Nama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ribka Tjiptaning termasuk sebagai salah satu kandidat yang digadang-gadangkan masuk dalam kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Ribka bersama dengan Fasli Jalal dan Ali Ghufron Mukti, disebut-sebut sebagai kandidat Menteri Kesehatan (Menkes).
Masuk nama Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, diakui mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Bahkan, ada yang menggalang petisi menolak Ribka diusulkan sebagai menteri kesehatan.
Seorang pengguna platform petisi Change.org dengan akun Muhamad Ricki Cahyana mengedarkan petisi online yang isinya menolak Ribka sebagai calon menkes.
Dalam halaman petisi itu, Ricki menyayangkan masuknya nama Ribka sebagai calon menkes dalam polling Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR) yang dibentuk tim Jokowi Center. Dia mengungkit kasus penghilangan salah satu ayat di Undang-Undang Kesehatan, yakni di Pasal 113 ayat (2) mengenai tembakau.
Meski mendapat reaksi penolakan dari sejumlah kalangan, Ribka menanggapinya santai. Ia mengaku siap bila dipercaya menjadi Menkes. “Saya sangat siap menjadi pembantu Jokowi-JK di Kabinet Rakyat karena saya pribadi mendukung revolusi mental di sektor kesehatan," katanya kepada politikindonesia.com di Jakarta, Selasa (05/08).
Ribka menyebut, revolusi mental di bidang kesehatan dapat membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Karena dirinya merasa gelisah dengan nasib masyarakat miskin, dimana sebagian dari mereka sulit menjangkau layanan kesehatan yang memadai di rumah sakit.
“Saya ingin revolusi mental yang diusung Bapak Jokowi dapat ditetapkan dalam sektor kesehatan dan saya ingin tidak ada lagi melihat kelasnya," ujar profesional di bidang kesehatan ini.
Dijelaskan, saat ini orientasi rumah sakit tidak lagi berlandaskan Undang-undang (UU) dalam menjalankan tugas. Rumah sakit, kini lebih mementingkan golongan tertentu dan bukan orang miskin. Jadi orientasi sosialnya sudah tidak lagi diprioritaskan dan sudah tidak diperhitungkan lagi.
“Orientasi rumah sakit sekarang lebih neo liberal tidak lagi sosial. Seharusnya terima dulu siapa yang datang dan juga jangan rumit-rumit, nyawa manusia lebih penting, dan itu sesuai dengan sumpah dokter," ungkap lulusan FK UKI ini.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran, Yogyakarta, 1 Juli 1959 ini juga memberi tanggapannya mengenai sejumlah pihak yang tak mendukung dirinya menjadi Menkes, termasuk kesiapannya jika nanti memang diberi amanat. Berikutp petikan wawancaranya.
Nama anda masuk dalam polling Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR) sebagai kandidat menteri kesehatan, tanggapannya?
Saya siap dicalonkan menjadi Menkes di bawah pemerintahan presiden terpilih yang baru. Tentunya, kesiapan ini mengikuti kehendak rakyat. Karena aspirasi dari kawan-kawan dan rakyat sendiri yang meminta saya maju menjadi Menkes.
Ada rumor yang menyebut anda bukan seorang dokter, benarkah?
Rumor itu tidak benar. Silahkan tanya langsung ke Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Jadi, sebaiknya yang menyebar isu itu mengecek terlebih dulu mengenai kebenaran info sebelum menyebarkannya.
Kalau soal administarsi clear, saya alumni kedokteran UKI 1978. Bahkan, kedua anak saya juga seorang dokter. Saya yang siap mencalonkan jadi menteri, kenapa mereka yang kebakaran jenggot?
Jika nanti diminta jadi Menkes, apa yang akan Anda lakukan?
Saya akan menjalankan Undang-undang (UU) Kesehatan yang tak dijalankan di pemerintahan saat ini. Kesehatan adalah hak rakyat. Sehingga pelayanan kesehatan rakyat harus dijamin oleh negara.
Jika saya menjadi Menkes, tentunya saya akan berkomitmen kepada UU Kesehatan dan konstitusi UUD 1945. Saya akan berusaha mengembalikan kesehatan untuk rakyat. Selain itu, saya juga akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien yang sakit. Karena banyak hal yang perlu diperbaiki dalam dunia kesehatan.
Apakah ada masalah dengan UU Kesehatan saat ini?
Sebenarnya, UU yang ada saat ini sudah cukup mengatur hak rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan, di lembaga pelayanan kesehatan mana pun. Sayangnya, dalam UU tersebut, seperti pasal 32 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan itu sudah mengatur kedaulatan rakyat, pidana kepada yang menolak melayani pasien. Tapi belum ada PP-nya untuk menjamin penegakan hukumnya. Itu yang membedakan kita nanti.
Oleh karena itu, rumah sakit atau tenaga kesehatan masih abai pada pelayanan pasien. Jika ada PP soal pemidanaan penolakan pasien, maka tidak ada lagi rumah sakit atau tenaga kesehatan yang berani menolak pasien meski tidak punya uang untuk biaya RS. Kalau ada sanksi, maka akan ada efek jera, sehingga tidak ada lagi yang berani menolak. Karena tenaga kesehatan itu sumpahnya mengedepankan kemanusiaan.
Pandangan Anda dengan kesehatan di Indonesia saat ini?
Saya sungguh merasa prihatin karena saat ini banyak sekali kasus kesehatan di Indonesia. Di antaranya, masih banyak rakyat miskin yang tak mendapatkan akses kesehatan. Seharusnya dengan BPJS yang ada saat ini, harus pro rakyat. Sehingga, kita tak mendengar lagi ada masyarakat yang ditolak di rumah sakit. Tapi ibu-ibu banyak yang bilang sebaliknya. Saya berharap di bawah presiden terpilih tidak ada lagi rakyat yang tidak diterima oleh rumah sakit. Jadi, tidak boleh ada lagi satu orangpun yang ditolak oleh masyarakat karena kesehatan rakyat telah diatur melalui UU.
© Copyright 2024, All Rights Reserved