Dunia olahraga di Indonesia terus menggeliat. Atlet yang selama puluhan tahun diabaikan kini masuk jadi bagian penting. Hidup dan kesejahteraan mereka terus ditingkatkan. Pengiriman atlet untuk ikut dalam pertandingan Asean Games, SEA Games, Olimpiade, juga PON di dalam negeri makin semarak.
Tak banyak yang tahu, bahwa dalam setiap kontingen atlet yang akan bertanding ternyata ada dokter yang mendampingi. Bukan dokter biasa, melainkan dokter spesialis kedokteran olahraga (SpKO).
Dokter ini, karena keterbatasan tim kadang juga berperan sebagai ahli gizi dan sekaligus psikolog untuk atlet. Salah satu dari dokter tersebut adalah dr Anita Suryani SpKO.
Anita mengaku menjadi tim dokter atlet adalah amal. Bayarannya tidak tinggi, tapi dia melakukan sepenuh hati karena mencintai kedokteran, sekaligus mencintai dunia olahraga.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai dr Anita Suryani SpKO di sela-sela kesibukannya. Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang menarik Anda sehingga memilih jadi dokter Spesialis Kedokteran Olahraga?
Saya memang suka olahraga. Dari SD, SMP dan SMA sudah jadi tim inti atlet volley sekolah. Sampai kuliah masih berlanjut. Terakhir basket, pingpong, volley masih tetap juara satu. Awalnya memang dari hobi. Hobi lanjut jadi pekerjaan. Akhirnya enggak berasa kerja. Jadi saya pilih spesialisasi kedokterannya itu spesialis kedokteran olahraga.
Aku kuliah spesialisasi tahun 2016, dan daftar ke PBVSI, akhirnya 2018 masuk jadi tim kedokteran Timnas Volley. Wah itu rasanya senang banget. Karena memang dari dulu pengen banget nonton Timnas bertanding. Dari dulu enggak pernah kesampaian pengen nonton, tapi sekalinya dapat kesempatan nonton malah nonton persis di pinggir lapangan, jadi dokter mereka. Wah itu bangganya luar biasa. Itu dreams come true banget. Bayangkan, orang yang sangat suka volley disuruh ngurusin tim volley nasional.
Hidup aku, pride aku, hobi aku sekarang ada di sekitar situ. Bangga, dan bahagia luar biasa dengan apa yang aku dapat hari ini.
Apa sih yang membedakan dokter atlet dengan dokter yang lain?
Itu spesialisasi saja. Jadi spesialis kedokteran olahraga. Sama dengan spesialis obgin, spesialis internist, spesialis kulit dan kelamin. Nah saya spesialis kedokteran olahraga. Sekolah lagi, 3,5 tahun saya sekolah lagi. Jadi memang ini keilmuan sendiri. Jadi memang saya ambil spesialis kedokteran olahraga. Nah memang spesialis kedokteran olahraga ini belum banyak yang tahu. Dan yang membuka jurusan spesialis kedokteran olahraga baru FKUI aja. Kalau spesialis kedokteran yang lain ada di Unair, tapi khusus spesialis kedokteran olahraga baru ada di UI. Jadi saat ini hanya UI satu-satunya di Indonesia yang punya jurusan kedokteran olahraga.
Berapa banyak dokter spesialis olahraga di Indonesia?
Masih sedikit. Sekarang ini baru 100-an saja. Jadi dari 30 angkatan, baru ada 100-an dokter. Jadi satu angkatan kelulusannya paling banyak cuma 10 orang, ada yang 5 orang, ada juga yang cuma 3 orang.
Itu 100 dokter seluruh Indonesia?
Iya, seluruh Indonesia. Jadi di daerah-daerah dokter spesialis kedokteran olahraga itu masih sangat langka. Saya lulus satu angkatan itu cuma 8 orang. Di atas saya cuma 3 orang. Angkatan di bawah saya ada 10 orang.
Masih sedikit ya?
Iya. Sangat sedikit dan sebenarnya kebutuhan kita masih sangat banyak. Dan cabang olahraha (cabor) kan masih terus berkembang. Nanti PON saya akan berangkat mendampingi atlet.
Masih tetap voli atau ganti cabor?
Kali ini saya tim dayung. Jadi tim voli sudah selesai. Sekarang saya diminta jadi dokter timnas dayung. Dari situ saya ke Tokyo, ke Thailand, ke Kamboja.
