Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah, harus siap-siap menghadapi persidangan. Terbuka kemungkinan keduanya disidangkan sebagai terdakwa kasus korupsi. Tentu, jika tak ada upaya hukum lanjutan atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang menolak banding Kejagung atas keluarnya SKPP atas kasus Bibit-Chandra.
"Pengadilan tinggi menetapkan, eksepsi pebanding, dalam hal ini kejaksaan dan menetapkan SKPP tanggal 1 Desember 2009 atas nama Bibit-Chandra tidak sah. Selanjutnya pebanding kejaksaan harus melanjutkan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ke pengadilan," kata juru bicara PT DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro kepada pers, di Jakarta, Kamis (03/06).
Dalam pertimbangan menolak Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra, majelis hakim yang diketuai Muchtar Ritonga, dengan anggota I Putu Witnya, dan Nasarudin Tapo menyebutkan, antara lain karena Anggodo Widjojo pihak berkepentingan. Samsan Nganro menyebutkan, Anggodo didakwa dengan tindak pidana korupsi percobaan penyuapan kepada oknum pegawai dan atau pimpinan KPK.
Kasus Anggodo itu cocok dengan kasus yang disangkakan kepada Bibit-Chandra. Karena, Bibit dan Chandra dituding dengan pasal 12 huruf e UU 31 Tahun 1999, jo UU 20 Tahun 2001 pasal 421 KUHP tentang pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan Anggodo didakwa dengan tindakan percobaan penyuapan. Jadi, kata Samsan, pertimbangan mejelis hakim PT DKI itu, menguatkan keputusan hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Samsan Nganro menyebutkan, konstruksi hukum dalam perkara Bibit-Chandra, sudah tepat. Majelis hakim menilai, tidak ada kekosongan hukum yang mendorong Kejaksaan sehingga menghentikan perkara mereka, dengan alasan sosiologis.
Mengutip majelis hakim PT DKI Jakarta, Samsan Nganro mengatakan, seharusnya Kejaksaan mengeluarkan deponeering (penutupan perkara) bukan SKPP. Kalau ada kondisi sospol yang mengkhawatirkan, kata dia, seyogianya melakukan penyampingan perkara demi kepentingan umum, atau deponeering. Itu sesuai dengan pasal 25 huruf C UU No 16 Tahun 2004.
"Jadi, seharusnya Kejaksaan menutup kasus itu, bukan menggunakan lembaga penutupan perkara demi hukum atau SKPP," kata Andi Samsan Nganro.
Atas keluarnya putusan PT DKI itu, pengacara Anggodo Widjojo, Bonaran Situmeang tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia mengucapkan terima kasih atas sikap pengadilan yang mengalahkan dan mendorong Bibit-Chandra ke persidangan. "Kemenangan gugatan Anggodo itu, kemenangan hukum dan masyarakat kecil yang diperlakukan tidak adil."
Sudah Diprediksi
ICW rupanya sudah memprediksi Kekalahan permohonan banding Kejaksaan Agung atas kasus Bibit-Chandra di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta itu. Soalnya, kata Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Kejaksaan tidak all out dalam menyelesaikan kasus dua pimpinan KPK ini.
Emerson mengungkapkan, Kejagung harus segera mengeluarkan deponeering atau mengenyampingkan kasus hukum untuk kepentingan umum. Kalau tidak segera dikeluarkan, terlihat sekali Kejaksaan tak serius menyelesaikan kasus ini.
Yang disesalkan ICW, kalau akhirnya Bibit-Chandra jadi menghadapi persidangan, hal itu akan mengganggu kinerja KPK. Waktu yang ada, akan dihabiskan kedua pimpinan KPK itu, untuk semaksimalmungkin melawan semua tudingan, dan dakwaan yang ada.
Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD malah berpendapat langkah yang perlu ditempuh untuk menyikapi kasus Bibit-Chandra itu, pemberian abolisi dari Presiden. Bekas Menteri Pertahanan ini menganggap, hal itu lebih masuk akal dari pada mengeluarkan SKPP, seperti dilakukan kejaksaan.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Marwan Effendi membantah tudingan pihaknya tak serius menangani banding perkara itu. Ia tak terima lembaganya dianggap setengah hati dalam menghentikan kasus dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah itu.
Seperti diketahui, Kejaksaan mendasarkan pada alasan yuridis dan sosiologis saat mengeluarkan SKPP Bibit-Chandra itu. Karena tak terima atas keluarnya surat itu, pihak Anggodo Widjojo mengajukan gugatan praperadilan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nugroho Setiadji, yang menangani perkara itu, menilai alasan sosiologis itu tidak benar. Karena itu, ia mengabulkan permohonan Anggodo Widjojo.
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP membatasi alasan penghentian penuntutan, yakni kemungkinan perkara nebis in idem, terdakwa meninggal dunia, perkara telah kadaluarsa, atau tidak cukup bukti. Dalam kasus Bibit-Chandra, Kejaksaan, seperti penyidik Polri, juga berpendapat sudah cukup bukti alias P-21.
Dengan semangat itu, Marwan menjelaskan SKPP oleh Kejaksaan dapat dibenarkan karena sifatnya situasional. Penghentian penuntutan demi hukum dapat dilakukan jika ada kondisi tertentu yang bersifat pengecualian. Menurut dia, ada eksepsional dalam perkara itu. Maka dikeluarkan SKPP.
Sekadar diketahui, sebelum Anggodo mengajukan gugatan praperadilan, SKPP Bibit-Chandra itu juga pernah digugat sejumlah advokat, yang tergabung dalam komunitas advokat dan penegak hukum, dimotori pengacara senior OC Kaligis. Meski posisinya sudah jelas, dalam perkara Anggodo, Kaligis malah diminta sebagai ahli. Hakim Nugroho Setiadji banyak mengutip pandangan Kaligis.
Tetapi, permohonan Kaligis dan kawan-kawan kandas, karena mereka dianggap tak memiliki standing. Nasib serupa dialami lembaga swadaya masyarakat bernama Lepas, Hajar Indonesia, dan PPMI yang dimotori Eggi Sudjana dan Farhat Abbas.
Ketika Anggodo dimenangkan, banyak suara miring dialamatkan ke pihak hakim. Tetapi, banyak pihak bersaksi, hakim Nugroho Setiadji orang jujur, dan bersih. Karena itu, keputusannya dianggap sesuai pertimbangan hukum, bukan karena faktor lain di luar penilaian hukum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved