Aksi demonstrasi bertajuk “Darurat Indonesia” pecah di Jakarta dan berbagai kota besar, Kamis (22/8/2024). Aksi ini dipicu kekecawaan atas sikap DPR yang melakukan revisi UU Pilkada sebagai bentuk tandingan atas putusan MK sehari sebelumnya.
Awalnya adalah ketika Badan Legislatif (Baleg) DPR RI menyepakati RUU Pilkada dalam Rabu Selasa (21/8/2024). RUU itu disetujui 8 dari 9 fraksi di DPR. Hanya PDIP yang menolak. Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam. Baleg beberapa kali mengabaikan interupsi dari PDIP.
Revisi UU Pilkada ini juga dilakukan sehari setelah MK mengubah syarat pencalonan pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024. Namun, DPR tak mengakomodasi keseluruhan putusan itu. Baleg DPR mengesahkan beberapa perubahan dalam RUU Pilkada ini. Pertama terkait perubahan syarat ambang batas pencalonan pilkada dari jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD.
Partai yang punya kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25% suara pemilu sebelumnya. Kemudian soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di pasal 7. Baleg memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan MK. Dengan demikian, batas usia calon gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih.
Keesokan harinya, Rabu (22/8/2024) DPR berencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dalam Rapat Paripurna. Ini merupakan tindak lanjut langkah Baleg membawa hasil keputusan dalam rapat kemarin yang disepakati seluruh fraksi, kecuali PDIP.
Aksi pertama seruan untuk menolak dan melawan muncul dari kalangan akademisi.
Sejumlah akademisi yang dimotori oleh Bivitri Susanti, Titi Anggraeni, Zainal Arifin Muchtar, dan Ferry Amsari dan menamakan diri “Constitutional and Administrative Law Society (CALS)” menyerukan untuk melawan.
Mereka mengajak seluruh masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan, melawan tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan partai pendukungnya. Ajakan CALS adalah memboikot Pilkada 2024, namun elemen masyarakat lain menyambutnya dengan menyerukan demonstrasi turun ke jalan.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) yang juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakana (PSHK) tentang pergolakan ini.
Berikut petikan lengkap wawancaranya:
Sebenarnya apa yang Anda lihat tentang demokrasi di Indonesia saat ini?
Saat ini Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya tengah memperlihatkan pada kita tentang pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang eksesif, tanpa kontrol. Lembaga legislatif seolah dia merupakan hukum dan bahkan melebihi hukum dan sendi-sendi konstitusionalisme.
Rezim yang otokratis ini melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasi kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke level pemerintah daerah. Upaya demikian mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal, sebab aturan main Pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik,dan memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan dengan kompetisi yang bebas, adil, dan setara.
Kita ingat, bagaimana Pemilihan Umum Tahun 2024 dibangun dengan fondasi manipulasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran etika yang terstruktur, sistematis, dan masif. Presiden Joko Widodo dan partai pendukungnya menggunakan cetak biru serupa untuk melanggengkan dinasti politik yang dilanjutkan oleh putranya, melalui perombakan hukum secara instan dengan menyalahgunakan institusi demokrasi, yaitu mengotak-atik syarat usia calon kepala daerah agar sesuai dengan figur yang akan diusung.
Penguasa juga mengatakan mereka sedang memperjuangkan demokrasi. Apa yang menurut Anda tak sejalan antara yang disampaikan pemerintah dengan yang terjadi hari ini?
Demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jadi tekanannya adalah rakyat. Dan itu yang sering kita lupa. Negara ada karena warga. Negara ada, justru seharusnya untuk menghormati, melindungi dan menjaga hak-hak asasi warganya. Bukan sebaliknya, warga yang harus melayani negara.
Demokrasi membutuhkan kritik. Kekuatan yang berisik, bawel, dan kritis pada kekuasaan inilah yang pasti akan pertama dibungkam bila demokrasi ini buruk. Berita adalah kunci dalam pengelolaan negara, karena itulah pemerintahan represif pertama akan merusak lebih dulu tatanan media massa.
Kalau ada situasi yang senyap, itu bukan demokrasi. Tapi otokratisme yang diselubungi prosedural demokrasi yang semu. Demokrasi adalah juga soal akuntabilitas oleh warga.
