Peningkatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) bukan hanya menjadi tugas KPK saja. DPR dan pemerintah pun ikut memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan skor IPK, sebab banyak komponen yang dijadikan penilaian.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dalam diskusi di kantor Transparency International Indonesia, Jakarta, Minggu (18/02), terkait rekomendasi Pansus Hak Angket terhadap KPK, yang meminta KPK meningkatkan IPK dalam kurun waktu 5 tahun.
Laode menyebut, ada persepsi yang keliru dari DPR terkait peningkatan skor IPK. Ia menegaskan bahwa banyaknya penindakan dalam upaya pemberantasan korupsi tak banyak mempengaruhi skor IPK.
“Peningkatan CPI itu bukan tugasnya KPK saja. Ada persepsi yang keliru di parlemen mengatakan bahwa paling banyak penindakan mempengaruhi CPI, itu salah sekali. Kalau banyak penindakan itu nilai plus pemberantasan korupsi," ujar dia.
Dikatakan Laode, ada banyak faktor atau komponen yang mempengaruhi skor IPK di Indonesia. Salah satunya adalah komponen relasi antara politik dan bisnis yang menjadi tanggung jawab DPR.
“Salah satunya political services, itu paling banyak dan jadi tanggung jawab parlemen. Relasi politik dan bisnis. Lihat siapa yang di parlemen dan yang punya bisnis," ujar dia.
Laode menyebut, KPK sebenarnya tidak keberatan jika diberikan tugas untuk menaikkan skor IPK. Namun, hal tersebut akan sulit dicapai tanpa dukungan pihak lain.
“Kalau kita ditugaskan untuk bertanggungjawab seperti itu maka harus didukung pihak lain. Tata kelola itu harus dari legislatif dan eksekutif," tuturnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved