Kisah ketidakadilan yang menimpa Misran, seorang mantri Desa Semayang, Kecamatan Kenohan, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur begitu menarik perhatian anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka. Sosok perempuan parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini terenyuh, atas nasib Misran.
Betapa tidak, upaya Misran yang seorang mantri untuk memberikan layanan kesehatan di desa terpencil di pedalaman, malah mengantarkannya ke jeruji penjara. Misran divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Tenggarong pada 19 November 2009 lalu.
Dia ini dipersalahkan pengadilan karena memberikan obat keras pada masyarakat. Karena, menurut UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, hanya dokter lah yang berhak memberikan obat keras. Tak hanya penjara, Misran juga didenda Rp2 juta, subsidair satu bulan kurungan. Upaya banding yang diajukannya kandas. Pengadilan Tinggi Samarinda, justru menguatkan putusan PN Tenggarong.
Pemidanaan Misran telah menimbulkan protes luas masyarakat terutama kalangan perawat dan mantri kesehatan. Tiga belas mantri memohon keadilan ke Mahkamah Konstitusi. Proses judicial review UU 36/2009 itu kini tengah bergulir.
Bercerita tentang Misran, tampak sekali rona kemarahan muncul di wajah perempuan bernama lengkap Rieke Diah Pitaloka Intan Permatasari tersebut. Nada bicara perempuan kelahiran Garut, 8 Januari 1974 terdengar meninggi. Meski coba ditutupinya dengan seulas senyum, jelas sekali terlihat dia tidak terima atas ketidakadilan yang menimpa orang kecil seperti Misran.
Pemeran Oneng dalam sinetron komedi “Bajaj Bajuri” itu geram atas berbagai kejadian yang selalu saja mengorbankan pihak yang lemah dan miskin. Jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), telah enam tahun disahkan. Namun hingga kini belum memberikan banyak arti. Kini, muncul persoalan terkait mantri kesehatan di sebuah desa kecil itu.
Kasus tersebut boleh luput dari pemantauan Komisi IX DPR yang membidangi masalah kesehatan. Namun tidak, bagi istri Donny Gahral Adian ini. Dia bertekad akan mendalami kasus Misran. Hasilnya nanti akan disampaikannya kepada pimpinan komisi guna dijadikan bahan pembahasan RUU Keperawatan. RUU ini termasuk salah satu program legislasi nasional (prolegnas) 2011.
Tekadnya itu disampaikan kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com dalam sebuah wawancara khusus di ruang Komisi IX, Senin (17/05).
Bukan itu saja, lulusan S-2 bidang Filsafat dari Universitas Indonesia ini juga mengkritisi layanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang dianggapnya belum optimal. Lebih lengkap lagi tentang pemikiran artis dan aktifis perempuan yang kini duduk di parlemen itu tentang kesehatan, berikut petikan wawancaranya;
Apa pendapat anda terkait pemidanaan Misran, gara-gara memberikan layanan kesehatan laksana dokter?
Terus terang, perasaan saya campur aduk. Ya, geram dan juga prihatin dengan kenyataan pahit yang menimpa Misran. Tak hanya dia, juga tenaga-tenaga medis lain di pelosok pedesaan.
Apa yang anda perjuangkan terkait hal itu?
Komisi IX DPR memang akan membahas tentang RUU Keperawatan pada prolegnas 2011. Diharapkan RUU tersebut nantinya bisa menjadi lex specialist dari UU Kesehatan. Kita tahu dokter di desa jumlahnya terbatas. RUU tersebut nantinya mengatur tentang hak dan kewajiban perawat, mantri atau tenaga medis lainnya dalam memberikan layanan kesehatan. Akan ada parameter yang akan mengukur kewenangan mereka masing-masing. Sehingga ke depan tidak boleh ada lagi kriminalisasi tenaga medis di pedesaan.
Mahkamah Kosntitusi tengah memproses permohonan judicial review terhadap kasus Misran, apa sikap Komisi IX?
