PELANTIKAN pimpinan BEM Universitas Muhammadiyah Jakarta merupakan momen penting untuk kita merefleksikan makna kemerdekaan yang ke-79 tahun. Apakah kita sesungguhnya sudah merdeka? Atau sebaliknya kita memasuki era kolonialisme baru?
Penting mengingat nasib bangsa ini secara historis acapkali terselamatkan oleh kesadaran mahasiswa yang bangkit dan tidak menunduk pada kekuasaan yang rakus dan pongah, baik di era kolonial maupun setelahnya, era rezim-rezim otoritarian yang rakus berkuasa.
Selain itu, BEM UMJ adalah rujukan dari seratusan lebih kampus-kampus yang bernaung di bawah bendera Muhammadiyah, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Jika kesadaran politik mahasiswa bersifat patriotik dan nasionalistik terhadap kemajuan bangsanya, maka kemerdekaan kita akan bermakna positif di masa depan.
Saat ini bangsa kita lagi sakit. Semua indikator terkait demokrasi, supremasi hukum dan budaya anti korupsi buruk dan semakin buruk. Indeks demokrasi yang dikeluarkan berbagai institusi internasional, seperti V Dem dan EIU (European Intelligence Unit), menunjukkan hal itu.
Kedua lembaga ini menggambarkan konsistensi penurunan demokrasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir ini. Sebelum adanya “politik dinasti”, EIU sudah menggambarkan Indonesia memasuki era “Demokrasi Cacat”. Demokrasi cacat masih menunjukkan adanya pemilu, meskipun indikator demokrasi lainnya menurun, seperti kebebasan sipil.
Namun, sejak Jokowi mulai cawe-cawe dengan memaksakan adanya “politik dinasti”, maka pemilu yang ada menjadi kehilangan prinsip-prinsip fundamental seperti jujur dan adil serta bebas dan rahasia.
Kita menyaksikan sendiri penggunaan aparatur negara, politik uang dan politik segala cara telah menjadi keniscayaan pada pemilu 2024. Instrumen negara yang merupakan buah reformasi 1998, yakni Mahkamah Konstitusi, juga tidak lepas dari politisasi dalam pilpres yang lalu.
Alhasil, ketika pemilu tidak berhasil kita selamatkan, maka sejatinya bangsa kita sudah kehilangan demokrasi secara total.
Terakhir, kesaksian kita saat ini tentang orkestrasi Pilkada, untuk memonopoli kekuasaan daerah ke depan, serta perebutan paksa partai politik, seperti Golkar, semakin membuktikan bahwa demokrasi sudah mati.
Kehilangan demokrasi di Indonesia berbarengan dengan hilangnya supremasi hukum. Mahfud MD, eks Menkopolhukam RI era Jokowi, misalnya, mengatakan keadilan saat ini diperjualbelikan.
Sejak terbongkarnya “kasus Sambo” beberapa tahun lalu, di mana negara terlihat dikendalikan secara barbar, satu persatu kelemahan sistem dan aparat hukum di Indonesia terbongkar. Bahkan, berbagai kasus yang menimpa Hakim Agung, pemutus tertinggi keadilan, di mana mereka ditangkapi karena korupsi, menunjukkan hukum kita sudah hancur.
Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, sudah berubah menjadi negara gerombolan dan barbar.
Terakhir kita melihat “adu kuat aparat” di kantor kejaksaan agung mirip seperti perang gangster mafia di Amerika Latin di masa dulu. Peristiwa ini menunjukkan “kekuatan kelompok” kekuasaan dapat melakukan aksinya tanpa tunduk pada aturan hukum yang berlaku.
Selanjutnya kita melihat pula budaya korupsi yang merajalela sampai ke lapisan rakyat bawah. Dalam pemilu 2024 lalu rakyat disuap bansos dan uang secara membabi-buta. Sehingga rakyat tidak lagi menyadari pentingnya arti kemerdekaan dirinya untuk menjadi manusia mulia.
Sebenarnya dalam hal pelayanan publik, berbagai birokrasi sebagiannya sudah semakin membaik. Namun, secara keseluruhan korupsi sudah merajalela, baik dalam berbagai kasus jual beli jabatan, urusan perizinan bisnis, dan koncoisme dalam penunjukan pimpinan badan usaha negara semakin memburuk.
Indeks persepsi korupsi di Indonesia mengalami skor terendah, 34, pada tahun lalu. Selain itu besarnya nilai korupsi sungguh tidak tanggung-tanggung, banyak yang bernilai triliunan rupiah.
Sebagai bandingan di era lalu, nilai perkara korupsi Edy Tansil era Suharto sebesar Rp1,2 triliun, nilai perkara korupsi Bank Bali era Habibie Rp400 miliar, nilai perkara korupsi Bulog era Gus Dur Rp35 miliar, nilai perkara korupsi “Skandal Indosat” era Mega sekitar Rp1,3 triliun, nilai perkara “Bank Century” era SBY sebesar Rp6,7 triliun, sebaliknya beberapa perkara di era Jokowi mencapai angka ratusan triliun.
Harapan di Era Prabowo
Demokrasi dan supremasi hukum yang hancur serta budaya korupsi merajalela warisan Jokowi cukup besar menjadi beban pemerintah Prabowo nantinya. Mungkin secara personal, Prabowo menginginkan adanya perubahan dalam tatanan pemerintahan, seperti menjadikan negara sebagai sarana bagi pembangunan demokrasi dan supremasi hukum.
Namun, tingkat kerusakan sistem demokrasi dan hukum kita sudah terlalu parah, sehingga dalam waktu dekat kelihatannya belum ada perubahan maupun perbaikan yang signifikan.
Bobroknya demokrasi saat ini terutama terjadi karena partai politik tidak menjadi instrumen substansial dalam pelaksanaan kaderisasi politik dan penempatan perwakilan politiknya di parlemen dan pemerintahan. Politik uang dan nepotisme telah menjadi sumber kekacauan di dalam parpol.
Dalam situasi ini peluang Prabowo jika ingin memperbaiki demokrasi terletak pada dimensi-dimensi demokrasi di luar parpol dan perannya. Misalnya, Prabowo bisa memulai dengan mendorong "civil society", seperti gerakan mahasiswa mengambil porsi pengimbang kekuasaannya.
Hal tersebut dahulu dilakukan Suharto dengan mengecilkan peran partai dan mendorong mahasiswa membangun kekuatan politik. Begitu juga NGO, dapat diperankan mengontrol jalannya pembangunan ekonomi dan sosial.
Prabowo juga dapat mendorong kampus-kampus sebagai kekuatan sipil untuk mempropagandakan anti korupsi. Korupsi yang merajalela saat ini, sekitar 50 persen dari anggaran, merujuk informasi KPK, dapat dibabat pemerintah nanti menjadi 5 persen, batas toleransinya. Sehingga peranan kultural dan struktural dapat paralel menjadikan Indonesia ke arah pemerintahan bersih.
Namun, memberikan harapan pada pemerintah secara membabi buta adalah pekerjaan tolol. Sebaliknya, mahasiswa sebagai Avant Garde perubahan harus memulai upaya tersebut secara aktif.
Mahasiswa harus mencetak kader-kader yang sadar politik untuk mengontrol jalannya pembangunan ke depan. Tanpa gerakan ini maka sulit diharapkan adanya Indonesia yang baik ke depan.
Penutup
Mahasiswa harus menjadi petarung tangguh dalam menghadapi situasi sulit bangsa ini. Segala hal terburuk kita alami di saat kemerdekaan kita ke-79. Kita mirip bangsa terjajah. Namun, di sinilah biasanya peranan mahasiswa meneruskan sejarah perjuangannya, yakni sebagai agen perubahan.
Saya berharap BEM UMJ jadi kekuatan perubahan yang patriotik menegakkan demokrasi, supremasi hukum dan membangun budaya anti korupsi di Indonesia.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
© Copyright 2024, All Rights Reserved