Apa yang perlu dilakukan untuk mengembalikan kondisi menuju demokrasi yang ideal?
Untuk konteks demokrasi dan negara hukum, hari-hari ini ada dua hal yang sering saya sampaikan. Pertama adalah remaintaining Indonesia, dan kedua adalah redefining democracy. Imajinasi kita tentang Indonesia, sekarang harus kita imajinasikan ulang. Apa yang dulu para pendiri bangsa bayangkan tentang negara ini, sekarang harus kita imajinasikan ulang, terutama dengan situasi hari ini yang tak pernah kita bayangkan.
Soal nepotisme, kita lihat sekarang begitu terbuka. Apa kita pernah membayangkan, potensi Pilkada dengan kotak-kotak kosong di mana-mana.
Ada adagium dari JF Kennedy, soal apa yang bisa kamu berikan untuk negara. Apakah itu masih sesuai konteks?
Gagasan patriotisme untuk negara ini adalah salah satu yang harus kita bongkar. Nasionalisme sempit dan ultrapatriotisme akhirnya digunakan untuk melegitimasi kekuasaan yang sebenarnya berwatak jahat. Hanya karena dia adalah negara, hanya karena dia adalah pejabat yang punya otoritas, maka kita harus hormat. Bukan begitu konsepnya.
Setelah reformasi, banyak hal yang dilakukan untuk memperbaiki demokrasi. Tapi ternyata sekarang semakin mundur. Apa yang missing di sini sehingga tak terjadi sesuai harapan?
Kita membayangkan pasca reformasi, kita akan menyaksikan negara ini bertumbuh dengan elemen-elemen demokrasi yang tumbuh dengan baik. Sekarang situasi membaik hanya untuk elit politik, bukan untuk warga. Dan yang mengesalkan, elitnya sama dengan tiga dekade yang lalu, bahkan beranak pinak dan merajalela.
Selama 25 tahun kita terlalu fokus pada pembenahan institusi, dan alpa terhadap perombakan aktor-aktor. Ketika kita berfokus pada pembenahan institusi, para aktor justru menanam bibit destruktif pada institusi yang kita bangun. Dulu DPD keren, sekarang isinya banyak preman. KPK sudah dibunuh, MK, dan lain sebagainya. Sekarang kelompok-kelompok antidemokrasi ini sedang berpanen.
Perlu menguatkan jaringan masyarakat sipil prodemokrasi. Kita harus hadang upaya pembusukan demokrasi lebih lanjut melalui instrumen hukum. Selama ini kita terlalu sering dijejali dengan kalimat, warga negara yang baik adalah warga negara yang taat hukum. Nah sekarang kita harus bertanya dulu, ini hukumnya adil atau tidak. UU Cipta Kerja menghasilkan Proyek Strategis Nasional, tapi apa dampaknya buat warga?
Ada contoh lain tentang apa yang dilakukan negara dalam melemahkan kekuatan rakyat?
Saat ini ada lima UU yang sedang disiapkan untuk mematikan demokrasi. RUU Kementerian Negara, revisi Wantimpres, revisi UU MK, revisi UU Polri, dan revisi UU TNI. Lima itu menggambarkan dua karakter. Pertama, adalah karakter pembagian kekuasaan. Contohnya, jumlah 34 menteri sudah terasa enggak cukup, harus ditambah sampai 40 atau 41. Dan cara yang legal adalah mengubah UU.
Kedua adalah penyiapan lapangan kekuasaan tanpa kontrol. Ini tercermin di revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Kelak, kepolisian bisa mematikan internet. Itu sudah terjadi di Papua. Nanti, kalau revisi UU Polri ini disetujui mereka punya alasan legal untuk melakukan itu.
Tentu ini bukan proses yang singkat dan pastinya butuh waktu?
Memang melelahkan, tapi demokrasi itu harus diperjuangkan. Hanya mengeluh saja berbahaya bagi demokrasi. Toxic itu. Sesekali kita perlu menengok proses di negara-negara lain. Bukan untuk merasa Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Tapi untuk tahu bahwa kita tidak sendiri. Penguasa otoriter perlu dilawan.
Pembangkangan konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved