BUDI Arie Setiadi Menteri Koperasi menegaskan, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto koperasi di Indonesia harus seperti koperasi di negara-negara Skandinavia.
Koperasi memiliki kapitalisasi besar, tidak identik kelompok pengusaha lemah. Atas dasar itu pula kementrian koperasi dipisah dengan Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Pemikiran yang membuktikan komitmen pemerintah untuk memberdayakan koperasi, tetapi sekaligus ada kesalahan paradigmatik memandang koperasi.
Data tahun 2024, PDB (Produk Domestik Bruto) 61% tergantung kepada UMKM, dan cuma sekitar 6% disumbang oleh koperasi. Jumlah yang menjelaskan kontribusi koperasi kecil dalam agregat perekonomian nasional.
Lebih miris lagi dari 142,18 juta total angkatan kerja nasional sebanyak 59,17% setara 84,13 juta orang bekerja di sektor informal. Jangan aneh, angka rasio pajak berkutat satu digit karena sektor informal mayoritas pelaku usaha di Indonesia.
Jadi, upaya pemerintah memberdayakan koperasi langkah tepat. Peran koperasi melakukan formalisasi sektor informal. Pelaku usaha sektor informal kemudian mempunyai badan hukum usaha koperasi dan memungkinkan scale up atau pengembangan bisnis. Para pekerja pun dengan sendirinya mendapat jaminan atas hak dan kewajibannya.
Transformasi UMKM terutama yang bergerak di sektor informal menjadi koperasi tentu mengandaikan koperasi yang benar. Hal ini penting, meluruskan kembali paradigma koperasi mengingat banyak koperasi “papan nama” tanpa mengindahkan kaidah perkoperasian. Praktik koperasi persis badan hukum usaha lain PT atau CV.
Paradigma Koperasi
Posisi anggota dalam koperasi sangat vital. Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus nasabah atau pengguna jasa koperasi. Karena itu, jenis usaha yang dilakukan koperasi harus sesuai kebutuhan anggota.
Tujuan usaha koperasi kepada anggotanya sendiri (closeloop) ini yang membedakan dengan badan usaha non-koperasi. Sementara PT (Perseroan Terbatas), misalnya, bagi pemilik saham yang utama keuntungan maksimal agar mendapatkan deviden tinggi, kendati jenis usaha tidak ada kaitan langsung.
Perbedaan paradigmatik ini yang harus dipahami sejak awal, bahwa menjadi anggota koperasi bukan semata-mata meraih keuntungan individual, juga ada aspek sosial, yaitu nilai kemandirian (selfhelp) dan gotong royong (mutualhelp). Koperasi maju ditentukan oleh keaktifan anggota menggunakan jasa koperasi.
Memang koperasi pada taraf tertentu agar mencapai kapitalisasi besar bisa melakukan amalgamasi/merger. Namun berkaca kepada koperasi-koperasi maju mereka melalui tahapan panjang, dan taat asas menjalankan kaidah perkoperasian.
Koperasi Mondragon di Spanyol sebagai contoh, bermula dari beberapa orang pekerja mendirikan koperasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu koperasi bergabung dengan koperasi sejenis sampai koperasi mondragon berkembang pesat mampu membeli saham perusahaan lain.
Di titik ini, komitmen pemerintah memberdayakan koperasi harus berpijak pada fakta riil. Laporan terakhir kementrian koperasi menyebutkan koperasi yang konsisten melakukan Rapat Anggota Tahunan hanya 37% dan 30% yang mempunyai Nomor Induk Koperasi dari total 127.124 unit.
Data yang menggambarkan kaidah perkoperasian dianggap sepele yang menuntut pemerintah wajib mengaudit lebih lanjut eksistensi koperasi, ketimbang bermimpi menyandingkan koperasi di Indonesia sama dengan koperasi maju di negara lain.
Tingkat kapitalisasi koperasi juga masih lemah. Di sini, urgensi membentuk bank koperasi model dahulu Bukopin sebelum berubah menjadi bank konvensional.
*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
© Copyright 2025, All Rights Reserved