KEBIJAKAN pajak Indonesia akan berubah mulai 1 Januari 2025. Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11% menjadi 12%. Ini bukan keputusan yang mendadak.
Kenapa kita mesti menerimanya begitu saja? Banyak orang meragukan apakah kenaikan pajak ini benar bisa memperkuat ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.
Sebenarnya, kenaikan PPN ini sudah lewat proses panjang dan pertimbangan yang cermat. Sebelum akhirnya mencapai kesepakatan mengenai kenaikan ini, pemerintah dan DPR sudah melakukan beberapa pertimbangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa keputusan ini "bukan membabi buta" dan telah dipertimbangkan "demi APBN", melansir bbc.com, 16 November 2024. Dengan kata lain, pemerintah melihat kenaikan PPN sebagai strategi untuk memperkuat posisi fiskal negara.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di tahun 2025 punya rujukan, salah satunya yakni untuk meningkatkan pendapatan negara. Prediksinya bahwa dengan kenaikan ini, negara bisa mendapatkan tambahan sekitar Rp75 triliun. Jumlah ini cukup besar dan bisa memberi pemerintah lebih banyak dana untuk menjalankan program pembangunan dan membantu masyarakat yang membutuhkan.
Proyeksi ini sejalan dengan target pemerintah yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024, yang menetapkan penerimaan PPN akan mencapai Rp917,79 triliun pada tahun 2025. Harapannya, peningkatan pendapatan ini bisa memperkuat anggaran negara dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Walau pemerintah yakin dengan proyeksi penerimaan negara, banyak masyarakat cemas tentang konsekuensi kenaikan PPN ini pada harga barang dan jasa. Beberapa ahli ekonomi memperingatkan bahwa ada kemungkinan harga akan naik, yang bisa memengaruhi daya beli masyarakat. Penerapan PPN 12% bisa mengurangi pendapatan yang dibelanjakan oleh masyarakat. Hal ini tentu berimbas pada cara orang berbelanja, terutama bagi yang berada di kelas menengah dan bawah.
Biarpun, pemerintah berusaha meminimalkan efek buruk ini dengan membuat kebijakan yang selektif. Melansir liputan6.com, 19 Desember 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kenaikan PPN akan menyasar barang dan jasa premium yang biasanya dibeli oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. Untuk menjaga daya beli masyarakat, beragam kebutuhan pokok dan layanan dasar tetap mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterapkan oleh pemerintah, meskipun dimaksudkan untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah, menunjukkan adanya kontradiksi dalam kebijakan ini. Sektor-sektor yang bergerak dalam perdagangan barang dan jasa mewah akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini, yang bisa mengakibatkan penurunan daya beli di kalangan konsumen.
Paket Insentif Pemerintah
Pemerintah Indonesia baru saja mengumumkan serangkaian insentif untuk mengimbangi dampak dari kenaikan PPN menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Paket 15 jenis insentif yang ditujukan untuk berbagai sektor dan kelompok masyarakat, paket ini tampaknya berusaha menjaga daya beli masyarakat, terlebih bagi berpendapatan rendah dan kelas menengah, melansir finance.detik.com, 17 Desember 2024. Tapi, apakah insentif ini cukup untuk menetralkan efek negatif dari kenaikan pajak?
Beberapa insentif utama mencakup penanggungan PPN sebesar 1% untuk tiga komoditas, yaitu MinyaKita, tepung terigu, dan gula industri. Daripada itu, pemerintah juga akan memberikan bantuan pangan berupa 10 kg beras per bulan untuk 16 juta penerima selama Januari dan Februari 2025. Untuk meringankan beban biaya listrik, pelanggan dengan daya 450 VA hingga 2.200 VA akan mendapatkan diskon 50% selama dua bulan tersebut.
Insentif juga diperpanjang untuk pembelian rumah dengan harga jual hingga Rp5 miliar, serta untuk kendaraan listrik dan hibrida melalui penanggungan PPN dan PPnBM. Bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun, perpanjangan PPh final 0,5% juga akan diterapkan. Terakhir, pekerja di sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan akan mendapatkan insentif PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah.
Paket insentif yang diumumkan pemerintah ini ditujukan untuk melindungi kelas menengah dan memperkuat sektor riil. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa stimulus ini dirancang untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan bagi kelompok menengah ke bawah dan dukungan untuk sektor-sektor yang produktif.
Untuk kelas menengah, insentif seperti diskon listrik dan PPN DTP untuk pembelian rumah harapannya bisa membantu menjaga daya beli. Sedangkan, sokongan pada sektor riil terlihat dari insentif untuk industri padat karya, UMKM, dan sektor otomotif khususnya kendaraan listrik.
Walau paket insentif ini cukup lengkap, efektivitasnya dalam menjaga daya beli masyarakat masih menjadi perbincangan. Sebagian pengamat ekonomi menimbang bahwa stimulus ini manjur untuk jangka pendek, sebaliknya tak cukup untuk mengimbangi akibat kenaikan PPN dalam jangka panjang.
Stimulus seperti bantuan beras dan diskon listrik memang ampuh sebagai solusi jangka pendek, namun tak cukup untuk menangani dampak jangka panjang dari kenaikan PPN pada konsumsi rumah tangga. Ada kebutuhan untuk mengevaluasi apakah kebijakan ini perlu diperpanjang atau jika diperlukan langkah tambahan, seperti subsidi energi atau insentif pajak lainnya, supaya masyarakat benar-benar terbantu dalam menghadapi situasi ini.
Kenaikan PPN menjadi 12% yang akan berlaku pada awal 2025 ditaksir bisa mendorong inflasi hingga mencapai 4,11%.
Angka ini jelas jauh lebih besar daripada inflasi yang tercatat pada November 2024 sebesar 1,55%. Hal ini menimbulkan keresahan tentang konsekuensi jangka panjang pada daya beli masyarakat, apalagi jika inflasi terus meningkat akibat penyesuaian harga yang dilakukan oleh perusahaan.
Meski ada kegamangan, pemerintah tetap optimis bahwa kenaikan PPN ini, dikombinasikan dengan paket insentif, akan memberi dampak positif bagi perekonomian. Pemerintah memproyeksikan tambahan pemasukan pajak sekitar Rp75 triliun pada 2025, apalagi biaya insentif diduga cuma sekitar Rp30 triliun-Rp40 triliun.
Dampak Sektoral
Industri padat karya Indonesia diperkirakan akan mengalami tekanan pasalnya kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Akibat pelemahan ekonomi global dan persaingan dari negara-negara dengan biaya produksi lebih rendah, sektor ini, yang mencakup tekstil, furnitur, dan alas kaki, sudah menghadapi kendala.
Kenaikan PPN dipastikan akan mempengaruhi transaksi perdagangan barang dan jasa, termasuk di sektor padat karya. Hal ini berpotensi menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global, lantaran harga barang akan meningkat. Jika daya saing menurun, bisa jadi produk lokal akan kalah bersaing dengan barang impor yang lebih murah.
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa pakar ekonomi memperingatkan bahwa industri padat karya berisiko mengalami PHK. Industri ini berada di bawah tekanan ganda dari peningkatan PPN dan UMP. Perusahaan mungkin perlu mengurangi jumlah pekerjanya untuk bertahan.
Pemerintah tampaknya sudah memikirkan antisipasi dengan memberikan insentif untuk sektor padat karya. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah akan menanggung Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk pekerja dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan. Selain itu, untuk industri yang ingin merevitalisasi mesin, ada tawaran menarik berupa suku bunga spesial sebesar 5%, liputan6.com, 18 Juli 2024.
Kenaikan PPN juga akan berpengaruh besar pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi dan penurunan daya beli. Banyak UMKM melaporkan penurunan omzet hingga 60%, dan ini jadi pukulan telak. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan melihat banyak UMKM terpaksa gulung tikar, yang berarti semakin banyak orang tanpa pekerjaan.
Untuk mengatasi kenaikan PPN, pemerintah sudah menyiapkan beberapa insentif untuk UMKM. Salah satunya yakni perpanjangan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% bagi UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun, yang berlaku satu tahun tambahan bagi yang sudah memanfaatkan insentif ini selama tujuh tahun. Selain itu, warung atau usaha kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun bisa bernafas lega sehubungan dibebaskan dari kewajiban PPh dan barang yang dijual juga tidak kena PPN.
Sektor properti dan konsumsi diestimasi akan terpengaruh oleh kenaikan PPN. Para pengembang mulai merencanakan strategi untuk bertahan. Pengembang mengakui ada konsekuensi, tapi berharap tidak terlalu besar. Kenaikan PPN berpotensi membuat harga rumah melambung. Dengan PPN yang naik menjadi 12%, harga konstruksi dan rumah dipastikan ikut terdampak.
Untuk memitigasi dampak ini, pemerintah memperpanjang kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100 persen untuk rumah tapak dan rumah susun hingga Juni 2025. Insentif ini akan diturunkan menjadi 50% PPN DTP dari Juli hingga Desember 2025.
Dalam pada itu, sektor konsumsi juga diprediksi akan terkena dampak, terutama bagi emiten yang mengimpor barang-barang seperti beras, buah, daging, dan ikan premium, serta emiten di sektor kesehatan. Kendati, ada harapan bagi sektor yang mendapatkan insentif dan stimulus, seperti konsumer, industri padat karya, properti, dan otomotif, terutama untuk mobil hibrida dan EV.
Tantangan Implementasi
Menjelang penerapan kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025, perhatian tertuju pada kesiapan sistem perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk memastikan bahwa infrastruktur TI handal dan terintegrasi. Sistem ini mesti siap menangani lonjakan transaksi dan perhitungan pajak yang lebih tinggi.
Menurut laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), masih ada beberapa kelemahan dalam sistem informasi perpajakan yang perlu diperbaiki. "Terdapat permasalahan dalam pengelolaan data Wajib Pajak dan pengendalian aplikasi perpajakan yang berpotensi mempengaruhi keandalan data perpajakan," tulis BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2024, mengutip katadata.co.id, 24 Oktober 2024.
Untuk mengantisipasi hal ini, DJP telah meluncurkan program modernisasi sistem perpajakan yang disebut CORE (Compliance, Risk Management, and Enforcement) Tax System. Sistem ini harapannya bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperbaiki manajemen risiko, dan memperkuat penegakan hukum perpajakan.
Peningkatan tarif PPN dapat meningkatkan risiko kebocoran pajak dan penghindaran pajak. Tanpa pengawasan yang ketat, hal ini bisa mendorong praktik penghindaran pajak yang lebih agresif. Beberapa pelaku usaha mungkin mencari celah, seperti under-invoicing, transfer pricing, atau bahkan transaksi fiktif.
Tantangan terakhir yang tak kalah urgen yakni edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Jika publik tidak memahami perubahan kebijakan PPN, bisa jadi akan muncul kebingungan dan potensi ketidakpatuhan. Jadi, meskipun implementasi kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 penuh tantangan, dengan persiapan matang, pengawasan ketat, dan edukasi yang efektif, pemerintah optimis bisa menghadapinya. Keberhasilan ini sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
*Penulis adalah Dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
© Copyright 2024, All Rights Reserved