Dalam beberapa dekade terakhir, bangsa Indonesia dihadapkan pada persoalan semakin menjauhnya cita-cita akan kemandirian ekonomi. Penguasaan sumber daya alam yang starategis semakin jauh dari semangat pasal 33 UUD 1945, ketergantungan impor pangan dan semakin meningkatnya kesenjangan ekonomi di Indonesia.
Dalam pandangan Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) Partai Amanat Nasional (PAN), Wahyuni Refi, telah terjadi jurang yang semakin lebar antara cita-cita kemerdekaan sebagai jembatan emas dengan tata cara generasi penerus dalam mewujudkan impian tersebut.
Dalam penguasaan sumber daya migas, Pertamina sebagai institusi pelat merah hanya menguasai sekitar 16 persen ladang migas nasional. Sisanya dikuasai Chevron (AS) 44 persen, Total E&P (Perancis) 10 persen, ConocoPhillips (AS) 8 persen, dan China National Offshore Oil Corporation sebesar 5 persen.
Lebih ironis lagi, Indonesia yang disebut sebagai negara agraris justru semakin tergantung kepada impor pangan. Produsen tempe-tahu misalnya, saat ini menjerit akibat kenaikan harga kedelai di pasar internasional sedangkan di dalam negeri tidak ada strategi membangun konsep kedaulatan pangan secara konsisten.
Indonesia saat ini bergantung 100 persen kepada impor gandum, 78 persen impor kedelai, 72 persen impor susu, 54 persen impor gula, 18 persen impor daging sapi, dan 95 persen impor bawang putih. Sebagian besar bahan pangan itu diimpor dari negara-negara maju.
“Inilah pentingnya melaksanakan ajaran trisaksi Bung Karno secara konsisten yakni berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik dan berkepribadian dalam kebudayaan,” ujar perempuan kelahiran Surabaya, 10 Maret 1973 itu kepada politikindonesia.com, di Jakarta, Kamis (05/09).
Refi yang juga menjabat sebagai Sekjen Parade Nusantara itu, juga menjabarkan bagaimana strategi dan komitmen PAN dalam memperjuangkan Trisaksi Bung Karno tersebut. Berikut petikan wawancara perempuan bernama lengkap Wahyuni Refi Setya Bekti tersebut dengan Ardinanda Sinulingga.
Bagaimana penilaian anda tentang kemandirian ekonomi Indonesia saat ini?
Pada satu sisi, kita sangat tercengang dengan data dan fakta bahwa sumber-sumber ekonomi strategis bangsa sebagian besar dikuasai oleh pihak asing. Sektor minyak dan gas bumi, misalnya. Indonesia saat ini makin tergantung kepada impor, terutama basic need kebutuhan pangan.
Kenyataan ini menunjukan bahwa kita berada semakin jauh dari cita-cita membangun kemandirian ekonomi sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Perlu digarisbawahi, hari-hari ini negeri kita memasuki gaya penjajahan bentuk baru, dengan penguasan ekonomi oleh korporasi-korporasi internasional yang kini melampaui batas-batas suatu negara.
Jauh-jauh hari, hal ini sudah diperingatkan oleh para pendiri Bangsa. Bung Karno, ketika membacakan pledoi “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Bandung, 18 Agustus 1930, menyatakan, penjajahan itu bentuknya bisa saja tidak dijalankan lewat penguasaan secara fisik atau perang, tetapi dengan cara yang lebih halus melalui penguasaan terhadap ekonomi suatu bangsa.
Bung Karno mengatakan “Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem memengaruhi ekonomi dan negeri dan bangsa lain. Ia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang. Tak usah berupa perluasan daerah negeri dengan kekuasaan senjata sebagai diartikan oleh Van Kol, tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja. Bisa juga berjalan dengan cara penetration pacifique.”
Apa penyebab ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing, terutama pangan?
Karena kita tidak konsisten menjalankan ajaran pendiri bangsa ini. Konsep dasarnya sudah jelas, yakni membangun kemandirian ekonomi, kedaulatan politik dan kepribadian bangsa dalam kebudayaan. Kita juga telah diwariskan bagaimana cara untuk mencapainya. Bagaimana seharusnya kita membangun dunia pertanian, menyediakan lahan untuk petani kita sendiri melalui reforma agraria.
