Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang sedang digodok DPR menjadi perdebatan hangat. Kedua poros, baik yang mendukung wacana itu ataupun yang mendukung pilkada langsung, sama-sama keras. Polemik pembahasannya terus bergulir menjelang pengesahan pada akhir September 2014.
Salah satu yang mendukung Pilkada langsung tetap dipertahankan, adalah Direktur Eksekutif Perwakilan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.
"Wacana itu tidak sesuai dengan konstitusi. Sesuai dengan konstitusional, demokrasi dimaknai sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat. RUU ini menjadi mundur dalam konteks pemenuhan hak-hak warga negara dalam menentukan pemimpin daerahnya," ujar Titi kepada politikindonesia.com di Jakarta, Rabu (10/09).
Dalam pandangan Titi, dinamika yang berkembang dalam pembahasan RUU Pilkada menunjukkan para politisi dan pemerintah saat ini sedang mempertontonkan drama politik hanya untuk kepentingan elit sendiri. Di awal bergulirnya RUU Pilkada, pemerintah mengusulkan pilkada dilakukan melalui DPRD. Sementara itu, fraksi-fraksi di DPR berseberangan dengan pemerintah dan menolak pemilihan melalui DPRD karena hal itu kembali ke sistem lama.
"Tapi kini, tanpa alasan ideologi yang jelas, posisi pemerintah dan DPR menjadi terbalik. Pemerintah saat ini justru mendukung Pilkada langsung. Sementara sebagian besar fraksi di DPR malah mendorong Pilkada melalui DPRD, bahkan mereka tidak punya posisi politik yang jelas terkait dengan pilkada langsung," paparnya.
Kepada Elva Setyaningrum, Titi memaparkan sejumlah alasannya menolak Pilkada melalui DPRD. Ia bahkan telah berancang-ancang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika RUU Pilkada tersebut tetap disahkan DPR. Berikut petikan wawancaranya.
Apa alasan Anda menolak Pilkada dilakukan oleh DPRD?
Saat ini Indonesia menganut sistem presidensial, maka kepala daerah seharusnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Bukan perwakilan melalui DPRD. Seperti penafsiran terhadap Pasal 18 Ayat 4 UUD itu harus komprehensif. Kita ini kan menganut sistem presidensial, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dalam presidensil, maka mekanisme yang sama juga harus diterapkan pada lembaga eksekutif di bawahnya, provinsi dan kabupaten kota. Tak ada di dunia ini negara yang presidennya dipilih langsung, namun lembaga eksekutif di bawahnya dipilih secara tidak langsung. Penerjemahan terhadap pasal 18 ayat 4 soal pemilihan secara demokratis harus diterapkan secara konsisten, tidak setengah-setengah.
Dalam sistem presidensial dan otonomi daerah, produk otonomi daerah itu adalah DPRD dan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Saya pikir kita akan menghadapi problem legitimasi jika kepala daerah dipilih tidak secara langsung.
Apakah akan ada persoalan legitimasi politik jika nanti Kepala Daerah dipilih lewat DPRD?
Pasti. Kepala daerah yang terpilih nanti tidak punya ikatan legitimasi dengan rakyat karena yang memilih bukan rakyat langsung. Akhirnya, kepala daerah yang bersangkutan hanya menjadi pelayan di DPRD, bukan pelayan rakyat lagi. Kalau Pilkada dipilih DPRD maka nanti kepala daerah terpilih hanya akan serving the bosses, bukan menjadi serving the people. DPR seharusnya menghentikan pembahasan RUU Pilkada ini.
Kenapa Anda meminta DPR menghentikan pembahasan RUU Pilkada?
DPR seharusnya tidak perlu tergesa-gesa untuk mengesahkan RUU Pilkada ini. Kita harus memikirkan ke depannya. Bagaimana caranya supaya Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia bisa menjadi lebih baik dan jauh dari kecurangan.
Dengan waktu yang terbatas ini, saya meminta DPR untuk lebih memfokuskan mengenai pembahasan isu krusial yang belum tuntas. Misalnya, isu Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).
Jika RUU tersebut tetap disahkan oleh DPR, apa yang Anda lakukan?
Sebaiknya pengesahannya diserahkan kepada parlemen baru. Pemaksaan pengesahan RUU tersebut akan menjadi komitmen yang tumpang tindih dengan komitmen pemerintahan. Khususnya pemerintahan baru yang akan menyelenggarakan pemilihan langsung dan serentak kepala daerah baik provinsi dan kabupaten/kota.
Akan tetapi, jika DPR mengabaikan aspirasi rakyat banyak ini dan tetap mengesahkan RUU Pilkada, maka kami akan berusaha melakukan upaya lanjutan berupa mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Karena kami yakin, majelis MK akan mengambil putusan yang adil bagi rakyat Indonesia.
Aapabila DPR tetap ngotot mengesahkan RUU ini, artinya mereka tidak lagi peduli dengan keinginan rakyat. DPR yang selama ini dianggap sebagai representasi rakyat sepatutnya membuat undang-undang yang tidak berlawanan dengan UUD 1945. Ini sebenarnya memalukan, setiap produk UU selalu di judicial review di MK.
Pemilihan langsung menimbulkan politik biaya tinggi, tanggapan Anda?
Saya sebenarnya tidak setuju dengan alasan itu. Tidak fair jika membenturkan antara hak-hak warga negara untuk menentukan pemimpinnya secara langsung dengan biaya politik. Persoalan biaya politik tinggi itu sudah pernah dibahas di DPR dan menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menekan biaya politik. Salah satunya dengan Pilkada langsung serentak. Nah, kenapa tidak ini yang didorong soal pilkada langsung serentak. Ini bisa menekan biaya politik yang tinggi.
Alasan potensi korupsi yang tinggi dalam pelaksanaan Pilkada langsung sehingga diwacanakannya Pilkada tak langsung, adalah tidak benar. Pada masa Pilkada tak langsungpun korupsi juga kerap terjadi. Intinya, Pilkada langsung telah memberikan makna positif bagi demokrasi dan tak perlu dikembalikan menjadi Pilkada tak langsung.
© Copyright 2024, All Rights Reserved