Industri kelapa sawit bisa mendukung target pemerintahan untuk meningkatkan ekspor nasional dan pertumbuhan ekonomi. Komoditas tersebut perlu dapat kemudahan dalam berusaha dan tidak dibebani regulasi yang bersifat kontraproduktif.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang mengatakan, dari segi pendapatan negara, devisa ekspor yang dihasilkan dari produk kelapa sawit pada tahun 2017 mencapai US$21,25 miliar atau sekitar Rp287 triliun.
Sementara itu, selama tahun 2017 lalu, produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit sebesar 37,8 juta ton dengan luasan perkebunan sawit saat ini mencapai 14,03 juta hektar (ha). Dari luas tersebut, sekitar 40 persen atau sekitar 5 juta ha merupakan perkebunan rakyat (PR).
“Dengan tingkat produksi CPO berkisar 37,8 juta ton dengan rata-rata produktivitas berkisar 3,6 ton per ha, angka tersebut masih di bawah standar. Sebenarnya masih ada potensi yang bisa dicapai. Kalau minyak sawit produktivitasnya 8-10 ton per ha, itu bisa meningkat 3 kali lipat,” katanya di Kantor Kementan, Jakarta, Rabu (07/03).
Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Saat ini, Indonesia dan Malaysia menguasai pangsa pasar sekitar 85 persen produksi minyak kelapa sawit dunia.
Sejumlah negara yang menjadi pasar utama sawit seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat membuat kampanye negatif di pasar global. Namun, tujuannya adalah menekan daya saing sawit untuk mendapatkan harga lebih murah.
“Kendati demikian, permintaan sawit diperkirakan akan tetap tinggi guna memenuhi kebutuhan global. Karena sebenarnya dengan adanya kampanye negatif itu, mereka tidak ingin mematikan sawit, tetapi ingin daya saingnya turun. Jadi mereka mainkan isu negatif ini untuk menekan produk sawit di pasar internasional,” ungkapnya.
Dijelaskan, kebutuhan minyak nabati dunia saat ini lebih dari 50 persen bersumber dari minyak kelapa sawit, sedangkan sisanya berasal dari minyak rape seed, bunga matahari, kedelai, minyak kelapa, kacang tanah, bunga matahari dan minyak biji kapas.
“Pengusahaan kelapa sawit saat ini menyerap lebih dari 5,5 juta tenaga kerja di sektor perkebunan. Penyerapan tenaga kerja ini akan lebih besar lagi kalau termasuk tenaga kerja di sektor perkebunan dan jasa pada agribisnis kelapa sawit," papar Bambang.
Selain itu, lanjutnya, dari segi pengembangan wilayah, telah terbukti bahwa pembangunan kelapa sawit yang umumnya dibangun di daerah terpencil, telah mampu mendorong berkembangnya wilayah dengan sentra ekonomi berbasis kelapa sawit. Sehingga sektor perkebunan dan industri kelapa sawit telah menunjukkan kinerja yang positif, walaupun masih di jumpai berbagai tantangan sekaligus kendala yang harus diselesaikan.
“Tantangan dan kendala tersebut antara lain adalah rendahnya tingkat produktivitas perkebunan rakyat terutama perkebunan kelapa sawit swadaya yang belum menerapkan good agricultural practices. Selain itu, kebun yang sudah memasuki masa peremajaan dengan usia tanaman lebih dari 25 tahun,” ungkapnya.
Diakuinya, selama ini pembangunan perkebunan kelapa sawit dihadapkan pada berbagai isu yang berkaitan dengan lingkungan. Di antaranya menurunnya keanekaragaman hayati, penyebab degradasi lahan dan deforestasi, penyebab emisi gas rumah kaca, kebakaran, dan sebagainya. Isu tersebut tentunya perlu disikapi dengan arif dan harus dibuktikan bahwa pembangunan perkebunan di Indonesia sudah mengikuti peraturan perundangan di Indonesia, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
“Sehingga, pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit kedepan, perlu difokuskan kepada upaya peningkatan produktivitas serta peningkatan kualitas produk melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO),” tegasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira Adhinegara menambahkan, industri sawit mempunyai empat keunggulan untuk menopang sektor perekonomian nasional. Pertama, perkebunan sawit mampu menyerap tenaga kerja tinggi sampai 8,2 juta tenaga kerja. Inipun belum termasuk penyerapan tenaga kerja tidak langsung sebanyak 13 juta orang di sektor sawit. Sehingga diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah.
“Kedua, berdasarkan studi penelitian internasional, pendapatan masyarakat di luar Jawa yang bekerja di sawit 4 kali lebih tinggi dari garis kemiskinan. Makanya, pendapatan petani sawit lebih tinggi daripada petani non sawit terutama di wilayah luar Jawa,” tandasnya.
Keunggulan ketiga, kata Bhima, adalah kelapa sawit mampu meningkatkan kinerja sektor manufaktur, terutama pertumbuhan industri makanan dan minuman tertinggi sebesar 9,23 persen pada 2017. Selain itu, kelapa sawit juga menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia. Tercatat, per 2017, sumbangan kelapa sawit mencapai Rp300 triliun. Porsi ekspor sawit terhadap total ekspor non migas mencapai 15,1 persen.
“Dengan berbagai keunggulan dimiliki sawit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan ekspor. Seharusnya, pemerintah dapat mengandalkan sawit untuk menopang target pertumbuhan ekspor 11 persen pada 2018. Sehingga kelapa sawit dapat menjadi andalan ekspor. Namun, saya perkirakan ekspor hanya bisa tumbuh tujuh persen tahun ini,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Danang Giriwardana, meminta pemerintah lebih bijak dalam penerapan kebijakan lingkungan di industri sawit. Karena tren isu sustainability sekarang ini lebih fokus kepada persoalan lingkungan hidup (PLANET) daripada kesejahteraan petani (PEOPLE).
“Isu meningkatkan pendapatan petani malahan terabaikan. Yang terjadi sekarang kebijakan publik dalam ranah APL, deforestasi, moratorium, gambut, SK Kawasan Hutan, belum sinergis dan cenderung salah urus. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak untuk penguatan daya saing sawit,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved