TAHUN 2024 menjadi salah satu tahun yang penuh dinamika di sektor ekonomi Indonesia. Berbagai kebijakan yang diterapkan pada tahun ini tidak hanya membawa dampak signifikan pada perekonomian nasional, tetapi juga diprediksi memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah pada 2025.
Sejumlah kebijakan ekonomi yang kontroversial menjadi sorotan masyarakat, pelaku usaha, dan dunia internasional. Berikut adalah rangkuman peristiwa ekonomi penting yang terjadi sepanjang tahun.
Januari: Awal Tahun dengan UU Harmonisasi Peraturan Pajak
Pemerintah membuka tahun 2024 dengan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak. Langkah ini bertujuan untuk menyederhanakan sistem perpajakan, meningkatkan efisiensi, serta memperkuat daya saing investasi. Namun, dampaknya pada kelas menengah mulai terasa di 2025, dengan beban pajak yang lebih terstruktur namun tidak secara langsung meningkatkan daya beli.
Februari: Pengetatan Subsidi BBM
Pada Februari, pemerintah mulai mengusulkan perubahan mekanisme subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi yang sebelumnya berlaku luas akan diubah berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan subsidi lebih tepat sasaran, tetapi pada 2025, beban biaya transportasi bagi kelas menengah yang tidak memenuhi kriteria subsidi diprediksi meningkat.
Maret: Perpanjangan Kontrak Freeport
Pada bulan Maret, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia. Kontrak baru ini mencakup kewajiban membangun smelter dan peningkatan royalti yang harus dibayarkan kepada negara.
Perpanjangan kontrak ini dipandang strategis untuk menjaga stabilitas investasi asing di sektor pertambangan, meskipun mendapat kritik dari pihak-pihak yang menganggap pengelolaan sumber daya alam masih kurang optimal.
April: Kebijakan Ekspor Pasir Laut
Pemerintah mencabut larangan ekspor pasir laut yang telah berlaku selama lebih dari dua dekade. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan devisa negara, tetapi juga memicu kekhawatiran terkait dampak lingkungan.
Kebijakan ini mendapat sorotan luas dari kalangan pemerhati lingkungan dan masyarakat pesisir yang merasa kebijakan tersebut dapat merusak ekosistem laut.
Mei: Pajak Barang Mewah dan Tarif PPN
Pada Mei, pemerintah meningkatkan tarif pajak barang mewah sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan fiskal dan meningkatkan penerimaan negara. Selain itu, isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai mencuat.
Dampak langsung dari kenaikan PPN di akhir 2024 akan dirasakan masyarakat kelas menengah di 2025, dengan harga kebutuhan pokok dan barang konsumsi yang semakin mahal.
Juni: Fokus pada Investasi dan Penyesuaian Tarif Pajak
Bulan Juni menjadi momentum penting dengan kebijakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk menarik lebih banyak investasi asing. Langkah ini dilakukan untuk mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Pada saat yang sama, pemerintah mempertegas rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang akan berlaku pada akhir tahun.
Juli: Starlink dan Program Food Estate
Pada Juli, Starlink, perusahaan satelit milik Elon Musk, resmi berinvestasi di Indonesia dengan nilai mencapai Rp30 miliar. Investasi ini bertujuan menyediakan akses internet berkecepatan tinggi di wilayah terpencil Indonesia, sebuah langkah strategis dalam mendorong digitalisasi nasional.
Di bulan yang sama, pemerintah meluncurkan program Food Estate di Papua dengan target membuka 2 juta hektare sawah dalam lima tahun. Program ini diproyeksikan mendukung swasembada pangan nasional. Namun, banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan dampak lingkungan dari proyek ambisius ini.
Agustus: Demonstrasi Driver Ojol dan Tapera
Agustus diwarnai dengan demonstrasi besar-besaran oleh ribuan pengemudi ojek online yang menuntut penyeragaman tarif dan revisi regulasi terkait aplikator. Pada bulan yang sama, pemerintah mulai mengimplementasikan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Program ini mewajibkan kelas menengah menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk dana perumahan, yang pada 2025 menjadi tambahan beban finansial di tengah tekanan ekonomi lainnya.
September: Subsidi KRL dan Pengetatan BBM
September menandai perubahan skema subsidi KRL yang berbasis nomor KTP. Kebijakan ini diambil untuk memastikan subsidi lebih tepat sasaran. Selain itu, pembatasan penyaluran Pertalite mulai diberlakukan, di mana pembelian BBM subsidi hanya diperbolehkan bagi pengguna tertentu yang terdaftar.
Oktober: Mobil Maung dan Pailit Sritex
Pada Oktober, pemerintah mulai menggunakan mobil Maung buatan PT Pindad sebagai kendaraan dinas pejabat. Langkah ini dimaksudkan untuk mendukung industri dalam negeri.
Namun, di sisi lain, kabar buruk datang dari sektor tekstil. Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar Indonesia, dinyatakan pailit, yang berpotensi menyebabkan PHK massal bagi ribuan pekerja.
November: Penetapan Upah, PPN 12%, dan MBG
November menjadi bulan penuh kebijakan penting. Pemerintah menetapkan sistem pengupahan baru yang berbasis kebutuhan hidup layak untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada buruh. Selain itu, tarif PPN resmi dinaikkan menjadi 12%, yang langsung memengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah pada 2025 dengan lonjakan harga kebutuhan pokok.
Pemerintah juga meluncurkan program Makan Bersama Gratis (MBG) untuk siswa sekolah dasar dengan alokasi Rp10.000 per anak, yang dampaknya lebih terasa di kalangan bawah dibanding kelas menengah.
Desember: Anggaran 2025 dan Transisi Pemerintahan
Pada Desember, anggaran tahun 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun disahkan dengan defisit 2,53% dari PDB. Anggaran ini memprioritaskan belanja infrastruktur, pendidikan, dan transisi pemerintahan. Langkah ini menjadi penutup tahun yang penuh dinamika di sektor ekonomi.
Catatan Penting
Tahun 2024 menjadi salah satu tahun yang penuh tantangan dan peluang bagi perekonomian Indonesia. Dari kebijakan fiskal, perubahan mekanisme subsidi, hingga implementasi program strategis, semuanya menggambarkan upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, sejumlah kebijakan yang diterapkan pada 2024 diperkirakan memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah pada 2025. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, implementasi skema subsidi berbasis nomor induk kependudukan (NIK), serta beban tambahan dari program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi tekanan baru bagi masyarakat kelas menengah.
Selain itu, kenaikan harga barang kebutuhan akibat inflasi yang berlanjut juga menjadi tantangan berat. Tahun 2025 akan menjadi ujian sejauh mana pemerintah mampu mengatasi dampak kebijakan ini dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.
*Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved