BEBAN APBN 2025 Presiden Prabowo Subianto sebagian besar berasal dari skema pembiayaan dalam UU darurat Covid-19. Skema burden sharing atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana.
Skema itu ditentang oleh internasional termasuk Bank Dunia karena dipandang sebagai pelanggaran moneter. Skema ini adalah pengadaan uang oleh Bank Indonesia (BI) namun diubah menjadi utang negara. Uang buatan BI diubah menjadi utang pemerintah.
Utang ini harus dianulir Prabowo. Ada banyak alasan menolak utang dari proses burden sharing oleh BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada masa Covid-19 (2020-2022).
Karena utang semacam itu telah dinyatakan oleh Bank Dunia sebagai pelanggaran sistem moneter yang sangat beresiko.
Kondisi ini yang mengakibatkan keringnya likuiditas dolar di dalam negeri. Selain itu utang model begitu adalah bersifat menambah jumlah uang beredar yang memicu inflasi dan depresiasi. Inilah yang menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar jatuh secara sistematis
Alasan lain mengapa Prabowo dapat menolak utang hasil burden sharing adalah karena itu sama dengan pencetakan uang oleh negara.
Pertanyaannya mengapa uang cetakan diubah menjadi utang pemerintah? Itu jelas suatu tindakan manipulasi keuangan untuk menambah beban negara. Ini melengkapi kegagalan menteri keuangan dalam pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara.
Pada bagian lain selain masalah moneter sebetulnya Prabowo dapat memeriksa sekarang kepada siapa saja dana uang hasil burden sharing itu dialokasikan.
Sekarang semua uang yang telah di alokasikan sebagian besar kepada bank bank, baik bank BUMN maupun bank swasta harus dianggap sebagai piutang negara.
Semua stimulus uang semasa Covid-19 yang diberikan kepada swasta dan bank serta BUMN harus dianggap sebagai aset negara. Terutama yang ada di bank harus segera dijadikan piutang negara.
Sekarang usaha melanjutkan burden sharing antara BI dengan Kemenkeu. Usaha ini tidak boleh dilanjutkan lagi, selain karena UU darurat skema keuangan Covid-19 adalah pelanggaran moneter dan sudah berakhir, skema burden sharing tidak memiliki landasan UU lagi.
Prabowo harusnya hati-hati dan pasti hati-hati bahwa pengadaan uang oleh BI itu adalah manipulasi keuangan yang membahayakan. Sehingga harus dihentikan. Jangan sampai terjebak lagi seperti UU Perpajakan tentang kenaikan PPN 12% yang tidak diantisipasi dari awal.
*Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
© Copyright 2024, All Rights Reserved