SEJAK warung Madura viral terkait jam buka, sesungguhnya terdapat optimisme warung-warung demikian mendapatkan perhatian lebih. Mereka merupakan bagian penyumbang pendapatan negara pada tahun 2023 pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta. Kontribusi UMKM mencapai 61 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setara Rp9.580 triliun. UMKM menyerap sekitar 117 juta pekerja (97%) dari total tenaga kerja (Kontan, 30/4/2024).
Warung Madura berekosistem mandiri tentu memiliki keunggulan dan kerentanan. Mereka melakukan proses rekrutmen dengan modal kepercayaan terkadang juga lewat jalur kekeluargaan. Modal sederhana demikian rupanya mempercepat pertumbuhan dalam skala jumlah dan peruntungan yang didapatkan pemilik warung Madura.
Poin besarnya, terkadang mereka berjuang tanpa jaminan dan bantuan pemerintah. Kemandirian seolah dilihat datang secara otomatis sekalipun sering dilupakan mereka terkadang banyak mempertaruhkan nasib dengan modal alakadarnya.
Insentif bagi warung UKM (warung Madura) bisa berupa pemberiaan modal (materi maupun skill manajemen). Tidak semua warung memiliki peruntungan yang sama oleh karena itu insentif digunakan sebagai motivasi sekaligus memberikan modal tambahan.
Perkembangan perekonomian di Indonesia dijiwai konsep pembangunan yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting. Semangat ini telah menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi berbasis kerakyatan atau UKM. Alih-alih menciptakan kebijakan pro-rakyat kecil, pemerintah malah menguntungkan industrialisasi dan konglomerasi.
Insentif boleh dilakukan dalam jangka pendek. Warung kecil juga memiliki kerentanan berlapis. Pertama, mereka tidak memiliki panduan dalam informasi pasar. Kedua, rentan jatuh saat kompetitor besar memiliki promosi yang harga dan promo yang lengkap. Ketiga, manajemen pembukuan keuangan yang sederhana sehingga sulit menemukan persamaan pekerja dan pemilik, sekalipun hanya mengandalkan kepercayaan.
Padahal, UKM sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan bukan sekadar omong kosong. Di saat krisis ekonomi 1997-1999, keberadaan merekalah yang membuat perekonomian Indonesia tetap berjalan. Saat itu, denyut perekonomian terus berdetak bukan hasil kehebatan pemikiran para menteri dan pebisnis kelas kakap yang selalu dimanjakan dengan pinjaman dari bank, tetapi berkat andil kalangan UKM.
Ironisnya, keberadaan UKM di Indonesia yang berpotensi menyumbang segala sektor baik dari penciptaan lapangan pekerjaan maupun dari sektor penerimaan pajak itu sering kali dalam beraktivitas justru dibebani dengan berbagai pungutan liar dan ”pajak preman”.
Aksi pajak preman yang menimpa UKM seakan-akan menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Apalagi, upaya pemerintah dalam membersihkan praktik pajak ilegal masih minim sehingga praktik yang sangat membebani sektor UKM ini terus terjadi dari hari ke hari.
Cara kerja dari pemerasan ini dapat dibilang sama di seluruh pelosok kota di Tanah Air. Mereka membuat pungutan berupa uang keamanan atau retribusi untuk lokasi tempat usaha dari UKM. Pajak ilegal ini belum termasuk uang kebersihan, listrik, dan air yang harus dibayar secara rutin harian atau bulanan.
Terdapat ribuan Warung Madura tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Di Madura sendiri tidak banyak bentuk UKM berbasis Industri. Sebagaimana dikatakan Dass (2002) mengatakan, “For retailers and manufacturers alike, a company’s competitive advantage depends in large measure on the adaptability and agility of its supply chain.”
Bayangkan saja di Jepang bahkan ibu-ibu rumah tangga dilibatkan untuk merakit komponen mobil di perumahan penduduk. Indonesia belum memiliki kemampuan ibu-ibu rumah tangga sekelas Jepang. Bahkan, siswa sekolah menengah kejuruan otomotif belum tentu mampu mengerjakan pekerjaan yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Jepang tersebut.
Mencontoh
Lihat bagaimana pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) di Inggris dikelola. Disana pengembangan usaha UKM dimulai dengan talenta yang memiliki nilai sekalipun dengan pengalaman non-profesional. Umumnya, pengusaha mengacu pada karyawan yang bosan dengan pekerjaannya dan ingin mengambil tantangan baru untuk meningkatkan pendapatannya daripada terus bekerja sebagai karyawan. Bukankah sama dengan perilaku para pemilik warung Madura yang tidak puas dengan sektor pertanian di Pulaunya.
Tidak mengherankan jika di Inggris UKM yang didirikan oleh perorangan tidak memiliki karyawan itu telah berkembang sangat pesat di Inggris selama 20 tahun terakhir. Faktanya, sektor ini menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Inggris mempunyai keunggulan yang kuat pada sektor UKM yang memanfaatkan fungsi produksi Leontief (fungsi produksi rasio konstan).
Tahukah kita bahwa Model yang dikembangkan di sana untuk mencegah pengusaha mudah menyerah karena kelemahannya sendiri. Menurut studi Glancey dan McQuaid (2020) di inggris sektor berskala besar UKM juga berkontribusi terhadap pengembangan sumber daya manusia dan pada akhirnya menjadi motor penggerak berkembangnya usaha kecil dan menengah di Inggris. Penting juga untuk menekankan pentingnya nilai-nilai bersama, bukan sekedar faktor kepemilikan, dalam pengembangan usaha kecil dan menengah.
Pelajaran dari Inggris di atas, semestinya bank-bank Indonesia yang berorientasi UKM perlu mengarahkan operasi mereka tidak hanya secara geografis tetapi juga secara sektoral. Bank harus mulai melirik dan fokus pada UKM di sektor jasa bisnis, grosir, ritel dan pemeliharaan, baik di area padat perkotaan maupun pedesaan.
Strategi pengepungan perkotaan harus diubah menjadi strategi yang “mengelilingi” usaha kecil dan menengah yang akan muncul di masa depan. Agar perkembangan ekonomi Indonesia benar-benar menyerupai Inggris.
Warung Madura hanyalah potret kecil dari keinginan sederhana masyarakat bawah merasakan perbaikan nasib. Keterkaitan usaha dan kualitas hidup di pedesaan berkaitan erat. Mereka tidak saja menambah jumlah isi kantong pribadi, tetapi membangunkan motivasi masyarakat pedesaan tentang peluang tantangan yang dahulu tidak pernah tergambarkan dalam bayangan masa depan mereka apalagi dalam diksi eufimisme narasi ekonomi kerakyatan oleh negara.
*Penulis adalah Pemerhati Ekonomi dan Pengajar Institut STIAMI Jakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved