SEORANG Johan Cruyff pernah berkata, "Quality without results is pointless, but results without quality is boring".
Maestro sepak bola Belanda itu memang dikenal sebagai pengusung filosofi sepak bola indah. Tidak hanya menang tapi juga bermain baik. Baginya sepak bola mesti menghibur penonton.
Berbanding terbalik dengan Cruyff, di Italia kualitas permainan tidak terlalu penting. Sebab yang terpenting adalah hasil akhir. Prinsip yang selaras dengan pemikiran filsuf asal Firenze, Niccolo Machiavelli yakni the end justify the means. Atau hasil akhir adalah segalanya.
Menang tidak peduli bagaimana caranya. Mau bertahan total selama 90 menit pun dilakoni. Begitulah prinsip Italia.
Walau filosofinya berbeda, tapi ada satu benang merah antara filosofi sepak bola indah Cruyff maupun pragmatisme Italia. Benang merah itu adalah konsistensi pada taktik.
Barangkali inilah titik kritis yang patut dialamatkan pada Shin Tae-yong kala melatih skuad Garuda. Sepanjang empat tahun lebih menangani timnas Indonesia, komposisi taktik dan filosofi bermain tidak memiliki konsistensi yang jelas. Timnas tak punya karakter kuat dalam bermain.
Tidak jelas apakah ingin bermain indah atau fokus pada hasil akhir. Inilah yang menyebabkan inkonsistensi hasil. Inkonsistensi hasil selaras dengan inkonsistensi susunan pemain.
Kita bisa merujuk laga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Saat melawan China misalnya, Shin bereksperimen dengan mencadangkan Thom Haye. Tak hanya itu ban kapten mendadak dicopot dari Jay Idzes ke Asnawi Mangkualam.
Di Piala AFF 2024 lalu Shin juga tampak bereksperimen dengan menurunkan Pratama Arhan dan Asnawi di dua sisi berbeda. Arhan yang biasa di kiri malah ditempatkan di sisi kanan. Sebaliknya Asnawi malah di kiri.
Meski kerap bongkar pasang pemain, Shin tidak terlalu adaptif dalam meramu taktik. Terlihat pada formasi tiga bek yang terus menerus dipakai. Padahal mayoritas pemain timnas yang merumput di Eropa kerap bermain dengan komposisi empat bek sejajar.
Secara kualitatif kita bisa mencerna secara seksama bahwa permainan timnas jauh dari optimal. Timnas lebih sering bermain bertahan dan lebih mengandalkan serangan yang sporadis. Saat melawan Jepang dan Australia, kelemahan sistem bermain timnas begitu terlihat. Sehingga sepanjang 90 menit timnas hanya bisa bertahan dan tidak banyak mengancam.
Betul jika kita mengatakan bahwa Shin Tae-yong mencatat episode positif bersama timnas. Namun secara permainan, sejatinya Shin belum memberikan pondasi yang kuat. Prestasi timnas masih sekadar letupan-letupan yang tidak konsisten. Oleh karenanya pergantian pelatih bisa jadi alternatif.
Jika ingin naik level lebih tinggi, timnas butuh pelatih yang paham taktik secara lebih dalam. Pelatih yang punya filosofi dan konsistensi dalam bermain. Ini agar prestasi timnas terbangun dengan pondasi taktik yang jelas. Sehingga prestasi timnas bukan sekadar letupan sesaat tapi memiliki sustainabilitas yang jelas.
Jika dianalogikan sebagai sebuah organisasi bisnis, Shin Tae-yong telah menjalankan timnas di level startup. Level startup yang memungkinkan melakukan berbagai inovasi dan eksperimen.
Namun ketika organisasi telah growth dan menjadi mature, maka yang dibutuhkan adalah sistem yang lebih mekanistik bukan lagi organik. Saat perusahaan menjadi besar maka bukan saatnya lagi bereksperimen untuk mengeksplorasi peluang, melainkan sistem jelas untuk mengeksploitasi hasil.
Analogi yang sama berlaku juga di sepak bola. Kesebelasan kecil fokus bereksperimen soal taktik dan formasi adalah suatu yang wajar. Sebaliknya kesebelasan mapan sudah punya formasi dan taktik yang jelas. Bukan lagi coba-coba di tiap pekan.
Dengan kenyataan timnas sudah menjajaki level yang lebih tinggi, maka konsistensi pada pondasi sistem permainan menjadi hal yang vital.
Penunjukan Patrick Kluivert memang tak lantas menjamin terjawabnya persoalan timnas sepeninggal Shin Tae-yong. Namun pengalaman Kluivert menjadi asisten pelatih yang punya filosofi kuat seperti Louis Van Gaal menjadi bekal berharga. Sebab kini yang dibutuhkan timnas Indonesia adalah stabilitas, taktik, komposisi, hingga kejelasan filosofi.
Layaknya teori strategi bahwa hasil yang baik akan selalu bermula dari input dan proses yang baik. Sehingga input, proses, plus output itulah yang menjadi satu kesatuan sistem strategi yang utuh dan konsisten.
Dan inilah PR selama era Shin Tae-yong yang mana timnas tak memiliki sistem strategi yang jelas dan konsisten. Meski diakui Shin telah menjejakkan kesan positif yang baik. Komitmennya pada timnas pun mesti diakui.
Tapi mengutip perkataan aktor Hollywood Denzel Washington, bahwa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil bukan sekadar komitmen tapi konsistensi. "Without commitment you never start, but without consistency you'll never finish”.
*Penulis adalah Pengamat Sepak Bola
© Copyright 2025, All Rights Reserved