Komisi kami tidak menangani persoalan tersebut secara parsial, case by case. Kami mencoba melihat persoalan secara menyeluruh. Karena itu, pembahasan RUU Keperawatan nantinya akan menjadi tonggak penting dalam melindungi para mantri, perawat atau tenaga media lainnya. Khususnya di daerah-daerah terpencil yang memang tidak terdapat dokter.
Dalam kapasitas sebagai kader PDIP, apa sikap Anda?
Pertama, saya mengecam keras pemidanaan itu. Kedua, saya secara pribadi akan mendalami kasus tersebut, sambil menunggu putusan MK. Mesti diakui, beberapa daerah pedesaan, tenaga dokternya terbatas. Sebagai terobosannya, harus ada pengaturan secara tegas tentang ruang lingkup tenaga medis di pedesaan. Ini yang saya maksudkan sebagai lex specialist tadi.
Berarti harus menunggu prolegnas 2011, apa tidak bisa dipercepat?
Sebetulnya sudah beberapa kali RUU itu, masuk dalam prolegnas. Namun tak kunjung dibahas. Ada semacam konservatisme tentang keberadaan perawat. Selama ini berlaku adagium bahwa perawat, ya tugasnya hanya memberikan perawatan saja. Di luar itu tidak boleh.
Sedang pada kenyataannya, banyak daerah terpencil yang tidak memiliki dokter. Di daerah seperti, yang namanya mantri dan perawat benar-benar menjadi andalan. Sungguh sangat tidak manusiawi, jika menyangkut kesehatan, seseorang harus menunggu sampai ada dokter yang datang ke desa itu.
Persoalannya sekarang, hal itu berbenturan dengan undang-undang kesehatan. Karena itu, menurut hemat saya, dalam melayani kesehatan masyarakat, sudah tidak bisa semata-mata didasarkan pada kultur. Harus ada solusi hukum. Artinya, ada payung hukum yang menaungi para manri dan perawat ini. Sebab kalau tidak, ya seperti Misran. Efeknya, mantri-mantri lain menjadi takut untuk memberikan pelayanan kesehatan. Sementara pasiennya harus segera ditolong. Ini kan dilematis.
Apa sebenarnya kendala bidang kesehatan masyarakat khususnya di pelosok daerah itu?
Persoalannya, Kementerian Kesehatan sampai saat ini tidak punya database tentang ketersediaan tenaga medis yang akurat. Berapa sebenarnya tenaga dokter, bidan, perawat, mantri di setiap daerah. Padahal, dengan data tersebut, kita dapat ikut mengawasi pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Jika terjadi kekurangan tenaga medis di suatu daerah, Kementerian Kesehatan bisa segera memenuhinya. Mungkin bisa mengambil tenaga medis di daerah yang surplus. Atau menambah tenaga medis baru.
Kami juga sadar, hal semacam itu tidak mudah. Soalnya akan berdampak pada membengkaknya anggaran pemerintah. Tapi kita kan, tak bisa berpangku tangan. Harus segera dicari solusi yang tepat dan akurat.
Bagaimana dengan layanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu?
Terus terang, masih belum maksimal. Buktinya, banyak kasus keluarga miskin yang ditolak saat berobat di rumah sakit. Artinya, perlu ada sebuah sistem yang memberi perlindungan pada mereka. Sebenarnya perlindungan itu sudah tertuang pada UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut merupakan pengejawantahan dari Pasal 28 dan 34 UUD 1945. Tapi, pelaksanannya masih banyak terkendala.
Seperti apa sistem SJSN tersebut?
SJSN adalah tatanan atau tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial untuk menjamin agar setiap warga negara mempunyai perlindungan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Jaminan sosial itu, meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Setiap warga negara berhak mempunyai jaminan kesehatan sosial, tanpa kecuali. Tak peduli kaya atau miskin, di kota atau di daerah terpencil, elite ataupun rakyat biasa.
Sejauh ini bagaimana pelaksanaannya?
Tenggat waktu UU No.40/2004 itu sudah habis. Karena itu, perlu UU baru yang sebagai kelanjutan program itu. Di Komisi IX, kami sudah dalam tahap pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menjadi prioritas prolegnas 2010. PT Askes sendiri sebagai salah satu calon penyelenggara SJSN, secara kelembagaan sudah menyatakan kesiapannya.
Seperti apa pola pelayanan BPJS tersebut nantinya?
BPJS bersifat nirlaba. Jadi tidak boleh berada di bawah BUMN. Selama ini pendanaan SJSN diambil dari dua pilar. Pertama, iuran wajib negara untuk peserta bantuan yang tidak mampu. Kedua, berasal dari peserta wajib iur. Yakni mereka yang bekerja di sektor formal, dan informal. Kawan-kawan di Panja BPJS Komisi IX tengah memperjuangkan agar jaminan kesehatan itu sepenuhnya ditanggung pemerintah.
Berapa alokasi dana yang dibutuhkan untuk itu?
Kalau hitung-hitungan Askes, anggaran untuk meng-cover jaminan itu sekitar Rp27 triliun per tahun. Jika penduduk Indonesia kini berjumlah 270 juta jiwa, artinya per orang akan mendapat jaminan Rp10 ribu.
Tapi itu saja kan tidak cukup. Pemerintah juga harus menyiapkan rumah sakit tanpa kelas. Program ini untuk seluruh masyarakat, karena setiap warga negara berhak memperoleh benefit pelayanan kesehatan yang sama. Ini perintah konstitusi. Jadi, tak boleh limitatif. Sedang, kalau ada yang ingin pelayanan lebih bagus, silahkan ambil referensi swasta.
Apakah itu artinya, masyarakat berobat secara gratis?
Bukan gratis. Pemberian jaminan kesehatan, jangan disalahartikan sebagai “pelayanan pengobatan gratis”. Pelayanan kesehatan itu mahal. Karena itu, pemerintah mesti mendanainya melalui APBN. Saya rasa jika pemerintah harus memberikan jaminan kesehatan Rp27 triliun per tahun, tidak terlalu besar. Orang kan tidak sakit secara beramai-ramai.
Berapa sih prakiraan jumlah orang sakit tiap tahunnya?
Saya kutip dari data Askes, tiap tahun penduduk Indonesia yang sakit sekitar 25%. Jumlah itulah yang secara riil harus diberi jaminan. Sedangkan 75% lainnya, akan menjadi dana amanah yang harus dikelola dengan baik dan transparan. Tidak boleh diinvestasikan untuk kegiatan yang tak terkait kesehatan masyarakat. Jangan seperti dana Jamsostek, yang diinvestasikan juga untuk Century sebanyak Rp400 miliar. Padahal, itu kan uangnya kaum pekerja.
Di negara manapun, layanan kesehatan bersifat nirlaba, bukan mencari profit. Kalaupun ada investasi, maka harus dari hasil kesepakatan yang bersifat transparan dan bermanfaat untuk kesehatan masyarakat. Dan jika ada keuntungan, maka masyarakat harus tahu tentang hal itu. Dengan begitu akutabilitasnya harus benar-benar terjamin.
Bicara transparan, bagaima pengelolaan dana-dana masyarakat selama ini?
Lihat saja dana Taspen dan Asabri. Apakah masyarakat tahu, dana itu sekarang ditaruh di mana? Dengan transparansi, akan meminimalisir kebocoran. Mereka seharusnya diwajibkan melaporkan hasil audit secara transparan pada kelompok masyarakat yang telah membayar premi. Harus jelas dong, pemotongan gaji pensiunan dan anggota TNI/Polri itu digunakan untuk apa saja. Ini harus ada audit secara internal dan eksternal.
Biografi:
Nama: Rieke Diah Pitaloka Intan Permatasari
Tempat/Tgl Lahir: Garut 8 Januari 1974
Anggota DPR Periode: 2009-2014
Komisi: IX
Daerah Pemilihan: Jawa Barat II
Partai: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Nama Suami: Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat UI)
Pendidikan:
S-1 Fakultas Sastra Belanda Universitas Indonesia
S-1 Filsafat STF Driyakara, Jakarta
S-2 Filsafat Universitas Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved