Posisi pimpinan DPR yang berasal dari voting anggota dewan tidak melanggar konstitusi. Pemilihan ketua DPR dengan voting membuat proses demokrasi berjalan di DPR.
"Dapat kami pahami bahwa pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR adalah bagian dari MPR. Sehingga dapat dimungkinkan adanya proses pemilihan dengan suara terbanyak jika penyelesaian melalui musyawarah mufakat tidak tercapai," kata Perwakilan pemerintah dalam sidang gugatan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), Mualimin Abdi saat memberi keterangan sebagai perwakilan Presiden atau Pemerintah dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (23/09).
Menurut Mualimin, proses pemilihan dengan suara terbanyak itu lebih demokratis. Sebab dapat dimaksudkan juga demi terwujudnya pimpinan lembaga pemusyawaratan yang lebih demokratis pula.
“Dengan adanya voting maka seluruh anggota DPR dapat berpotensi menjadi pimpinan DPR,” kata Mualimin.
Mualimin mengatakan, hal tersebut merupakan suatu proses yang sesuai dengan nilai-nilai demokratis dalam pola pemilihan yang melibatkan seluruh unsur fraksi yang ada di dalam DPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
Meski demikian, kata Mualimin, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MK terkait UU MD3. Bila harus kembali ke UU MD3 yang lama maka hal itu juga bukan sesuatu yang melanggar konstitusi.
"Tapi Pemerintah juga dapat menyampaikan bahwa dengan adanya ketentuan objek permohonan a quo, maka tidak menutup kemungkinan bahwa parpol yang peroleh suara terbanyak (saat pileg) dapat mengajukan calonnya untuk menjadi pimpinan DPR," jelas Mualimin.
Sebelumnya, PDI Perjuangan mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam UU MD3. Yakni Pasal 84, 97, 104, 109, 115, 121, dan 152.
PDIP selaku Pemohon yang diwakili Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo, menilai, ketentuan dalam pasal-pasal itu telah merugikan hak konstutisional PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014.
© Copyright 2024, All Rights Reserved