Ahli pers Insany Syahbarwati mengakui, pengaduan di Dewan Pers paling banyak adalah pelanggaran etik.
Problem jurnalisme hari ini ternyata bukan hanya soal peralihan dari konvensional ke digital. Tapi problem jurnalisme iternyata banyak terkait dengan masalah etik.
Setiap bulan, lebih dari 400 pengaduan masuk ke Dewan Pers, sebagian besar di antaranya adalah masalah pelanggaran etik. Hal ini dikaitkan dengan minimnya pengetahuan jurnalis soal bagaimana menjadi jurnalis yang menjalankan prinsip jurnalisme.
Bagi Insany Syahbarwati, ahli pers dari Dewan Pers, banyak hal yang menyebabkan jurnalis dan perusahaan pengelola media tak melakukan peningkatan kapasitas jurnalis, terutama pembekalan sebelum terjun ke lapangan. Hal itu menjadi salah satu sebab, mengapa banyak jurnalis yang melanggar etik di lapangan.
Berikut wawancara Endah Lismartini dari politikindonesia.id dengan Insany Syahbarwati, seorang ahli pers dari Dewan Pers.
Sebagai ahli pers, bagaimana Anda melihat kondisi jurnalisme Indonesia hari ini, termasuk insan persnya, lingkungan jurnalisme dan lembaganya?
Dalam 1 bulan, laporan ke Dewan Pers bisa masuk hingga 400 laporan dari seluruh Indonesia. Artinya, berarti ada persoalan. Entah itu terkait dengan kekerasan, dan persoalan paling banyak adalah sengketa pers. Artinya teman-teman seringkali terindikasi, berdasarkan laporan Dewan Pers yang keluar, itu adalah pelanggaran etik. Artinya teman-teman tidak menjalankan fungsi jurnalismenya secara benar-benar menjaga prinsip jurnalisme. karena selalu saja ada orang yang melaporkan Tindakan pelanggaran itu. Dan kebanyakan adalah berkaitan dengan pencemaran nama baik.
Jadi dalam karya jurnalistik itu sangat mengkhawatirkan karena setiap kasus yang kita tangani sering kali ahli pers diundang untuk menjadi saksi di pengadilan dan segala macam, pertanyaan paling sering adalah soal niat buruk jurnalis tersebut Ketika menulis beritanya.
Maksudnya, harus dipastikan apa niat si jurnalis?
Iya. Karena sering kali dalam sidang-sidang yang menghadirkan ahli pers, sering kali dipertanyakan apakah jurnalis itu punya niat buruk atau bagaimana membuktikan apakah jurnalis itu tidak memiliki niat buruk. Nah hal-hal semacam ini menunjukkan jurnalis di Indonesia masih belum memahami betul kerja dia sebagai jurnalis, secara jurnalsitik. Dan itu berakibat pada banyaknya pengaduan.
Kedua, sebagai ahli pers yang punya latar belakang jurnalis. Karena ahli pers kan basicnya macam-macam, ada akademisi, ada pengacara dan segala macam. Sebagai jurnalis ini kondisinya memprihatinkan, karena kemudian kita harus selalu berhadapan dengan pihak-pihak yang bersengketa dengan pers, selalu akhirnya acuannya adalah jurnalis melanggar etik.
Intinya, ada persoalan di sana, bahwa ini tidak selesai. Artinya kita tidak tuntas. Karena jurnalis adalah profesi yang terbuka dan siapa saja bisa berada di dalamnya. Tapi kemudian misalnya dia masuk dalam organisasi pers, tapi kemudian dia tidak meng-upgrade dirinya, tidak belajar terus menerus, karena jurnalisme kan terus menerus berkembamg. Dari awalnya konvensional sekarang kita berada di era digital. Artinya ada perubahan yang harus terus menerus dipelajari, yang harus dipahami, harus mengisi pengetahuan kita terus menerus sebagai jurnalis. Persoalannya ini tidak dilakukan.
Artinya pelanggaran etik yang masih terus terjadi itu karena pengetahuan jurnalisme yang tidak ditingkatkan?
Betul. Jadi ada problem yang sangat mendasar, karena itu basic dari laporan-laporan yang masuk. Dan sebagai ahli pers yang basicnya adalah sebagai jurnalis, ini kan sebenarnya mengganggu. Tapi bukan berarti kita tidak punya solusi, persoalannya ini adalah organisasi profesi, ini adalah organisasi terbuka. Bagaimana persoalannya ketika perekrutan jurnalis perusahaan pers itu harusnya bertanggungjawab penuh pada karya jurnalistiknya teman-teman ini, tapi ternyata perusahaan tidak melakukan apa-apa.
Persoalan lebih besar lagi dari semua itu adalah bahwa perusahaan pers saat ini dia tidak melakuan funsinya sebagai mana yang seharusnya.
Pertama, soal kesejahteraan yang tidak memadai. Kedua soal pengetahuan, soal memberikan training yang seharusnya. Ketiga soal safety journalism itu sendiri, Jadi banyak sebenarnya. Banyak persoalan jurnalisme di Indonesia yang harus segera dituntusakan. Dan yang bertanggungjawab itu juga cukup kompleks. Satu perusahaan pers, yang kedua organisasi pers di mana dia bernaung.
Artinya kesadaran untuk mengupgrade kapasitas jurnalis bukan hanya tidak terjadi di jurnalisnya, tapi juga persoalan perusahaan pers?
Betul. Karena Ketika dia merekrut, misalnya Ketika saya beberaoa kali menjadi pimpinan media, salah satunya Ketika menjadi kabiro iNews tv, Ketika saya merekrut jurnalis. Yang membuat saya harus memberikan tanggung jawab full pada perusahaan adalah, pertama, perusahaan harus melakukan inhouse training sebelum jurnalisnya keluar. Pelajari dulu. Misalnya dia lulusan jurnalistik, tapi pada saat implementasi kan tidak demikian. Artinya, pertama dia harus memahami ini lapangan kerjanya seperti apa, etik yang harus dia junjung juga seperti apa, Nurani dalam peliputan juga seperti apa. Jurnalis baru, tidak tahu apa-apa, apalagi yang tidak memiliki basic jurnalistik ya, mereka betul-betul harus ditempa sebelum akhirnya diterjunkan ke lapangan.
Mengapa itu tidak dilakukan oleh perusahaan pers?
Karena kesadaran itu tidak muncul. Kalau saya mungkin karena saya berorganisasi di AJI (Aliansi JUrnalis Independen) dan saya menjadi pimpinan media, persoalan utamanya adalah buat saya mereka harus dididik dulu sebelum mereka dilepas. Karena kalau tidak dididik bisa menimbulkan masalah. Yang dididik saja masih bisa jadi persoalan apalagi yang enggak.
Kedua, Ketika saya diundang menjadi ahli pers, tanggung jawabnya semakain dalam. Bukan hanya sebagai pimpinan media, tapi sebagai ahli persnya saya tidak mau dong media saya disoroti oleh banyak pihak hanya karena gara-gara menulis yang salah atau tidak melakukan cover both side atau ada prinsip jurnalisme yang dilanggar. Nah itu hal-hal yang memang harus diperhatikan Ketika kita mendirikan perusahaan pers, misalnya.
Alasan apa yang membuat perusahaan pers tidak melakukan itu?
Pertama, otomotatis meski dalam aturan UU Pers itu minimal modalnya 500 juta, tapi faktanya tidak demikian. Meskipun media besar, tapi apakah pimpinan di perusahaan itu aware terhadap persoalan ini atau tidak? Itu kan Kembali kepada leadership pimpinannya. Kalau dia dari orang perusahaan, kemudian dia ditempatkan, tidak paham tentang jurnalisme, kemudian tidak paham juga tentang apa sih yang harus dipersiapkan Ketika jurnalis turun ke lapangan, misalnya. Karena kebanyakan yang dipikirkan perusahaan adalah bagaimana meraup keuntungan sebesar-besarnya dan menggunakan tenaga yang ada untuk keuntungan perusahaan tanpa membekali. Itu persoalan soal modal.
Kedua, soal SDM juga, soal leadership. Dan yang terakhir adalah bahwa tanggung jawab jurnalis itu kan, meski dia adalah profesi, tapi dalam perusahaan dia adalah karyawan. Nah itu kan harusnya jadi tanggung jawab full dari perusahaan. Nah itu tidak berlaku di Indonesia. Karena kita masih menemukan, perusahaan pers dengan modal 50 juta juga tidak sampai, tidak punya kantor, tidak punya apa-apa, malah menggunakan jurnalis sebagai sapi perah untuk cari duit untuk perusahaan. Otomatis banyak sekali persoalannya karena melanggar berbagai hal.
Jadi problem journalisme hari ini bukan semata etik, tapi banyak sekali?
Banyak sekali. Memang banyak sekali.
Ini kan jadi seperti lingkaran setan?
Betul Itu sebabnya, hadirnya organisasi pers itu menjadi cara untuk memprovide anggotanya untuk training, soal aturan etika, soal safety, soal kesejahteraan, soal macam-macam. Jurnalisnya harus disadarkan soal organisasi pers ini. Sehingga mereka bisa berbuat lebih banyak di lingkungan perusahaan. Kemudian, jurnalis yang terhimpun dalan sebuah wadah profesi, itu akan memiliki dua kali pemahaman tentang dia sebagai suatu profesi. Dirinya sebagai seorang jurnalis, dan sebagai profesi. Jadi tanggung jawabnya adalah kesadaran bahwa dia tidak hanya bekerja untuk perusahaan, tapi dia juga bekerja untuk publik. Misalnya, dia punya kesadaran bahwa dia bekerja bukan untuk diri sendiri, jadi dia harus aman, dia punya kemampuan yang bisa didapatkan melalui berbagai training yang ia dapatkan di dalam organisasi.
Itu sebabnya mengapa jurnalis itu harus masuk dalam sebuah wadah organisasi profesi.
Tapi sepertinya tak semua jurnalis punya kesadaran untuk bergabung dengan organisasi profesi?
Nah itu. Selain sebagai pimpinan perusahaan, sebagai ahli pers, ya kan juga sebagai akademisi. Jadi saya praktisi yang juga bekerja sebagai dosen. Nah, sejak bibit-bibit Ketika belum terjun bekerja sebagai profesiona, kan dia dari kampus nih, lebih bagus kalau dia belajar tentang komunikasi, dia belajar tentang jurnalistik, Ketika saya menjadi dosen, hal pertama yang saya tanamkan adalah memang soal etik.
Kemudian soal profesionalitas. Kesadaran soal profesionalitas ini kan luas sekali. Pertama dia harus menjalankan prinsip jurnalismenya, dia harus sadar betul dia bekerja untuk siapa dan segala macam kan. Nah itu yang saya tanamkan. Saya bersyukurnya, karena saya praktisi, jadi saya sudah menjalankan dulu, baru kemudian masuk ke dunia akademisi. Dengan sendirinya, apa yang sudah saya pelajari bisa saya sampaikan.
Artinya lagi, bahwa Ketika mereka lulus, mereka sudah lebih siap. Bahwa dunia jurnalisme ini berbeda dengan dunia akademisi yang murni, dan bukan praktisi. Itu kelemahannya akademisi yang bukan praktisi. Mereka masih meraba-raba, dunia jurnalis ini di lapangan seperti apa, tantangannya apa, dan seterusnya.
Apa tanggapan generasi kekinian yang jadi mahasiswa Anda, soal etik?
Mereka sadar sebenarnya. Bahkan mereka yang memilah dan mencari tahu. Curiousitasnya tinggi, mereka aktif mencari tahu, rasa ingin tahunya juga luar biasa. Dibanding kita, Ketika aku awal menjadi jurnalis, kan tidak ada yang memberi tahu. Saya belajar secara otodidak.
Tapi mereka sekarang, jurnalis yang terlahir dari rahim milenial dan rahim gen z ini, sebenarnya kan mereka punya banyak sekali informasi yang terpapar ke diri mereka melalui internet, melalui gadget. Jadi sebenarnya mereka itu sangat melek terhadap etika, prinsip jurnalisme, juga jurnalisme itu sendiri.
Karena mereka tinggal gunakan chat GPT, mereka sudah bisa dapat banyak sekali informasi dan mereka sudah tahu apa yang mereka lakukan. Hanya saja mungkin perlu diarahkan oleh jurnalis yang senior, jurnalis yang sudah paham dunia lapangan seperti apa, bagaimana implementasinya. Karena mereka hanya membaca teori. Mereka belum menjalankan.
Kalau soal informasi, mereka paham betul. Karena mereka adalah generasi yang sangat menguasai teknologi informasi.[]
© Copyright 2024, All Rights Reserved