PEMILU 2024 hampir usai, tinggal waktu menunggu pengumuman resmi dari KPU. Kita akan segera mendapatkan wakil-wakil rakyat yang akan mewakili kedaulatan kita di parlemen dari tingkat kota, provinsi dan pusat. Juga kita akan segera mendapatkan pemimpin yang akan menjadi nakhoda bangsa Indonesia lima tahun kedepan.
Semoga yang kelak akan terpilih siapaun itu akan menjadi wakil rakyat dan pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan dan keadilan sosial di negeri ini, Aamiin.
Namun ada sedikit refleksi dari fenomena politik lima tahunan ini. Kebetulan saya sendiri menjadi saksi hidup di lapangan bagaimana cara politik bekerja.
Memang menjadi sebuah hal yang paradoks nantinya, yang mana kondisi masyarakat kita ini hampir mayoritas memang belum menjadi pemilih yang rasional. Namun mereka berharap wakil-wakilnya nanti membawa perubahan yang lebih baik ke depannya.
Sebagai contoh, hampir semua partai dan caleg-caleg itu melakukan pola pendekatan yang sama yaitu pola "transaksional". Saya beri hari ini, kamu pilih saya. Itulah realita yang terjadi. Sembako atau uang tunai masih menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mendapatkan suara rakyat.
Pertanyaannya, ini yang salah siapa? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, karena memang cukup kompleks.
Di satu sisi, kondisi masyarakat yang mayoritas saat ini dalam keadaan ekonomi yang tidak baik. Hal itu membuat mereka memiliki paradigma, siapapun calon-calon yang datang harus bisa memberikan manfaat ketika itu. Karena katanya kalau sudah menang akan lupa, daripada tidak dapat apa-apa sama sekali, lebih baik dapat sembako hari ini. Sehingga mayoritas rakyat ingin "oleh-oleh" saat kampanye, itulah yang saya temukan selama proses kampanye berlangsung.
Di sisi lain, para calon-calon dari berbagai Partai ini juga tidak memiliki alternatif lain untuk mendapatkan simpati warga. Sehingga bagi calon-calon yang punya kemampuan logistik yang cukup akan mengikuti "budaya" ini. Mereka akan datang kampanye kepada warga dengan membawa sembako, entah itu minyak goreng, beras dan lainnya atau uang tunai.
Tak berhenti di situ, warga yang telah mendapatkan sesuatu dari calon-calon ini tidak didatangi oleh hanya satu calon dari satu partai. Melainkan berbagai calon dari berbagai partai. Lantas ada celoteh semisal, "yang mana saja asal bagus pemberiannya".
Hal ini saya rasa sudah menjadi penyakit akut dan lingkaran setan dalam kondisi perpolitikan kita. Kita tak tahu harus menyudahi ini dengan cara apa dan mulai dari siapa. Rakyatnya atau politisinya?
Sebetulnya para politisi juga tahu, apa yang sudah mereka berikan tidak menjamin menjadi suara bagi mereka, karena seringkali yang datang paling ujung itulah yang diingat oleh warga kebanyakan.
Rakyat juga tidak bisa disalahkan, mungkin karena saking butuhnya, beras 1 kg, minyak 1 liter atau uang Rp25 ribu hingga Rp100 ribu sangat berarti untuk mereka, setidaknya pada hari itu.
Hal demikian membuat cost politik kita sangat besar. Tak jarang caleg level kota saja harus mengeluarkan miliaran rupiah dan belum tentu juga menang.
Memang sebetulnya KPU sudah mengatur tidak boleh ada pemberian apapun untuk warga, tetapi lagi-lagi ketidakpercayaan diri dari partai-partai dan politisi akibat kultur masyarakatnya juga yang ingin transaksional membuat kondisi ini semakin buram.
Setelah orang-orang ini terpilih, rakyat menuntut perubahan nasib, namun yang berubah nasib hanya anggota dewannya saja.
Hal ini jadi terkesan wajar, orang-orang yang terpilih karena sudah mengeluarkan biaya besar, akan sibuk mencari jalan minimal untuk balik modal. Tak jarang banyak yang jatuh kepada tindakan yang koruptif saat mereka memiliki wewenang.
Jadi telur atau ayam yang lebih dulu? Ini serupa dengan pertanyaan politisi atau rakyatnya yang harus berubah lebih dulu untuk menyudahi sisi gelap pesta demokrasi 5 tahunan ini.
Saya sebetulnya berpikiran bahwa, kalau semua calon-calon dan partai-partai itu mau konsisten semua, dan tidak mau curi-curi kesempatan dan percaya diri dengan etika politik, maka caleg-caleg seharusnya jangan lagi memberikan apapun sebagai iming-iming agar dipilih.
Cukup berikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dipilih atau tidak, percayakan pada takdir Tuhan, yang penting sudah melakukan politik yang bersih.
Rakyat itu seperti anak tantrum. terkadang banyak maunya. Namun apabila anak tantrum ini selalu diberi apa yang dia mau saat tantrum, kepribadiannya akan menjadi buruk. Itulah yang terjadi.
Rakyat juga harusnya mau sedikit bersabar. Ketika rakyat memilih calon-calon wakil mereka dengan pertimbangan yang rasional, maka diharapkan manfaat itu justru bukan tentang hari ini, tapi jangka panjang.
Ketika calon-calon yang benar terpilih hanya mengeluarkan cost politik dengan nominal yang wajar (seperti biaya, APK, makan, minum) maka mereka akan fokus untuk membenahi nasib rakyatnya dengan kapasitas wewenang yang mereka miliki.
Ini sebuah pelajaran yang harus bisa kita insyafi semua. Baik oleh politisi, partai politik dan rakyat itu sendiri.
Pemilu ke depan rakyat harus mau berubah dengan belajar, mulai mengenali calon-calon mereka dengan baik dan memilih sesuai rasionalitas dan hati mereka. Politisi harus berani untuk sepakat tidak menyogok rakyat, sekalipun rakyat mengharapkan sogokan itu.
Sekali lagi hal ini sangat kompleks dan paradoks, tidak ada yang bisa disalahkan. Namun saya yakin semua bisa berubah kalau rakyatnya, politisnya, partainya mau berubah.
Jangan adalagi istilah "ambil sembako/uangnya, jangan pilih orangnya", lebih baik "jangan ambil sembako/uangnya, jangan pilih orangnya"
Jika daerah tempat kita tinggal kedatangan sosialisasi atau kampanye, maka berikan kesempatan pada para caleg memperkenalkan dirinya, mensosialisasikan apa yang mereka akan perjuangkan nanti. Bagaimana target mereka dan lain-lain.
Dengan itu politik akan menjadi lebih bermutu, wakil rakyat akan fokus untuk memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak rakyat. Jika kita para pemilih masih terus menjadi pemilih yang transaksional, jangan kecewa atau kesal jika wakil rakyatnya nanti jadi pencuri uang rakyat. Karena sesungguhnya karena kita juga mental politisi yang seperti itu jadi tercipta.
*Penulis adalah Alumni Filsafat Universitas Indonesia, Forum Cendekia Muda Bandung
© Copyright 2024, All Rights Reserved