SEJAK beberapa tahun belakangan ini, yang namanya Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), kerap kali mengemuka menjadi masalah yang cukup menarik untuk dibincangkan lebih dalam lagi. Pembahasan tentu bukan hanya sekedar berkaitan dengan kiprah kelembagaan petani semata, namun terekam pula adanya pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan Kelompok Tani ini sebagai alat kepentingan politik.
Pada zamannya, ada Kementerian yang menjadikan Kelompok Tani atau Gapoktan sebagai kepanjangan tangan Partai Politik yang dikemas dalam berbagai program dan kegiatan pembangunan. Fenomena seperti ini, tentu saja membuat suasana pengkotakan terhadap Kelompok Tani di lapangan.
Di satu sisi ada Kelompok Tani yang mendapat bantuan karena ada kaitannya dengan Dana Aspirasi dan Daerah Pemilihan para Wakil Rakyat. Namun di sisi lain, ada juga Kelompok Tani yang terpaksa gigit jari, karena tidak kebagian bantuan.
Kondisi semacam ini, tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, mengingat Kelompok Tani atau Gapoktan, bukanlah kepanjangan Partai Politik. Kita berkewajiban untuk mencarikan solusi cerdas, agar kehadiran kelembagaan petani di lapangan, benar-benar memberi manfaat nyata bagi percepatan peningkatan kesejahteraan petani. Itu sebabnya, dibutuhkan ada "darah baru" dalam pengembangan Kelompok Tani.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani, yang disebut dengan Kelompok Tani adalah kumpulan Petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota.
Kelompok Tani yang kalau bergabung menjadi Gabungan Kelompok Tani, diharapkan mampu membawa para anggotanya ke dalam suasana hidup yang lebih baik dan sejahtera. Kelompok Tani adalah bentuk kelembagaan petani yang lebih mengedepankan kekeluargaan sesama petani, ketimbang memikirkan hal-hal yang bersifat ekonomis.
Itu sebabnya, seiring dengan tuntutan zaman, sekarang ini ramai dikembangkan kelembagaan ekonomi petani. Korporasi Petani merupakan bentuk konkret dari Kelembagaan Ekonomi Petani.
Potret Kelompok Tani saat ini, memang sangat jauh berbeda dibandingkan di awal-awal pembentukannya. Semangat para petani untuk bergabung dalam wadah kelompok tani saat itu, lebih diwarnai oleh adanya harapan yang ingin dicapai. Kelompok Tani dinilai sebagai wadah penyelamat untuk mengubah nasib kehidupan mereka. Kelompok Tani dipercaya akan mampu menjadi lembaga yang dapat meningkatkan pendapatan petani.
Sebagai organisasi petani, Kelompok Tani yang kemudian bergabung menjadi Gabungan Kelompok Tani, seringkali mendapat bantuan dari Pemerintah. Mulai dari bantuan bibit, pupuk dengan harga subsidi, alat-alat mesin pertanian, dan lain sebagainnya.
Selain itu, ada juga bantuan uang yang langsung masuk ke dalam rekening Gabungan Kelompok Tani. Ironisnya, sejalan dengan semakin maraknya bantuan yang diterima, ternyata tingkat kesejahteraan petani tetap jalan di tempat.
Dampak maraknya bantuan Pemerintah melalui Gabungan Kelompok Tani, tentu saja melahirkan persepsi baru di kalangan petani. Dulu para petani mau bergabung di Kelompok Tani atau Gapoktan karena mengharapkan adanya perubahan nasib kehidupan melalui proses kebersamaan. Namun sekarang para petani mau menjadi anggota kelompok tani atau Gabungan Kelompok Tani, karena mereka berharap bakal mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Hal ini betul-betul memprihatinkan.
Petani yang mau bergabung ke dalam Kelompok atau Gabungan Kelompok hanya sekedar mengharap bantuan Pemerintah, tentu bukan itu yang dirancang oleh Pemerintah. Bantuan yang diberikan hanyalah sebagai modal awal untuk menggerakan kegiatan kelompok dan bukan digunakan hanya untuk kepentingan beberapa orang anggota kelompoknya saja. Dengan bantuan ini Pemerintah berkeinginan agar Kelompok menjadi semakin dinamis dan tumbuh dengan kekuatan sendiri.
Sayang, dalam kenyataannya, justru dengan banyaknya bantuan menyebabkan kelompok menjadi semakin tergantung dan jauh dari kemandirian. Kelompok tani bahkan Gapoktan, terekam semakin manja dan selalu berharap akan datangnya bantuan. Dalam benak mereka, bantuan merupakan sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai pelengkap kehidupannya.
Mindset yang kini semakin melekat kuat di benak petani tersebut, sudah saatnya kita kembalikan kepada semangat awalnya. Kelompok atau Gabungan dibentuk tidak dimaksudkan hanya untuk menerima bantuan, namun pembentukan itu dimaksudkan untuk lebih memberi peluang kepada para petani dalam mengembangkan kegiatan usahatani.
Dalam upaya menuju pembangunan pertanian yang lebih maju, mandiri dan modern, peran kelembagaan pertanian perlu didorong untuk memberikan kontribusi terhadap hal tersebut. Kelembagaan pertanian menjadi sebuah penggerak utama untuk mencapai kemajuan pertanian. Kelompok tani menjadi salah satu kelembagaan pertanian yang berperan penting dan menjadi ujung tombak karena kelompok tani merupakan pelaku utama dalam pembangunan pertanian.
Hadirnya kemitraan, baik yang sifatnya kuantitatif, kualitatif, dan integratif antara Perum Bulog dengan Kelompok Tani dalam budidaya padi sekaligus sebagai offtaker gabah, tentu saja membawa angin segar dan aura baru bagi "penjaminan" penghasilan petani yang selama ini sering menjadi tanda tanya besar dalam kehidupan kaum tani sehari-harinya.
Dengan adanya kemitraan dalam sisi produksi dengan menggunakan teknologi budidaya modern dengan menggunakan teknologi baru dan inovatif, diharapkan produksi dan produktivitas bakal meningkat. Kesiapan Perum Bulog menjadi offtaker, jelas akan "menenangkan" petani untuk tidak waswas menghadapi harga jual saat panen berlangsung. Perum Bulog menjamin harga yang sesuai dengan aturan Pemerintah.
Menarik untuk dijadikan bahan diskusi, kemitraan Perum Bulog dengan Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani, sebaiknya diikat oleh sebuah komitmen yang kuat dengan mengedepankan kehormatan dan rasa tanggungjawab yang berkomitmen.
Kita percaya Perum Bulog akan berbuat yang terbaik bagi petani. Sebab, Bulog merupakan "sahabat sejati" petani.
Inilah barangkali sebuah ikhtiar nyata yang digarap oleh Perum Bulog. Mereka tetap komit bahwa Perum Bulog mestilah selalu dekat dan mencintai petani.
Perum Bulog rupanya tidak rela dituding sebagai BUMN yang tidak pro petani. Perum Bulog tidak mau dicap sebagai lembaga parastatal yang tidak membela maupun melindungi petani. Apalagi jika Perum Bulog pun divonis sebagai alat kepentingan politik tertentu untuk menjadi mesin pencetak uang sebagaimana yang pernah diisukan tatkala Pemerintahan Orde Baru.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
© Copyright 2024, All Rights Reserved