BERBAGAI pihak seperti mantan Menkumham, Hamid Awaluddin, Kamrussamad, DPR Gerindra dan Arteria Dahlan, DPR PDIP, memberikan pernyataan ada keterlibatan Prabowo dalam pembatalan RUU Pilkada tiga hari lalu.
Pembatalan ini tentunya suatu titik balik di mana biasanya produk RUU apapun yang digodok di DPR, yang mengalami demo penentangan besar-besaran, tetap diloloskan. Antara lain RUU Omnibus Law, RUU KUHP dan Revisi UU KPK beberapa tahun kebelakang.
Titik balik ini juga sekaligus menunjukkan Jokowi telah menjadi bebek lumpuh. Omongan Bahlil Lahadalia, yang ditafsirkan banyak pihak, bahwa Jokowi adalah Raja Jawa, yang bengis, dan jangan dilawan, telah dijawab dengan gagalnya RUU Pilkada itu. Prabowo tidak setuju.
Sebab, sejatinya RUU Pilkada itu untuk menolak keputusan Mahkamah Konstitusi 70 yang membuat Kaesang, anak Jokowi, gagal maju jadi Cawagub di Jakarta maupun Cagub di Jawa Tengah. Kekuatan rakyat, khususnya mahasiswa, pastinya sulit berhasil, jika perpecahan antara Prabowo, presiden terpilih, dengan Jokowi tidak terjadi.
Auman Prabowo
Bak macan ganas, Prabowo beberapa hari ini telah mengaum kencang dan menggelegar. Di acara wisuda Universitas Pertahanan, Prabowo menegaskan prinsip-prinsip bernegara, yakni 1) negara akan maju dan besar jika sains dan teknologi dikuasai. 2) negara tidak ada gunanya masuk level G20, kalau rakyatnya masih miskin dan susah makan.
Keesokan harinya, kemarin di acara PAN, Prabowo mengemukakan setidaknya 3 hal penting, yakni 1. Jangan haus kekuasaan. Menurutnya situasi saat ini kekuasaan sudah menjadi kejahatan. Karena kekuasaan diperoleh dengan kasar dan kejam, bahkan menggerakkan intelijen menghancurkan lawan politik. Prabowo kecewa dan marah dirinya sendiri masih diinteli. 2. Saatnya bekerja, bukan omon-omon. Prabowo meminta saatnya terjun ke aksi, mengurusi rakyat. Jangan seperti intelektual yang kebanyakan podcast, merasa lebih pintar dari dirinya. 3. Prabowo mengungkapkan hubungan dia dengan Jokowi tidak ada yang retak.
Auman Prabowo ini multitafsir, karena Prabowo tidak menjelaskan siapa yang menginteli dia? Siapa yang haus kekuasaan? Kenapa Prabowo perlu menjelaskan hubungan dia dan Jokowi yang diperkirakan retak?
Dalam tafsir kekinian, tentu saja yang mampu menginteli Prabowo adalah kekuatan dan kekuasaan yang setara dengannya. Dan itu hanya mungkin kelompok yang ingin memastikan bahwa ada Raja Jawa yang bengis dan kuat. Sedangkan kelompok Megawati dan kelompok Anies Baswedan, misalnya, sudah bukan kekuatan utama lagi di dalam konstelasi nasional.
Lalu siapa yang haus kekuasaan? Yang haus kekuasaan dalam tafsir publik adalah seseorang yang membangun politik dinasti dan berpikir dirinya adalah raja. Dalam sejarah demokrasi sebelum Jokowi, baik Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY tidak sedikitpun berpikir memperpanjang jabatan presiden. Sebaliknya Jokowi sejak awal berpikir memperpanjang kekuasaan sampai 3 periode dan bahkan ingin menjadikan anak-anak, menantu, asik, sespri dan lainnya masuk dalam permainan kekuasaan.
Prabowo ingin kekuasaan itu dimintakan kepada rakyat, bukan sebuah persekongkolan politik elite yang mendikte.
Selanjutnya soal hubungan Prabowo dan Jokowi yang diisukan retak saat ini, dan dibantah Prabowo, tentu saja disesuaikan dengan tafsir objektif. Rakyat sudah paham bahwa Jokowi gagal dan atau digagalkan dalam memastikan Kaesang sebagai pimpinan daerah Jakarta maupun Jateng. Sebelumnya pula, dengan merusak konstitusi dan mengendalikan elit, Jokowi berhasil menempatkan anaknya Gibran masuk menjadi Wapres dan menantunya Bobby Nasution, masuk bursa Gubernur Sumut. Namun, ketika pola yang sama akan diulangi untuk meloloskan Kaesang, rakyat marah, sangat marah dan jijik (seperti trending topik menantu Jokowi yang hamil itu bau ketiak) dan akhirnya Prabowo mengaum, marah. Akhirnya Jokowi terdiam, seperti bebek lumpuh.
Tafsir Prabowo retak dengan Jokowi adalah hak penafsir, jika seseorang penafsir itu mempunyai kapasitas intelektual yang handal, misalnya Rocky Gerung yang setiap hari podcast. Baik tafsir itu disampaikan melalui tulisan, maupun melalui omon-omon di podcast. Tentu melihat keretakan Prabowo dengan Jokowi dapat dianalisis pula secara objektif.
Di antaranya: 1) Jokowi ditengarai telah menyingkirkan kelompok Aburizal Bakrie dari Golkar. Padahal hubungan dan persekutuan Prabowo dan Aburizal telah terjalin hampir 50 tahun. 2) Jokowi tidak puas dari bukan siapa-siapa telah berhasil memaksakan anaknya yang bocil jadi wapres. Mau tambah lagi dengan rekayasa untuk Kaesang. Padahal konsep Prabowo kekuasaan itu bukan pewarisan, melainkan penghambaan keharibaan rakyat. 3. Secara karakter berbeda pula, Prabowo tergembleng sebagai patriotik, sedangkan Jokowi tak jelas, bahkan perusak bangsa. Jadi analisa kepentingan dan karakteristik keduanya berbeda 180 derajat. Pastinya retak. Lalu kenapa Prabowo harus membantah? Dalam politik hal itu biasa untuk mengendalikan stabilitas politik elite.
Selanjutnya, auman Prabowo terbaru ini menjadi sebuah peringatan bagi kekuasaan elit yang ada, jangan lagi kekuasaan dijadikan kepentingan pribadi an sich. Merampok semua kekayaan alam. Kekuasaan menurutnya harus diabdikan buat rakyat miskin. Dan Indonesia harus menjadi negara besar yang sesungguhnya.
Penutup
Auman Prabowo yang bak macan ganas telah menyentak kita beberapa hari terakhir ini. Prabowo telah menyelamatkan bangsa dari kemungkinan chaos pada gerakan mahasiswa dan buruh di berbagai kota kemarin lalu. Prabowo Subianto bahkan takut jika gerakan sebesar itu dimanfaatkan kekuatan asing yang tidak ingin stabilitas tercapai.
Dalam masa dua bulan kurang menjelang pemerintah Prabowo, sebaiknya Jokowi dan antek-anteknya sadar dan insyaf. Sebab, tidak boleh ada "dua matahari" lagi. Sudah saatnya Jokowi berkemas-kemas pindah ke Solo. Dan Prabowo Subianto harus disambut rakyat dengan gembira.
*Penulis adalah Founder Sabang Merauke Circle
© Copyright 2024, All Rights Reserved