Muhaimin Iskandar boleh bernapas lebih lega kini. Putusan Mahkamah Konstitusi membolehkannya merangkap jabatan sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa. Gugatan fungsionaris PKB Lily Chadijah Wahid atas posisi politik itu ditolak MK.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD, dalam sidang putusan di gedung MK, kemarin (03/06).
Sebanyak sembilan hakim konstitusi secara bulat menolak gugatan tersebut. Meski begitu, sempat terjadi concurring opinion (hakim berbeda pendapat, tetapi memiliki putusan sama) yang diajukan hakim konstitusi Harjono dan Hamdan Zoelva.
Seperti diketahui, Lily mengajukan uji materi pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi: Menteri negara dilarang merangkap jabatan sebagai: a. Pejabat negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan, b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau, c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah.
Lily Wahid dalam permohonannya, meminta MK menyatakan pasal 23 UU Kementerian Negara sebagai konstitusional bersyarat. Adik kandung mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (alm) itu, meminta pasal tersebut harus dimaknai, yang dimaksud dengan "pimpinan yang dibiayai dari APBN atau APBD". Termasuk ketua umum (ketum) atau sebutan lain di suatu partai politik.
Anggota Fraksi PKB DPR itu juga menyatakan pasal 23 UU Kementerian Negara inkonsisten karena dapat menimbulkan tafsir yang keliru dan ketidakpastian hukum. Karena itu, inisiator Pansus Angket Century DPR itu meminta MK menetapkan pasal tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 serta pasal 28 ayat 1 dan 3 UUD 1945.
Tetapi, Lily Wahid harus gigit jari, argumen hukumnya tak diterima majelis hakim MK. Seperti diungkap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, sesungguhnya Lily Wahid tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing. Soalnya, ia dinilai tidak memiliki hak konstitusional sebagaimana warga negara biasa lainnya.
"Dia anggota DPR. Pada diri pemohon melekat hak konstitusional yang membedakan dengan hak konstitusi warga negara lainnya," katanya.
Kedudukan Lily sebagai anggota Dewan, turut menjadi alasan penolakan MK itu. Artinya, UU yang digugat, dan dibawanya ke sidang MK tersebut, produk Lily juga selaku wakil rakyat yang terhormat. Dengan melakukan gugatan, hakim menilai, perempuan politisi itu seperti menyoalkan tindakannya sendiri di dalam mahkamah.
MK juga menyatakan UU tersebut tidak diskriminatif, sehingga penggugat tidak memiliki kedudukan hukum atau dapat merasa terlanggar hak konstitusinya akibat pemberlakukan UU Nomor 39. Kalau pun UU Nomor 39 itu menimbulkan tirani mayoritas fraksi, kata Maria, permohonan tetap tak dapat diterima. Sebab, pemohon tetap saja tidak memiliki legal standing, sebagai anggota Fraksi PKB. "Substansinya bukanlah hak konstitusional pemohon sendiri."
Yang tak kalah pentingnya, PKB sebagai lembaga berbadan hukum telah berhak menentukan kebijakan sendiri. Karena itu, kata Maria, persoalan rangkap jabatan diselesaikan melalui mekanisme internal. Namun, kata dia, hal itu bisa dilakukan apabila Lily secara resmi mewakili PKB. "Pemohon tidak menunjukkan surat mandat bahwa dia mewakili kepentingan PKB."
Hakim konstitusi Harjono berpendapat lain, kendati putusannya sama. Menurut dia, kendati menjadi fungsionaris DPP PKB dan anggota Fraksi PKB DPR, hak konstitusional Lily untuk mengajukan uji materi tidak hilang. Dalam penyusunan rancangan undang-rndang (RUU), kata Harjono, Lily sebagai minoritas bisa jadi kalah suara. Artinya, sebagai wakil rakyat, kata Harjono, Lily berhak mengajukan gugatan uji materi sebagai wujud tanggung jawab menjadi wakil rakyat.
Persoalannya, dalam pandangan Harjono, dalil-dalil yang diajukan Lily tidak menunjukkan adanya kerugian. Baik kerugian secara politik maupun konstitusional. "Pemohon tidak bisa menunjukkan adanya potensi kerugian yang menurut penalaran yang wajar akan terjadi."
Seperti Harjono, hakim Hamdan Zoelva juga berpendapat lain, meski putusannya sama. Menurut bekas anggota DPR ini, partai instrumen untuk meraih jabatan. Karena itu, kata mantan Fungsionaris Partai Bulan Bintang ini, ketua partai memungkinkan rangkap jabatan, karena hal itu kebijakan internal yang tidak melanggar konstitusi. "Partai instrumen untuk memberikan jabatan politik, termasuk menteri."
Kecewa Tapi Hormat
Meski mengaku kecewa atas putusan MK itu, Lily Wahid tetap menghormati putusan itu. Lily masih berkeyakinan, pengertian organisasi dalam Pasal 23, termasuk di dalamnya urusan partai politik (parpol). Sebab, parpol organisasi yang juga dibiayai APBN dan atau APBD. Karena itu, pasal itu dimaknai, menteri tak dapat merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol.
Menteri yang merangkap ketua umum parpol dalam Kabinet Indonesia Bersatu II ini, lebih dari satu orang. Di antaranya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, yang baru saja terpilih sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Lalu, Menteri Agama Suryadharma Ali, sekaligus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar Ketua Umum PKB.
Saat tampil sebagai saksi ahli dalam persidangan, pakar hukum tata negara, Saldi Isra berpendapat, rangkap jabatan bagi ketua umum partai, haruslah dilarang sesuai sistem presidensial yang dianut Indonesia. Dalam sistem presidensial, kata dia, rangkap jabatan secara tegas harus dilarang.
Saldi bilang, jika rangkap jabatan ketua umum parpol dan menteri, tidak dilarang, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan jabatan dan wewenangnya sebagai pelayan masyarakat. Dalam sistem presidensial, kata Saldi, rangkap jabatan menjadi sesuatu yang terlarang karena hal tersebut dapat merusak tatanan.
Itulah yang dihindari Tifatul Sembiring, yang segera mundur sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera, saat terpilih jadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Aktifis PKS ini tak ingin posisinya itu merusak tatanan politik, selain untuk menghindari benturan kepentingan.
Sikap partai politik dalam kasus ini memang berbeda-beda. PBB juga bisa memaklumi rangkap jabatan itu. Lihat saja. Ketika menjadi Ketua Umum, Yusril Ihza Mahendra tetap menerima kursi Menteri Hukum dan HAM, lalu pernah sebagai Mensesneg. Penggantinya, MS. Kaban juga tenang-tenang saja sebagai Menteri Kehutanan kabinet Indonesia Bersatu I.
Bagi Partai Demokrat, hal itu juga dibenarkan. Sidang pleno Kongres II Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan, Bandung, Sabtu (22/05) malam juga menyepakati, Ketua Umum Partai Demokrat tak dilarang merangkap jabatan eksekutif dan legislatif.
Padahal, sebelumnya, dalam rancangan tata tertib pasal 26 ayat 11 disebutkan, ketua umum Partai Demokrat dilarang merangkap jabatan puncak di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembatalan ketentuan larangan rangkap jabatan itu dilakukan dalam sidang yang dipimpin Radityo Gambiro pada pukul 20.40 WIB.
© Copyright 2024, All Rights Reserved