Biasanya cedera atlet itu paling banyak di mana dok?
Kalau untuk atlet dayung paling banyak di punggung, pinggang, tangan.
Pernah ada kejadian menarik menangani atlet?
Pernah di Sea Games Vietnam, ada atlet yang besoknya tinggal bertanding, eh tangannya jadi kaku kayak batu. Mungkin tegang karena banyak latihan.
Pengobatannya bagaimana kalau seperti itu?
Tusuk jarum. Alhamdulillah berhasil dan menang dapat emas. Kalau enggak diobati itu tutup botol saja enggak bisa buka. Jadi itu memang enggak ada obatnya. Cuma tusuk jarum saja. Jadi saya memang diminta belajar tusuk jarum khusus mengobati atlet. Karena itu kan trigger point-nya adalah otot yang tegang.
Tapi itu pengobatan barat modern, beda dengan akupuntur. Kalau akupuntur kan traditional chinese medicine, pakai garis energi. Kalau ini pengobatan barat modern yang kalau di USG itu ada bedanya, ototnya enggak rata. Kusut, kayak iklan counterpain itu. Nah itu dengan tusuk jarum bisa diperbaiki. Itu bisa diobati di bagian mana saja. Jadi bagian yang kakunya yang diterapi tusuk jarum.
Bedanya apa dengan tusuk jarum tradisional?
Jarumnya sama tapi tekniknya beda. Kalau tradisional kan jarum diletakkan, terus disetrum. Nah kalau ini beda. Jadi satu jarum ditusukkan sampai ke lokasi otot yang tegang. Jarumnya ini lebih halus dari pembuluh darah. Kalau kena ke bagian yang dituju biasanya dia akan terasa sakit. Tapi sebentar, cuma 1 atau 2 detik, setelah itu dicabut jarumnya. Kadang butuh 5 cm sampai 7 cm baru dapat lokasi sakitnya.
Sekarang atlet itu justru lebih memilih tusuk jarum. Jadi mereka datang dan bilang, dok mau ditusuk dong, pijat sudah enggak mempan nih.
Nah enggak semua dokter SpKO menguasai ini. Karena memang harus belajar lagi. Sekarang saya berniat ambil S3 supaya bisa mempelajari ini dan mengajarkan juga ke dokter yang lain.
Tapi etik profesi tetap sama ya?
Sama dong. Semua dokter terikat pada kode etik yang sama. Ini kan cuma beda spesialisasi saja. Saya dokter dengan spesialisasi kedokteran olahraga. Artinya saya juga menangani orang sakit jantung olahraganya bagaimana, orang obesitas olahraganya bagaimana, orang sakit lutut bagaimana, orang asma bagaimana. Saya menangani orang-orang yang mengalami cedera karena olahraga, bagaimana habis operasi bisa beresin olahraganya. Termasuk menangani bagaimana orang yang akan memulai olahraga. Bagaimana berlari yang benar, bagaimana olahraga yang benar. Itu yang saya tangani.
Selain suka olahraga, apa yang membuat Anda tertarik mengambil spesialisasi ini?
Nah, aku bahkan enggak tahu kalau jadi dokter spesialis kedokteran olahraga ternyata semenyenangkan ini. Jalan-jalan melulu. Kalau orang-orang merasa butuh jalan-jalan buat healing, saya kadang merasa ini healing terus karena jalan-jalan terus.
Ini kan stand by terus ya, itu pasti ada yang sakit atau enggak selalu?
Enggak selalu. Kami kan memang ditugaskan menemani mereka jadi kami memang berjaga-jaga terus. Termasuk juga mengawasi gizi mereka, istirahat mereka, bahkan jadi psikolog juga. Idealnya dalam satu tim itu komplit ya. Ada dokter olahraga, ada ahli gizi, psikolog, juga dokter SpoT, kalau perlu operasi. Tapi belum tentu semua PB bisa memenuhi itu.
Prinsipnya kan atlet mau sehebat apapun, dia enggak akan bisa apa-apa kalau cedera. Dia enggak bisa tanding. Udah latihan berat berhari-hari, pas waktunya tanding cedera, enggak bisa bangun. Nah mau ngomong apa kita? Jadi memang keberadaan tim medis di satu cabor itu penting.
Siapa yang membawa dan membiayai dokter tim medis?
KONI. Di bawah PB masing-masing sebenarnya. Jadi kami masuk kontingen. Kontingen dayung, kontingen basket, voli, begitu. Waktu di Kamboja kemarin, saya jadi dokter kontingen, bukan dokter dayung. Karena di sana enggak ada nomornya. Jadi saya mengurus semua cabor.
Jadi digaji oleh KONI ya?
Iya. Per hari ada gajinya. Tapi saya lebih memilih ini sebagai kerja amal ya. Memang sehari ada gajinya, sekitar 1 juta. Tapi saya sangat menikmati bertemu dengan adek-adek atlet itu. Saya merasa bersama mereka itu kadang kayak kita lagi pergi ke Dunia Fantasai (Dufan) gitu. Seru aja. Apalagi usia mereka sekitar 17 sampai 24 tahun. Jadi masih muda-muda.
Selain jadi dokter atlet, ada praktik di mana?
Di Glodok, RS Kedoya, dan di Sentul. Nah Surat Izin Praktiknya juga sama. Satu dokter hanya boleh praktik di tiga tempat.
Kalau dibandingkan negara lain, kondisi timnas Indonesia dengan dokter-dokter pendamping sudah cukup ideal?
Saya tidak tahu kalau negara lain, karena tidak pernah mendampingi atlet negara lain. Saya memilih keterlibatan saya di kontingen timnas ini sebagai amal. Semua atlet juga begitu. Bedanya mereka bisa mengharapkan bonus. Ada Rp250 juta, Rp350 juta, kalau Asia Tenggara Sea Games levelnya juara umum untuk dayung. Pernah di Vietnam, 8 kali Indonesia Raya berkumandang. Kami berdiri, hormat, duh itu bisa sampai merinding.
Sudah ke mana saja selama menemani atlet?
Alhamdulillah sudah ke mana-mana. Belanda, Jepang, Korea, Kamboja, Vietnam, Thailand, Papua, Aceh. Alhamdulillah ya, lumayan banyak.
Pernah menangani cedera paling berat apa dok?
Kalau atlet dayung kebanyakan pinggang. Ada yang sampai enggak bisa mendayung lagi. Kemarin kejadian pas Olimpiade Tokyo, ada atlet yang akhirnya enggak bisa tanding. Karena tiga bulan di Belanda enggak bawa dokter.
Apa kejadian paling berkesan?
Kemarin pas Asian Games di China. Kami dapat emas ya, yang perahu naga 12 orang. Ada salah satu atlet yang habis Subuh, pagi-pagi, dia nangis. Bapaknya meninggal. Dia enggak bisa pulang. Tiket habis semua, dia sudah mau tanding.
Intinya, jadi atlet itu mengorbankan seluruh hidup dia. Hidupnya monoton sepanjang tahun. Pagi latihan, siang latihan, malam latihan. Tiap hari seperti itu. Jadi mereka adalah orang-orang yang punya kemampuan melakukan hidup yang monoton lebih dari orang lain.
Hidupnya seperti itu terus, teman-temannya juga cuma itu-itu saja. Jadi lingkaran hidupnya hanya itu-itu saja. Tapi memang sekarang bonus yang dijanjikan itu sangat bisa untuk mereka memperbaiki hidup dan meningkatkan taraf hidup keluarga dari situ.
Ada atlet dayung Papua, Stefani Ibo, untuk PON Papua 1 medali emas bonusnya 1 miliar. Ada empat medali emas. Jadi memang lumayan. Tapi mereka harus pintar menabung, karena kan atlet masanya enggak lama. Ada usia pensiun yang lebih cepat.
Kalau sudah pegang satu cabor, bisa pindah ke cabor lain?
Enggak bisa. Tapi biasanya cabor lain bisa minta tolong. Misalnya cabor dari angkat besi, atau olahraga lain bisa minta tolong karena tahu di dayung ada saya yang bisa tusuk jarum itu.
Berapa banyak lagi dokter SpKO yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai kondisi ideal?
Kalau bicara ideal, harusnya setiap provinsi ada dokter spesialis kedokteran olahraga ini. KONI selalu ada, tiap cabor punya sports medicine. Kalau bicara ideal, harusnya setiap PB punya dokter olahraga, punya psikolog dan ahli gizi. Jadi kasus yang kemarin terjadi di sepak bola yang ada dokter palsu itu enggak terulang lagi. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved