JANGAN percaya sama selebriti dan aktor. Para pemain watak. Celebrity fake.
Seperti Rano Karno. Most celebrities punya dua pribadi. In public, yang ditampilkan adalah curated version. Mereka orang yang beda di balik glamor, kemewahan, dan facade of celebrity life.
Contohnya Old School Marilyn Monroe. Dia akting seperti ditzy blonde. Tapi aslinya she was hella smart dan termasuk literary buff. That's why dia tertarik dengan Arthur Miller.
Alice Cooper sebenarnya a soft-spoken Christian. Tapi dia menampilkan citra dan persepsi sebagai moody devil worshippers.
Manifestasi "celebrities fake" seperti Photoshop and image manipulation. Curated social media posts alias pencitraan yang dipoles.
Di kasus Rano Karno, dia pakai modus "exaggerated lifestyles and experiences". Ingin dilihat sebagai orang hebat yang baik hati. Padahal aslinya sombong banget, terutama terhadap strata rendah. Gosipnya dia gemar main judi di kasino luar negeri.
Selebriti berusaha keras mempertahankan polished image. Kunci sukses di situ. Mereka enggak pernah tampil autentik. Selalu palsu.
Influencer culture mengaburkan "authenticity" dan "fabrication". Membuat semua selebritas, tua dan muda, adopsi pendekatan "fake it till you make it".
Rano Karno dan semua selebriti mengidap psychological aspects of fame. Selalu tertekan mempertahankan curated image version-nya. Sehingga rentan kena penyakit psikologis seperti imposter syndrome, takut dinilai dan dikritik, dan self-identity yang enggak jelas.
Masyarakat adalah sumber kekayaan selebriti. Tapi mereka bertingkah they are doing us a favor setiap kali netizen mengomentari unggahan atau menyaksikan their live performance.
Semua itu terjadi karena mereka menciptakan persepsi they are on top of all of us. Ingat slogan "perception is king".
Mereka baru menyapa warga ketika ada maunya. Ingin jadi wagub atau anggota dewan. Karena bangkrut, buncit, tua dan jatuh miskin. Sudah enggak relevan di era digital.
*Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)
© Copyright 2024, All Rights Reserved