Celakanya, kita tidak melaksanakan hal itu dengan konsisten, sehingga problematika yang dipikirkan oleh para pendiri bangsa dahulu justru mencapai klimaksnya saat ini. Terbukti kebenarannya, dengan rentannya ekonomi Indonesia yang sangat bergantung pada asing.
Kita harus cermat dan meninjau ulang segala bentuk peraturan internasional yang justru memberatkan kita atas nama globalisasi. Kita semakin terjerat dalam konsep liberalisme pasar yang sangat minim proteksi terhadap sumber-sumbar kekayaan alam yang kita miliki.
Masihkan relevan pemikiran Trisakti Bung Karo dalam era Globalisasi saat ini?
Justru sangat relevan. Ketika globalisasi, mencuatnya liberalisme ekonomi yang memunculkan ketimpangan global yang semakin jauh antara negara maju dengan berkembang yang menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, pemikiran Trisakti Bung Karno harus terus kita perjuangkan secara konsisiten.
Tanpa membangun kemandirian ekonomi, tidak akan mungkin Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup dalam pergaulan internasional. Begitu juga dalam hal kebudayaan nasional. Dengan cara kerja globalisasi yang syarat dengan penyeragaman nilai, justru kita harus bersaing dan membangun ciri khas sendiri, yakni berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Itulah kelak yang menjadi ciri khas dan karakter negeri ini dalam pergaulan internasional yang berkeadilan.
Apa program partai anda untuk menyelesaikan persoalan yang anda sebutkan?
Pertanyaan ini sangat menarik bagi saya. Pak Hatta Rajasa sebagai ketua Umum PAN sangat konsen dalam membenahi dan membangun kemandirian ekonomi, atau yang kami sebut dengan nasionalisme ekonomi.
Dalam salah satu seminar di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2012, beliau menyampaikan, reformasi agraria sebagai keniscayaan dalam membangun kemandirian ekonomi terutama pangan.
Jangan sampai, akibat investasi perusahaan besar justru mengabaikan lahan pertanian setempat. Dalam cakupan yang lebih luas, PAN berpandangan terjadinya ketimpangan kepemilikan struktur agraria dan abainya sistem proteksi terhadap petani serta minimnya spirit produksi dan pengembangan sektor pertanian menjadi salah satu penyebab terjadinya ketergantungan impor terutama pangan. Petani kehilangan tanahnya sebagai alat produksi atau negara tidak melaksanakan amanat Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.
Memang, persoalan kita kompleks sekali dan tidak bisa diselesaikan dengan tambal sulam. Semuanya harus berintegrasi dan bersinergi dengan semangat melaksanakan ketentuan sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. Tidak cukup hanya political will tetapi juga harus ada political action, dan political courage.
Oleh sebab itu, dalam Rakernas lalu sudah disampaikan bahwa reformasi agraria menjadi kebijakan politik ekonomi PAN untuk menata kembali ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan lahan di Indonesia.
Bagaimana posisi PAN soal kemandirian pengelolaan energi?
Dalam hal kemandirian migas, PAN juga terus berjuang secara bertahap membangun kemandirian ekonomi migas kita. Seperti yang sering disampaikan kader PAN, kita harus meninjau ulang kontrak-kontrak migas yang merugikan negara selama ini.
Perlu ada kebijakan untuk menghentikan pengiriman dan penjualan bahan mineral mentah ke luar negeri. Perlu ada aturan yang memperketat terkait bea ekspor bahan tambang, pembatasan pintu masuk pelabuhan impor dan pengaturan kepemilikan saham perusahaan tambang asing.
Seperti Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2012 yang merupakan revisi dari PP No. 23 tahun 2010, mengharuskan investor asing mendivestasikan kepemilikannya di perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia sehingga hanya tersisa 49 persen dari jumlah total sebelumnya.
Sebanyak 51 persen sahamnya wajib dimiliki perusahaan nasional maksimal pada tahun kesepuluh beroperasi. Periodenya adalah, divestasi 20 persen pada tahun keenam, 30 persen tahun ketujuh, 37 persen tahun kedelapan, 44 persen tahun kesembilan, dan 51 persen tahun kesepuluh. Dalam pandangan kami, itu semua dalam rangka menjaga kepentingan nasional ditengah arus globalisasi.
Anda optimis, Indonesia bisa mencapai kemandirian ekonomi?
Perjuangan ini bagi kami tidaklah mudah, tetapi PAN meyakini ini bisa terwujud jika sebagai sesama anak bangsa dengan sense of nationality mau bersama-sama memperjuangkannya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved