya.
Pandangan ini sulit dipertemukan di ICJ. Di satu sisi, aspirasi Indonesia dan negara-negara lain di ICJ mewakili pandangan idealisme di mana Israel harus tunduk pada hukum internasional. Sementara Israel, di sisi lain, mengadopsi pandangan realisme politik. Bagaimana hasil akhirnya nanti?
Berkaca dari pengalaman sejarah, pandangan realisme akan menang dari pandangan idealisme. Pasca Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dipercaya mampu meredam ambisi negara-negara untuk tidak saling berperang. Faktanya, Perang Dunia II justru pecah pada 1939. LBB bubar dan hidup kembali menjadi PBB pada 1945.
Namun, lagi-lagi politik internasional lebih berpihak pada realisme. Sepanjang 78 tahun usianya, PBB tak pernah bisa mencegah perang antarnegara. Maka, nasib yang sama juga akan menimpa ICJ. Apapun keputusannya nanti, dapat dipastikan Israel tak akan mengindahkannya.
*Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional di Universitas Pertamina
© Copyright 2024, All Rights Reserved