Pemerintah pusat memutuskan untuk membatalkan pembangunan Pulau G yang merupakan bagian dari proyek reklamasi Teluk Jakarta. Wajar, jika Agung Podomoro Land (APLN) dan anak perusahaannya Muara Wisesa Samudera (MWS) yang menjadi pengembang pulau G kecewa dengan penghentian itu. Akan tetapi, protes yang disampaikan APL kepada pemerintah pusat, salah alamat.
Setidaknya, demikian pandangan yang disampaikan Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK) Teguh Santosa dalam perbincangan dengan media, Sabtu (02/07).
Pernyataannya itu menanggapi pernyataan Dirut APL Cosmas Batubara dalam jumpa pers, di Jakarta, Sabtu (02/07) siang. Cosmas mengatakan, pihaknya telah mengantongi semua persyaratan yang diminta Pemprov DKI Jakarta sebelum memulai pembangunan pulau G.
Cosmas mengungkapkan kekecewaannya dan menyebut, pembatalan pembangunan pulau G itu menciptakan ketidak kpastian di dunia usaha. Cosmas juga mengatakan, pihaknya hanya tunduk pada Pemprov DKI Jakarta yang mengeluarkan izin pembangunan pulau G.
Teguh mengatakan, jika APL keberatan, seharusnya protes itu dialamatkan kepada pemerintah provinsi DKI jakarta, yang mengabaikan aturan dalam pelaksanaan reklamasi.
"Tidak pada tempatnya Agung Podomoro Land dan Muara Wisesa Samudera menyampaikan kekecewaan kepada pemerintah pusat. Seharusnya kekecewaan itu dialamatkan kepada Pemprov DKI Jakarta dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang memberikan izin pembangunan pulau G dengan mengabaikan peraturan yang ada," ujar Teguh.
Alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu menilai, pembatalan pembangunan pulau G yang disampaikan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, adalah bentuk koreksi pemerintah pusat terhadap pelaksanaan reklamasi untuk menciptakan kepastian dunia usaha.
Indonesia membutuhkan investasi untuk menggerakkan roda ekonomi. Tetapi, investasi tersebut haruslah sejalan dan peraturan yang ada dan bermanfaat untuk masyarakat banyak.
Teguh menambahkan, jika Pemprov DKI Jakarta dan Gubernur Ahok memiliki itikad yang baik dalam mereklamasi kawasan utara Jakarta, seharusnya mereka lah yang mengambil keputusan penghentian pembangunan pulau G. Tidak perlu menunggu Presiden atau Menko Kemaritiman dan Sumber Daya turun tangan untuk menghentikan.
Pada sisi lain, pihak APLN dan MWS perlu menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting agar di masa mendatang ekstra hati-hati dan tidak asal ikut proyek yang melanggar aturan.
"Saya kira Agung Podomoro Land dan Muara Wisesa Samudera, kalau tidak mengetahui berbagai pelanggaran yang sudah disebutkan oleh pemerintah, adalah korban dari ambisi Pemprov DKI Jakarta dan Ahok yang mengabaikan peraturan," ujar Teguh.
Dalam pandangan Teguh, sah-sah saja jika APL mengatakan tunduk pada Pemprov DKI Jakarta. Tapi, harus diingat, tidak ada negara di dalam negara. "Otoritas tertinggi NKRI adalah pemerintah pusat. Kalau Pemprov DKI memaksakan kehendak, itu bisa dianggap melawan pemerintahan nasional yang sah," tandas dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved