Mahkamah Konstitusi (MK) membantah anggapan bahwa putusannya dalam pengujian Undang-Undang MD3 terkait Hak Angket DPR mengandung inkonsistensi. Putusan MK terkait keabsahan hak angket terhadap KPK itu, tidak bertentangan dengan putusan MK terdahulu.
Hal itu disampaikan Juru bicara MK Fajar Laksono dalam jumpa pers bersama Kepala Biro Humas dan Protokol Rubiyo di Gedung MK, Jakarat, Kamis (15/02). "Tidak termaktub sedikit pun dalam pendapat MK yang kemudian mengesankan bahwa putusan ini merupakan bentuk atau upaya pelemahan terhadap KPK," ujar Fajar.
Fajar menjelaskan, dalam putusannya, MK menyatakan, posisi KPK sebagai lembaga negara yang bukan termasuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, namun diberi tugas kewenangan dan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. MK menyatakan, KPK bisa menjadi obyek hak angket DPR karena merupakan lembaga di ranah eksekutif.
Fajar mengatakan, putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 itu menyatakan KPK menjadi bagian dari lingkup kekuasaan eksekutif karena pimpinannya diangkat oleh DPR.
Fajar menyebut, MK pada putusan-putusan sebelumnya tak pernah menyatakan KPK menjadi bagian eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
MK hanya menyebutkan bahwa posisi KPK sebagai lembaga negara tidak termasuk di wilayah yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Tetapi diberi tugas kewenangan dan fungsi yang terkait dengan fungsi yudikatif.
“Penting ditegaskan bahwa dalam putusan-putusan terdahulu, mahkamah tidak pernah berpendapat yang pada pokoknya menyatakan KPK merupakan lembaga negara yang berada pada ranah kekuasaan tertentu, apakah itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif," ujar Fajar.
Baru pada putusan nomor 36/PUU-XV/2017 inilah, Mahkamah menyatakan pendapat bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif.
Fajar mengatakan, ada pendapat yang berkembang bahwa putusan terbaru MK itu disebut bertentangan dengan putusan-putusan terdahulu. Putusan-putusan itu antara lain Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan MK No. 5/PUU-IX/2011, dan Putusan Nomor 49/PUU-XI/2013.
Fajar menjelaskan, sebelum Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, memang terdapat pemahaman, berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 30/2002 tentang KPK. Secara institusional KPK dianggap berada di ranah kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 53 dalam UU KPK.
“Dengan ketentuan tersebut, kompetensi Pengadilan Tipikor ditentukan oleh lembaga yang menuntut, yaitu KPK. Dalam hal ini, Pengadilan Tipikor dirancang diletakkan dalam wilayah berkiprahnya kewibawaan KPK," ujar dia.
Namun, setelah Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, Pasal 53 dalam UU tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara limitatif. Dengan arti, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 tahun terhitung sejak putusan diucapkan.
“Artinya, pengaturan mengenai pembentukan Pengadilan Tipikor harus dengan UU tersendiri, bukan di dalam UU KPK. Putusan tersebut mengukuhkan KPK sebagai lembaga negara di ranah eksekutif," terang dia.
Dari penjelasan tersebut, jelas dia, tidak terdapat dasar dan alasan untuk menyebut adanya pertentangan antara Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dengan putusan MK sebelumnya. Ia menuturkan, Putusan No. 36/PUU-XV/2017 sangat sejalan dan melengkapi putusan sebelumnya.
Fajar menambahkan, pernyataan MK soal putusan uji materi ini disampaikan untuk merespon pendapat di masyarakat yang mempersoalkan putusan tersebut. MK ingin menghindari kebingungan publik akibat banyaknya pendapat yang simpang siur.
Pernyataan MK ini, sambung Fajar, tidak dimaksudkan untuk mengomentari pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dikemukakan hakim konstitusi Suhartoyo dalam putusan tersebut.
"MK menjelaskan, terlepas itu ada dissenting opinion soal itu, tapi merespon perkembangan yang di luar. Ini yang kemudian jadi persoalan," tandas dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved