Tidak ada yang bisa menjamin bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berlangsung secara serentak akhir tahun ini, dapat berlangsung tanpa pelanggaran hukum. Pemerintah harus bisa bersikap tegas terkait pembenahan Pilkada. Gangguan pada pilkada dapat berdampak kemana-mana, termasuk program ekonomi yang sedang berjalan.
Demikian disampaikan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) , Siti Zuhro kepada politikindonesia.com, usai diskusi bertema "Etika Politik Pemilukada", di Perpustakaan MPR, Jakarta, Senin (07/09). “Pada tataran legal frame, masih ada persoalan yang belum selesai, tapi mau atau tidak pilkada harus tetap jalan."
Siti menyebut, selama tahapan awal Pilkada saja, ada banyak persoalan yang ditimbul. Siti menilai landasan hukum yang mengatur penyelenggaraan pilkada serentak, yakni aturan perundangan, peraturan pemerintah, mauapun peraturan KPU, masih belum sempurna, tapi sudah ditetapkan pelaksanaannya.
Konflik internal di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga belum selesai, tapi pelaksanaan pilkada sudah jalan terus.
Persoalan akan semakin pelik karena awal 2016 Indonesia harus menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Pada saat bersamaan, ujar Siti, tahapan sengketa pilkada juga akan segera masuk ke persidangan.
Perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, 7 November 1968 ini meminta penyelenggara pemilu dan pemerintah benar-benar menyiapkan penyelenggaraan pilkada serentak ini dengan baik. Jangan sampai, ajang demokrasi ini berdampak negatif. Jika terjadi kerusuhan, rasa amamn investor akan terganggu.
"Hal ini akan menjadi persoalan serius. Apabila ditambah lagi persoalan-persoalan yang sudah ada saat ini. Padahal tujuan Pilkada serentak itu untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat. Namun, hal itu hingga saat ini belum juga pernah tercapai," ujar perempuan yang akrab disapa Wiwiek ini.
Kepada Elva Setyaningrum, peneliti bidang politik ini, membeberkan ancaman potensi konflik yang mungkin muncul akibat gesekan di Pilkada. Ia juga menyampaikan sejumlah saran untuk mencegah hal itu, benar-benar terjadi. Berikut wawancaranya.
Bagaimana penilaian anda tentang tahapan Pilkada serentak yang tengah berjalan?
Saya melihat pilkada serentak pada 9 Desember mendatang ini betul-betul tidak kompak. Dasar hukum pilkada masih gonjang-ganjing. Partai-partai politik yang menjadi peserta juga belum solid. Seharusnya, persoalan ini diselesaikan terlebih dulu.
Saat melihat, tidak ada prakondisi pilkada yang rawan konflik. Ini berbahaya. Jika nanti terjadi kekisruhan masal di daerah, negara ini kembali ke zaman otoriter.
Mengapa Anda begitu khawatir, Pilkada bisa memunculkan kerusuhan?
Karena saya melihat faktanya hingga saat ini, partai politik belum siap menyelenggarakan Pilkada serentak. Hal itu yang membuat sulit buat kita untuk bisa bersikap positif terhadap pelaksanaan pilkada serentak.
Seharusnya parpol memiliki mental ksatria dan berjuang di pemilihan kepala daerah. Termasuk tidak takut mencalonkan pasangan kepala daerah kendati berpotensi kalah dan menang. Jangan mundur dahulu jika belum mencoba.
Parpol harus mengubah mindsetnya. Jangan melulu harus menang. Tidak menang juga tidak masalah, yang terpenting calon tersebut sudah dikenal lebih dahulu. Jangan kalah terus mencari keributan.
Jika terjadi kericuhan yang mengganggu stabilitas nasional, siapa yang bertangungjawab?
Penanggungjawab akhir dari pilkada serentak adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai presiden, Jokowi tidak bisa melepas tanggungjawabnya kepada siapa pun karena ini konsekuensi dari sistem presidensial.
Apa saran anda pada pemerintah agar Pilkada ini berjalan baik?
Semestinya, sebelum pelaksanaan pilkada serentak gelombang pertama pada 9 Desember 2015 mendatang, pemerintah mengukur korelasi pilkada yang selama ini sudah dilangsungkan terhadap percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Indonesia telah menyelenggarakan 1.000 lebih Pilkada. Mengukur pilkada dalam konteks pembangunan dan kesejahteraan rakyat, sangat penting agar demokrasi ini mendatangkan manfaat bagi banyak orang.
Tapi apa boleh buat, hal itu belum dilakukan dan 9 Desember mendatang rakyat sudah harus dihadapkan dengan pilkada serentak di 269 daerah. Ibaratnya nasi sudah jadi bubur, ya tetap harus dimakan.
Bagaimana dengan kesiapan parpol?
Seharusnya, sebelum pilkada serentak digelar, harus ada prakondisi terhadap pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam pilkada. Misalnya, partai politik. Apa betul-betul sudah dalam kondisi siap ikut pilkada. Atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) apa sudah dalam kondisi siap menyelenggarakan pilkada. Harus ada jaminan kalau nanti tidak akan terjadi pelanggaran etika atau UU pilkada oleh kontestasi, partai politik dan penyelenggara pilkada.
Apa arti Pilkada serentak ini bagi demokrasi di Indonesia?
Kesuksesan pilkada ini menjadi tolok ukur perkembangan demokrasi Indonesia. Negara ini berpotensi menjadi negara otoriter kalau tidak bisa memenuhi syarat sebagai negara demokrasi.
Dalam demokrasi itu bisa dilihat jika tentara sudah mundur dari politik, politik kekerabatan tidak ada lagi. Sementara di Indonesia politik kekerabatan justru semakin kuat di era yang dikatakan demokrasi seperti saat ini, politik kekuasaan justru dilestarikan.
Dalam praktiknya, partai politik sebagai pilar utama demokrasi lebih mengutamakan kontestasi. Rakyat dam bahkan kadernya sendiri yang belum pas dengan nilai-nilai universal demokrasi, dipaksakan masuk peristiwa kontestasi.
Akibatnya, semua proses demokrasi menggunakan topeng. Semua tipu-tipu sehingga demokrasi tidak substantif. Kaget-kaget rakyat, kok bekas napi bisa ikut pilkada.
© Copyright 2024, All Rights Reserved