SAMPAI akhir ini dan entah sampai kapan Indonesia masih didera penyakit pelanggaran integritas khususnya korupsi. Pada level elite kementerian, akhir-akhir ini mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi bagian dari fenomena terkini korupsi tersebut.
Tanpa dibuat sistem integritas jabatan menteri, tidak menutup kemungkinan, calon menteri yang akan diakomodasi pemerintahan baru yang akan dinakhodai Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka juga rentan dengan pelanggaran integritas tersebut.
Kasus pelanggaran integritas berupa korupsi pada jabatan menteri sebenarnya hampir terjadi di hampir setiap rezim pemerintahan. Dari laporan KPK, dari rezim ke rezim, setidaknya dari tahun 2004 sampai tahun 2023 terdapat 39 kasus korupsi kepala lembaga/kementerian. Kecenderungan tersebut secara menunjukkan bukti bahwa setiap pemerintahan akan selalu dalam bayang-bayang ancaman korupsi pada jabatan menteri.
Ancaman nyata tersebut tentu perlu diantisipasi pemerintahan baru. Namun, untuk melihat kemungkinan strategi antisipasinya perlu dideteksi terlebih dahulu faktor penyebab mengapa beberapa Menteri yang bahkan diantaranya sebelumnya sangat diapresiasi prestasinya tersangkut korupsi? Ada setidaknya 3 hal yang bisa menjadi penyebabnya.
Pertama, di dalam sosok Menteri tersebut dari awal sebelum diangkat menjadi Menteri sudah ada potensi korupsi. Potensi korupsi tersebut diantaranya dapat disebabkan oleh adanya orientasi hidup yang cenderung lebih mementingkan diri sendiri (self interested). Bagi pihak yang tingkat kepentingan dirinya tinggi bisa jadi tindakan publik sekalipun termasuk dalam jabatannya akan selalu melihat keuntungan pribadi apa yang akan didapat dari jabatan yang diemban.
Di samping itu, adalah tidak mengherankan apabila orientasi mementingkan diri sendiri juga tercermin dalam perilaku hedonis, berlebihan dan tidak peduli dengan pihak lain yang bahkan dapat melakukan tindakan yang merugikan orang lain demi keuntungan diri sendiri. Sebagai contoh, kita tidak dapat membayangkan, betapa tercelanya tindakan salah satu menteri terpidana korupsi yang melakukan korupsi terhadap dana bantuan untuk penanganan covid pada masa yang lalu. Dengan demikian, Nurani publiknya dapat dipastikan defisit.
Kedua, pada saat menjadi Menteri yang bersangkutan terkooptasi dengan nafsu kekuasaan yang membuat kepentingan apapun bisa didapatkan dengan otoritasnya. Di sini berlaku the power tends to corrupt. Dalam posisinya tersebut yang bersangkutan memerintahkan apa saja ke bawahannya dengan dalih loyalitas.
Ketiga, belum adanya sistem untuk menjamin integritas jabatan Menteri. Selama ini yang sering dijadikan tolok ukur adalah kemampuan profesional dan kedekatan koalisi politik. Kecenderungan tersebut bisa jadi dilandasi oleh asumsi bahwa ketika seseorang profesional dan berkiprah di politik mungkin sudah tidak ada masalah dengan integritas. Tetapi faktanya sering menjadi masalah.
Untuk mengatasi akar masalah tersebut diperlukan pendekatan preventif yang lebih sistemik. Pertama, rekruitmen menteri berbasis integritas. Pendekatan ini dapat dilakukan antara lain dengan menggandeng KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kedua Lembaga tersebut dapat membantu Presiden dalam melakukan pengecekan rekam jejak serta kewajaran transaksi dan kekayaan calon Menteri sehingga kandidat menteri betul-betul dapat terjamin integritasnya.
Pendekatan ini sudah pernah dilakukan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 di era Kabinet Kerja dan mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Namun pada masa jabatan keduanya tidak menerapkan pendekatan tersebut. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali spirit integritas maka pendekatan ini perlu dilakukan kembali presiden terpilih Prabowo.
Namun demikian, rekrutmen berbasis integritas saja tidak cukup. Kekuasaan yang diterima seorang Menteri dapat saja membuat yang bersangkutan tergoda melakukan korupsi. Pada masa periode Kabinet Kerja membuktikan adanya dua Menteri yang melakukan tindak pidana korupsi yaitu Menteri Sosial, Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang kedua yaitu pemberlakuan kode etik menteri.
Kode etik ini diperlukan untuk mengawal perilaku para Menteri agar selalu dalam rel integritas. Pendekatan tersebut telah diterapkan antara lain di salah satu negara maju yang menganut common law system yaitu Inggris. Kode etik Menteri yang di Inggris diistilahkan dengan the Ministrial Code merupakan standar perilaku dan tugas Menteri.
Kode etik ini merefleksikan bukan hanya komitmen yang tinggi tetapi tindakan nyata penjaminan integritas Menteri. Sebagaimana di dalam Ministrial Code (2022), Perdana Menteri Rishi Sunak menggarisbawahi bahwa seiring dengan pelaksanaan tugas cabinet siang dan malam mereka juga menegakkan Prinsip-prinsip Kehidupan Publik (Principles odf Public Life) untuk menjamin integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.
Penerapan kode etik tersebut terus dievaluasi dan diupdate dari waktu ke waktu sehingga dari satu rejim pemerintahan ke pemerintahan lainnya terus terkawal integritasnya. Praktik baik kode etik Menteri tersebut semakin menguatkan urgensi penerapannya di Indonesia.
Sebagai penutup, tentu saja pemerintahan baru melahirkan asa baru. Untuk menjaga asa tersebut perlu dipastikan bahwa pemain utama dalam kabinet betul betul sejalan dengan nilai integritas karena integritas menjadi salah satu fondasi utama dalam pemerintahan baru.
Sejalan dengan itu, Dwight D. Eisenhower memposisikan integritas sebagai supremasi kualitas dalam kepemimpinan. Oleh karena itu, rekrutmen Menteri berbasis integritas dan penerapan kode etik menteri dapat menjadi salah satu jalan penting menggaransi integritas jabatan menteri dalam pemerintahan baru.
*Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Madya, Lembaga Administrasi Negara
© Copyright 2024, All Rights Reserved