Kandungan kimia berbahaya dalam produk impor berupa mainan anak-anak dinyatakan masih berada dibawah ambang batas SNI (Standar Nasional Indonesia) Sukarela. Mainan impor seperti sempoa, puzzle, balok warna dan rumah hitung kayu dinyatakan masih aman digunakan anak-anak.
Demikian disampaikan oleh Direktur Pemberdayaan Konsumen, Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Srie Agustina, mengomentari hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahwa sejumlah mainan anak mengandung bahan kimia berbahaya.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, YLKI mempublikasi hasil penelitian mereka terhadap sejumlah produk impor berupa mainan edukasi untuk anak-anak yang beredar di sejumlah pasar di 5 wilayah Jakarta. Sejumlah mainan yang diteliti seperti sempoa, puzzle, balok warna dan rumah hitung kayu dinyatakan mengandung zat-zat kimia berbahaya bagi kesehatan.
Kata Srie, pihaknya telah dan selalu bekerja sama untuk melakukan pengawasan secara aktif, termasuk terhadap temuan kimia berbahaya itu. Perbedaan terjadi, karena YLKI hanya menguji salah satu aspek yaitu SNI migrasi unsur tertentu. Sedangkan, jika mengikuti SNI Sukarela, hasil pengujian yang dilakukan YLKI menunjukkan, mainan-mainan tersebut masih di bawah ambang batas SNI sukarela yang diberlakukan.
Kepada Elva Setyaningrum dari politikindonesia.com, Selasa (27/03), wanita kelahiran Bangka Belitung, 21 Agustus 1960 ini bercerita panjang lebar terkait standarisasi mainan anak-anak. Juga tentang perbedaan pandangan antara YLKI dan standarisasi yang dilakukan terhadap mainan anak-anak tersebut. Berikut petikannya.
YLKI menyatakan sejumlah produk impor mainan anak-anak mengandung kimia yang berbahaya bagi kesehatan, tanggapan anda?
Kami selalu bekerja sama dengan YLKI dalam pengawasan standarisasi dan perlindungan konsumen. Sebenarnya, mainan-mainan tersebut masih berada dibawah ambang batas SNI Sukarela yang diberlakukan di Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan SNI Sukarela sebagai standarisasi mainan anak?
SNI sukarela adalah SNI yang mengacu pada ISO 8124-3-2010 yang memiliki 4 bagian. Pertama, aspek mainan yang bersifat fisik dan mekanis. Kedua, adanya sifat mudah terbakar. Ketiga, migrasi unsur tertentu. Dan keempat, peralatan percobaan kimia dan aktivitas yang terkait. Perbedaan terjadi, karena YLKI hanya menguji salah satu aspek yaitu SNI migrasi unsur tertentu.
Tentang temuan YLKI itu sendiri, apa komentar Anda?
Saya rasa, penelitian YLKI itu pasti bertujuan baik untuk menyehatkan konsumen Indonesia. Kami sudah mendapat laporan tentang itu. YLKI telah melakukan pengujian terhadap 21 mainan edukasi untuk anak-anak di Laboratorium Afiliasi, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Indonesia (UI). Dari 21 mainan tersebut hanya 7 mainan yang memiliki label pada kemasannya. Sisanya hanya kemasan plastik dengan petunjuk harga tanpa penjelasan bahan dan cara penggunaan mainan.
Lantas apa yang sebenarnya diuji?
Dalam hal ini, YLKI hanya menguji salah satu aspek saja yaitu SNI Migrasi unsur tertentu. Aspek ini terdiri dari 9 bagian di antaranya apakah mengadung, timbal (Pb), mercuri (Hg), cadminum (Cd) dan xhromim (Cr). Di SNI itu ada batasan maksimalnya. Jadi hasil uji YLKI itu masih di bawah ambang batasan, artinya masih aman.
Dari hasil pengujian tersebut, apa hasilnya yang Anda ketahui?
Dari hasil pengujian YLKI tersebut, produk mainan edukasi tersebut mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Di antaranya, timbal (Pb), mercuri (Hg), cadminum (Cd) dan xhromim (Cr). Selain itu, tampilan fisiknya juga tidak aman. Misalnya, cat yang sudah terkelupas, bau dan warna cat yang sangat menyolok. Semua mainan edukasi itu menggunakan cat pewarna yang dibuat oleh produsen dari Indoensia, China, Israel, Thailand dan Inggris. Selain itu, kurangnya informasi yang jelas dalam kemasan mainan edukasi tersebut.
Pengawasan apa saja pihak Anda lakukan terhadap menyebarnya mainan seperti ini di masyarakat?
Pengawasan yang kami lakukan dalam hal perlindungan terhadap konsumen Indonesia. Karena dalam perlindungan konsumen ada 3 pilar yang harus diperhatikan. Pertama, regulasi di mana SNI diberlakukan secara wajib. Kedua, pengawasan barang dan ketiga, bagaimana mengedukasi konsumen.
Untuk mengedukasi konsumen, bukanlah hal yang mudah dan tidak seluruh masyarakat bisa langsung tahu. Karena itu kami melakukannya kepada generasi muda dengan masuk ke sekolah, guru, dan komunitas-komunitas orang tua yang care terhadap masalah itu.
Apa kesulitannya dalam melakukan pengasawan di lapangan?
Kami akui, sangat kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap beredar mainan edukasi ini di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Hal itu karena banyaknya mainan yang dijual pedagang kaki lima pinggir jalan. Untuk mengatasi masalah ini, kami akan melakukan sosialisasi yang difokuskan ke mainan anak-anak.
Sosialisasi ini juga akan kami lakukan bekerja sama dengan YLKI. Walau sebenarnya pengawasan itu bisa kami lakukan sendiri, begitu juga dengan YLKI. Pengujiannya pun dilakukan dengan cara yang sama agar hasil yang didapat tidak berbeda.
Bagaimana cara mencerdaskan konsumen Indonesia?
Sosialisasi terus menerus. Kita harus terus mengedukasi konsumen agar cerdas dalam membeli sebuah produk. Kami tengah merancamg model sosialisasi sejak dini, dengan menyusun muatan kurikulum di jenjang SMP dan SMA.
Saat ini tengah dilakukan proyek percontohan di sejumlah sekolah di Jakarta. Tahun 2011, tercatat 5.865 motivator. Tahun ini ditargetkan bisa tercetak 7.200 motivator. Semakin banyak motivator, edukasi konsumen diharapkan semakin meluas. Pada tahun ini, kami pun sudah menunjuk mantan artis cilik, Tasya Kamila, sebagai duta konsumen cerdas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved