Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana menghentikan sementara Ujian Nasional (UN) mulai tahun depan. Langkah ini mendapat dukungan dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, pemerintah selama ini belum mampu menyediakan sarana dan prasarana pendidikan secara merata. UN baru cocok jika standar pendidikan sudah merata.
"Kalau di Papua sudah sama (sarana pendidikan) dengan Jakarta, UN akan cocok. Ini kan belum, jangan jauh-jauh ke Papua, di Banten saja masih tertinggal," ujar anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ceu Popong kepada politikindonesia.com di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (05/12).
Perempuan bernama lengkap Popong Otje Djundjunan ini mengatakan, partainya adalah pendukung kebijakan pemerintah. Dan evaluasi terhadap model penyeragaman pendidikan ini dengan menghentikan sementara (moratorium) UN pada tahun 2017 adalah keinginan dari pemerintah "Wajar saja kalau kami mendukung kebijakan pemerintah. Apalagi mengenai moratorium UN sudah ada instruksinya dari Presiden," ujar Popong.
Ia mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak memaksakan UN menjadi satu-satunya standar kelulusan bagi siswa. Popong menegaskan, UN seharusnya sudah dihapus sejak 3-4 tahun lalu. Namun, saat itu, pemerintah bersikeras untuk mempertahankan UN.
Di samping melanggar putusan Mahkamah Agung, pemaksaan UN juga akan berakibat buruk bagi kualitas pendidikan nasional. "Jadi, sekarang dengan menteri baru, saya acungkan dua jempol. Kita kembali percayakan kualitas murid itu kepada guru, bukan pemerintah," ujarnya.
Meski demikian, perempuan kelahiran Bandung, 30 Desember 1938 ini menyatakan, UN bukanlah sesuatu yang buruk, sepanjang dilaksanakan dalam situasi yang tepat, dimana standar pendidikan nasional sudah baik. "Standar yang saya maksud terkait kualitas guru, sarana-prasarana pendidikan di semua daerah telah setara."
Kepada Elva Setyaningrum, politisi perempuan ini mengungkapkan pendapatnya atas rencana kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy tersebut. Berikut wawancaranya.
Kemendikbud berencana memoratorium pelaksanaan UN mulai tahun depan, tanggapan Anda?
Kita dukung rencana pemerintah itu. Ya, karena memang ada instruksi langsung dari Presiden Jokowi.
Adapun 3 instruksi Presiden terkait UN tersebut. Pertama, proses penyesuaian kebijakan terutama perubahan regulasi mengenai penyelenggaraan evaluasi pendidikan (PP No.13/2015), serta peraturan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan (PP No. 17/2010).
Kedua, meningkatkan koordinasi antar kementerian terkait dan pemerintah daerah dalam mempersiapkan masa transisi.
Ketiga, segera mempersiapkan sistem evaluasi pendidikan secara komperehensif, handal, diakui di dalam dan di luar negeri. Selain itu juga harus sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional, untuk diimpelementasikan setelah masa transisi
Anda setuju UN sekedar dimoratorium atau dihapuskan?
Saya pribadi setuju moratorium UN karena pemerintah hingga saat ini belum mampu menyediakan sarana dan prasaran pendidikan yang setara dan merata di seluruh daerah.
Ketimpangan standar pendidikan masih terjadi. Jangankan membandingkan pendidikan di Papua dengan Jakarta. Dengan Banten saja, masih tertinggal.
UN baru cocok dilaksanakan jika sarana pendidikan di Papua sudah sama dengan Jakarta.
Bicara lebih jauh lagi, seharusnya UN sudah dihapuskan sejak 3-4 tahun yang lalu. Karena Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya pada 14 September 2009 silam melarang pemerintah melaksanakan UN. Maka itu, seharusnya pemerintah menghapus UN semenjak putusan MA itu diketok.
Dari dulu kamki tidak pernah setuju dengan UN, tapi pemerintah masih ngotot mempertahankannya. Dan mulai tahun 2017 diberhentikan pelaksanaannya untuk sementara waktu.
Anda bilang UN melanggar UU, apa maksudnya?
Memang UN melanggar UU. Sebab UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Pasal 58 Ayat (1) menyebutkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik atau guru.
Sedangkan Pasal 59 Ayat (1) menyebutkan, tugas pemerintah dan pemerintah daerah adalah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Jadi evaluasi hasil belajar siswa itu bukan dilakukan pemerintah lewat UN tapi semestinya dilakukan oleh guru. Adapun tugas pemerintah itu melakukan evaluasi terhadap pengelola pendidikan. Itu aturan dalam UU.
Jadi kalau nanti UN telah dimoratorium, berarti pemerintah ingin mengembalikan ke UU Sisdiknas dengan segala plus-minusnya. Dengan ketiadaan UN, kita kembali mempercayakan kualitas murid itu kepada guru, bukan pemerintah.
Banyak pro dan kontra tentang UN, tapi Mendikbud telah memutuskan untuk moratorium?
Saya acungkan dua jempol, bahkan kalau ada 10 jempol saya acungkan semua untuk keberanian Mendikbud. Langkah mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu menunjukkan bahwa dia sangat memahami ruh dunia pendidikan. Karena kualitas pendidikan di tiap daerah yang berbeda-beda dan belum merata. Sehingga kebijakan moratorium UN yang diambil Mendikbud akan mengembalikan evaluasi pendidikan sesuai dengan UU Sisdiknas Pasal 58-59.
Lantas bagaimana dampak moratorium UN pada anggaran APBN?
Anggaran UN tahun 2017 yang sudah ditetapkan dalam APBN senilai Rp500 miliar. Itu harus dikawal pengalihannya. Jangan sampai pemerintah salah.
Jadi mau dipakai untuk apa pemerintah tinggal bicarakan dengan DPR? Harus ada pertanggungjawabannya dari pemerintah. Karena anggaran tersebut bisa dialihkan pada perbaikan sarana dan prasarana pendidikan asal tepat sasaran.
© Copyright 2024, All Rights Reserved