ADA banyak tulisan menyambut Milad KAHMI. Hampir semua puja-puji tentang "kehebatan" organisasi ini. Sederet nama besar bertengger atau terpaut dengan organisasi ini.
Mereka yang hebat-hebat itu selalu terhubung dengan kekuasaan atau jabatan politik lainnya. Tak pernah (lagi) nama besar alumni HMI terangkat dari penggerak komunitas miskin, atau pendekar hukum, atau penentang perusak lingkungan, pengkritik hebat rezim.
Di akhir Orde Lama HMI dan alumninya tampil sebagai garda terdepan menentang PKI yang mendapat angin dari Presiden Soekarno dan orang-orang istana lainnya.
Di zaman Orde Baru, sejumlah nama beken alumni HMI seperti Nurcholish Madjid, Imaduddin Abdul Rahim, Dawam Rahardjo, Sulastomo, Adi Sasono, dan lain-lain adalah intelektual kelas kakap yang cukup kritis terhadap pemerintahan Orde Baru, sekalipun di pemerintahan Soeharto banyak juga juga alumni HMI semisal Ahmad Tirto Sudiro, Beddu Amang, Mar'ie Muhammad, Akbar Tanjung, Fuad Bawazier, dan seterusnya.
Di parlemen pun para alumni HMI sangat nyaring suaranya mengkritik Orde Baru. Sebut saja Ridwan Saidi, Syufri Helmy Tanjung, dan banyak lagi yang lain.
Di bawah mereka-mereka yang disebut di atas, ada orang seperti Fachry Ali, Mansour Fakih, Hadimulyo, dan sederet nama lainnya, menjadi pelanjut pemikiran-pemikiran kritis yang diproduksi kalangan alumni HMI.
Lalu, apakah pikiran-pikiran kritis mereka membuat KAHMI dan HMI makin terpuruk? Jawabannya: Tidak!
KAHMI sering disebut HMI jilid 2. Padanya terletak harapan melanjutkan misi kelima HMI: mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Era Soeharto berakhir. Musim berganti. Melalui reformasi angin kebebasan berhembus kencang. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di zaman Soeharto dikecam habis-habisan hingga ke titik nadir.
Pembatasan partai politik digugat, diganti oleh rezim multipartai politik. Demokrasi pun sangat dipuja-puja. Saking liberalnya praktik demokrasi di negeri ini didasarkan pada transaksi: ada uang ada suara. Tapi apa lacur?
Apa yang digugat di masa Soeharto, kini dipraktikkan tanpa malu oleh para penggugat itu. Kini Presiden dan orang-orang istana seenaknya menabrak konstitusi, Presiden merasa enteng saja mendudukkan anak dan menantunya sebagai walikota. Tak satupun partai politik menentangnya, sebaliknya mendukungnya.
Yang teranyar, adalah dukungan partai politik dan aparat penegak hukum pada anak Presiden menjadi Wakil Presiden. Di bulan-bulan Pilkada ini juga istana lama dan istana baru membentuk kartel politik.
Kondisi politik seperti ini, di zaman Orde Baru pasti ditentang habis-habisan. Di antara penentang terdepan itu adalah alumni HMI (KAHMI) dan HMI.
Tapi kini fakta bicara lain. Selama 25 tahun terakhir ini, KAHMI hanyalah sebuah organisasi yang tak mampu bersuara untuk keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai seorang yang ikut dalam gerbong KAHMI (bidang pembinaan ideologi), saya melihat KAHMI tak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang ketergantungan pada kekuasaan dan jabatan.
Para elite HMI tak memiliki nyali menempuh "jalan mendaki" (fakku raqabah, au ith'amut dzi masghabah, au yatiman dza maqrabah, au miskinan dza maqrabah).
Dapat dipastikan hampir tak ada gerakan KAHMI untuk membebaskan kaum tertindas itu. Sebaliknya KAHMI lebih memilih berada di zona nyaman, menjadi subordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan dan jabatan untuk memupuk kekayaan pribadi.
Saat para alumni HMI memegang wewenang, hampir tak terlihat mereka menggunakan wewenang itu untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga alumni HMI tak berbeda dengan yang bukan alumni HMI saat memegang kendali kewenangan.
Ada harapan di tangan seorang Anies Baswedan. Setidaknya itu yang terlihat selama beliau menjabat Gubernur DKI dan di program-program politiknya di Pilpres lalu. Tapi Anies kemudian dikalahkan. Saat Anies ingin tampil kembali di Pilkada DKI, ia dibabat habis oleh kartel partai politik yang diorkestrasi oleh istana lama maupun istana baru.
Hal lain yang menurut saya juga patut disayangkan adalah betapa elite HMI juga tidak pernah mau mendengar kritik yang disampaikan oleh alumni HMI, baik yang ada dalam struktur kepengurusan KAHMI maupun yang di luar struktur.
Kritik itu dianggap angin lalu saja. Para elite KAHMI di wilayah maupun di di daerah tak jauh berbeda dengan di Majelis Nasional. Seakan-akan KAHMI itu anti kritik.
Terlontar juga pertanyaan, apa sih yang ditakutkan KAHMI kalau mengkritik pemerintah? Takut tidak diajak dalam pemerintahan? Wah... Wah... Kalau begitu ubah saja kelamin KAHMI menjadi partai politik agar terang benderang posisinya!
Atau, posisi KAHMI saat ini memang kumpulan intelektual banci?
Maaf, semoga pandangan saya ini salah (Wallahu a'lam bi al-shawab).
*Penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan Ideologi Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Periode 2022-2027
© Copyright 2024, All Rights Reserved