Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini memuat pemberatan hukuman dan hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Salah satu, kebiri kimia.
Penerapan hukuman kebiri oleh pemerintah, karena menilai kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa, tetap saja mengundang pro dan kontra. Meski secara otomatis, pemberatan dan hukuman tambanhan itu telah berlaku sejak Perppu diterbitkan, sikap tidak setuju masih saja mencuat.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satunya. Meski setuju dengan upaya pemerintah memerangi kejahatan seksual, Komnas HAM tetap tidak setuju dengan diberlakukannya sanksi kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Dalalm pandangan Komnas HAM, hukuman kebiri merupakan kekerasan dan menghilangkan hak reproduksi seseorang. "Kebiri itu sudah merupakan bentuk kejahatan. Tak ada bukti, kalau kebiri bisa menjadi efek jera terhadap kejahatan seksual dan memberantasnya hingga akar,” ujar Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, kepada politikindonesia.com, di Jakarta, Senin (30/05).
Perempuan kelahiran Jakarta, 19 Oktober 1961 itu berpendapat, seharusnya pemerintah memaksimalkam sanksi bagi pelaku kejahatan seksual berupa pembinaan di dalam Lapas. “Kami kecewa Perppu itu sudah ditandatangani," katanya.
Kepada Elva Setyaningrum, Sarjana hukum dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini mengungkap sejumlah alasan, lembaganya menolak penerapan hukuman kebiri. Hukuman kebiri dinilainya sebagai kekerasan HAM, dan tidak menyelesaikan masalah darurat kejahatan seksual. Berikut petikan wawancaranya.
Perppu perlindungan anak telah terbit, bisa dijelaskan, hukuman tambahan yang diatur dalam beleid baru itu?
Pemerintah menambah hukuman berat pada pelaku kejahatan seksual dengan ancmana hukuman mati dan kebiri. Ada 4 hukuman tambahan, antara lain hukuman mati dan sanksi kebiri. Hukuman mati diberikan kepada pelaku bila korban mendapat trauma dan menimbulkan kematian. Sementara sanksi kebiri diberikan khusus bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang sudah mendapat vonis pengadilan.
Tambahan hukuman ketiga, yaitu penggunaan gelang berchip khusus, bagi pelaku setelah keluar dari penjara. Gelang itu nantinya menjadi alat pendeteksi keberadaan pelaku dan dikoordinir kepolisian.
Terakhir, identitas para pelaku akan dipajang di ruang publik. Tujuannya, selain memberikan efek jera, juga akan membuat masyarakat lebih waspada. Oleh sebab itu, kami menyetujui kalau sanksi diumumkan identitas pelaku agar pelaku malu dan konsekuensi logisnya, pelaku akan dijauhi masyarakat. Jadi kami sangat mendukung publikasi nama pelaku.
Komnas HAM sejak awal menolak hukuman kebiri, anda kecewa perppu tersebut tetap terbit?
Ya, kami kecewa aturan itu tetap terbit. Sebelum Perppu Perlindungan Anak terbaru ditandatangani Presiden, sebenarnya sudah cukup banyak peraturan dan program tentang penguatan perlindungan hak atas anak.
Namun kami melihat pemerintah belum maksimal menggunakan peraturan dan program-program perlindungan anak tersebut sebagai instrumen dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual pada anak.
Belum ada upaya sistematis dari pemerintah yang secara konkret bisa menggali akar dari maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Selain itu, pemerintah juga belum benar-benar mengkaji secara serius penerapan dan implementasi hukuman kebiri itu. Penerapan hukuman mati yang tercantum dalam Perppu Perlindungan Anak itu, juga masih problematik.
Apa alasan Komnas HAM tidak setuju penerapan hukuman kebiri?
Kejahatan seksual bukan hanya terkait urusan alat kelamin semata. Penggunaan anggota badan lainnya juga bisa berakibat pada kejatan seksual anak. Selain itu, kami menganggap penerapan kebiri kimia dapat memberikan ruang bagi terjadinya pelanggaran HAM.
Jenis hukuman itu dapat secara langsung mengurangi fungsi organ dan tubuh seseorang menjadi tak normal. Proses kebiri kimia tidak dapat serta-merta dilakukan kepada seseorang, karena secara teknis memerlukan proses kompleks yang harus melibatkan tenaga medis.
Ada lagi persoalan dari segi etika medis. Dokter tidak dapat melakukan kebiri kimia hanya berdasar perintah dari pengadilan semata tapi juga orang yang akan dikebiri. Harus ada koordinasi antara pengadilan dan tim dokter sebelum pengadilan memutus seseorang pelaku kejahatan seksual itu dijatuhi hukuman kebiri. Jadi bukan perintah pengadilan yang bisa mengatur ada atau tidak adanya hukuman kebiri.
Apa ada alasan lainnya?
Alasan penolakan lain adalah kebiri melanggar HAM. Berdasarkan Pasal 28g ayat 2 Konstitusi Indonesia, setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Ada pula aturan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Selain itu, tindakan tersebut berbenturan dengan hak atas persetujuan tindakan medis serta hak perlindungan atas integritas fisik dan mental seseorang.
Pemberian bahan kimia terhadap seseorang, harus mendapatkan izin dari orang tersebut terlebih dahulu. Jika terpidana menolak diberikan hukuman kebiri, putusan pengadilan tidak memiliki kekuatan. Jika pengadilan memaksa seorang dokter sebagai eksekutor untuk melakukan kebiri, dokter tersebut melanggar kode etik. Terbayang sulitnya melaksanakan itu.
Apa alasannya Anda tak yakin, kebiri bisa meredam maraknya kejahatan seksual?
Saya tidak yakin. Kita harus jeli melihat fenomena kejahatan seksual kepada anak itu seperti apa.
Hukuman tambahan berupa kebiri dan hukuman mati tidak menjamin menghentikan pelecehan seksual anak. Apalagi, pelaku kekerasan seksual anak tidak hanya orang dewasa, kadang pelakunya juga anak di bawah umur. Anak-anak yang sangat belia rentan menjadi korban maupun menjadi pelaku.
Seharusnya, Perppu terkait tambahan hukuman pelaku kejahatan seksual ini menitikberatkan pada soal pemberian kewajiban pemerintah untuk melakukan langkah preventif. Seperti pendidikan seks kepada anak-anak belia. Hukuman kebiri dan hukuman mati itu, pilihan paling akhir.
Perppu ini sudah diterbitkan, artinya aturan itu sudah berlaku. Apa harapan Anda?
Kami berharap pemerintah dapat mengkaji hukuman kebiri secara lebih mendalam agar didapat solusi lebih cerdas dan bermartabat untuk menyelesaikan perkara kekerasan seksual pada anak berdasarkan prinsip-prinsip HAM.
Hukuman bagi pelaku kejahatan seksual memang harus memberikan efek jera, namun yang paling utama harus mendidik dan memperbaiki pola pikir serta karakter bagi si penjahat. Sehingga hukuman yang diberikan bisa menyadarkan atas kesalahan yang telah dilakukan.
Menurut Anda, apa penyebab maraknya kejahatan seksual saat ini?
Penyebab kejahatan seksual tak hanya bersifat medis, tapi juga psikologis, sosial, bahkan kekuasaan. Penanganan masalahnya pun tak bisa sama, tapi harus lebih ekstra.
Kalau kelainan psikologis, obatnya secara psikologis. Kalau medis, harus secara medis. Untuk hukuman kebiri hanya mengatasi penyebab dari sisi medis.
© Copyright 2024, All Rights Reserved