TANGGAL 19 Desember merupakan Hari Bela Negara. Hari ini diadakan untuk memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat pada 19 Desember 1948.
Jika tak ada pemerintahan darurat tersebut bisa jadi oleh dunia internasional Indonesia dianggap tak ada. Pemerintahan darurat ini merupakan penanda bahwa Indonesia ada dan sudah merdeka, dan sedang berjuang melawan kekuatan kolonial yang ingin kembali mengokupasi Indonesia.
Saya ingin memaknai Hari Bela Negara dari perspektif lain. Dari beberapa guru, saya mendapat pemahaman bahwa negara tak identik dengan pemerintah. Sesuatu disebut negara jika di situ ada pemerintah, wilayah dan tentu saja rakyat. Ini sering kali dilupakan atau sengaja dilupakan (?) sehingga muncul simplifikasi bahwa negara identik dengan pemerintah belaka.
Maka segala kebijakan, aturan, keputusan pemerintah sering langsung dimaknai sebagai kebijakan "negara", yang sudah pasti benar adanya, tak bisa dibantah, dan sudah pasti sesuai untuk rakyat.
Negara, yang dimaknai sebagai pemerintah belaka, lalu seringkali dihadapkan atau berhadapan dengan rakyat jika ada kebijakan yang tak sesuai dan menuai banyak kritik. Padahal rakyat adalah bagian penting dari negara, seperti halnya pemerintah itu sendiri.
Kesumiran pemahaman seperti ini yang tampaknya kerap menjadi landasan berpikir dalam melahirkan berbagai kebijakan "negara" yang "mengatasnamakan" rakyat, tapi sejatinya hanya untuk kepentingan segelintir orang.
Ada beberapa isu terkait yang belakangan membuat saya merasa trenyuh. Berita kekerasan kembali menguak di beberapa proyek tertentu. Ada pula protes dan keprihatinan terkait mega proyek di ujung timur Indonesia.
Muncul pula hasil kajian yang melengkapi berbagai keluhan tentang gaya pembangunan tertentu, yang menunjukkan bahwa jika "keliru membangun" taruhannya besar.
Hidup suku-suku bisa tercerabut, konflik sosial mencuat, satwa dan tumbuhan tertentu bisa lenyap, relasi lekat manusia dengan alam menjadi pudar.
Seiring menguatnya isu-isu tersebut, muncul berbagai keluhan hidup karena makin beratnya beban ekonomi yang ditanggung mayoritas rakyat. Rakyat kecil dan menengah bawah sudah jumpalitan terhimpit masalah ekonomi. Bahkan banyak yang sudah tak berdaya meski hanya sekadar bertahan hidup.
Beberapa driver online yang saya temui adalah lulusan universitas negeri ternama di Tanah Air, yang ijazah dan pengalaman kerjanya tak lagi bisa menjadi perisai untuk bisa bertahan di dunia kerja.
Lapangan pekerjaan sudah semakin menipis, jutaan Gen-Z menganggur, perusahaan banyak yang sekarat, daya beli anjlok, dan sebagainya. Belum lagi jika kita melihat kehidupan mereka yang dikategorikan miskin dan sangat miskin.
Hari-hari bagi banyak orang kini adalah hari-hari penuh kecemasan dan ketidakpastian; Hari-hari yang hampir pasti tak akan tergambar dalam survei-survei tertentu, yang gemar mengglorifikasi "tingkat kepuasan rakyat" untuk dijadikan justifikasi "keberhasilan" pembangunan.
Dan akhir-akhir ini kegelisahan sosial makin menguat karena sebentar lagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen. Meski penerapan kenaikan PPN ini tak dikenakan untuk sembako dan produk atau jasa tertentu, efek berantai akibat kenaikan pajak ini diprediksi akan berimbas pada seluruh rakyat.
Jika kita menilik kembali pengertian hakiki negara, maka sudah selayaknya Hari Bela Negara menjadi salah satu pengingat kita agar dengan legowo mau dan mampu melihat kembali berbagai kebijakan "negara".
Di mana rakyat sebenarnya diletakkan dalam berbagai kebijakan tersebut?
Apakah suara mereka betul didengarkan? Apakah kesanggupan rakyat untuk menanggung beratnya beban ekonomi menjadi pertimbangan? Apakah masa depan dan berbagai hak rakyat untuk diri mereka dan generasi mendatang betul menjadi perhatian?
Apakah pembangunan tidak dibajak dan hanya akan menguntungkan segelintir orang sehingga membuat yang kaya makin kaya? Apakah rakyat tidak menjadi mangsa para oligarki ganas, yang gemar melahap apa saja untuk kepentingannya?
Jadi, karena dalam negara sejatinya selalu ada unsur rakyat, maka sesungguhnya segala hal tentang "pembangunan", baik perencanaan, proses, hasil dan tujuannya, tak lain tak bukan adalah betul-betul untuk rakyat.
Semoga pemerintahan baru ini bisa betul-betul menjadi "maung" pembela sejati yang dengan sigap selalu mau dan mampu membela kepentingan rakyat, yang punya hati untuk mampu mendengar jeritan kaum papa, yang dengan gesit bisa selalu membela negara dari kelicikan para koruptor, oligarki dan pemodal yang hanya ingin memanfaatkan negara untuk dirinya.
*Penulis adalah Pegiat Isu Perhutanan Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, hingga Perubahan dan Krisis Iklim
© Copyright 2024, All Rights Reserved