Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 58 Tahun 2015, sebenarnya memberikan angin segar bagi para industri pengolahan daging lokal kecil dan menengah yang selama ini membeli daging dengan harga mahal. Permentan tersebut berisi tentang impor karkas dan daging sapi serta olahannya ke dalam wilayah Indonesia. Para pelaku pengolahan daging mendukung rencana pemerintah untuk membuka kembali impor daging potong sekunder.
"Kami hanya ingin melurus pemberitaan yang selama ini beredar, kalau penerbitan Permentan tersebut akan berdampak negatif terhadap peternak sapi lokal, khususnya dengan dimasukan daging variasi itu adalah salah besar. Justru upaya impor karkas yang diatur dalam Permentan itu mendapat penambahan jumlah jenis daging variasi dari yang sebelumnya, berupa lidah dan buntut. Sementara sekarang, ada penambahan pada kepala, jeroan, dan beberapa jenis yang lain," kata Ishana Mahisa, Ketua Umum National Meat Processor Association (Nampa) kepada politikindonesia.com di Jakarta, Kamis (24/12).
Menurutnya, kebijakan tersebut adalah upaya dari deregulasi terhadap Permentan Nomor 139 Tahun 2014 yang sebenarnya memiliki nilai positif dan strategis bagi para pengusaha lokal. Karena dalam kebijakan tersebut sudah ditetapkan kewajiban penyerap daging sapi lokal, termasuk daging variasinya bagi para importir. Sehingga peternak lokal akan terlindungi dan hasil produksi dagingnya juga bisa terserap.
"Selama ini para industri kecil dan menengah memberi daging variasi dari hasil pemotongan sapi impor khusus di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebanyak 97 persen berasal dari Australia. Padahal upaya impor daging variasi ini sudah lama dilakukan oleh pemerintah. Jadi impor variasi ini bukanlah hal yang baru," tutur dia.
Dijelaskan, akibat dari penyetopan impor yang dilakukan pemerintah sejak Desember 2014 para pengusaha langsung menutup fasilitas pengolahan daging jenis ini. Karena pasokan di dalam negeri tidak mencukupi untuk sektor industri. Memang ketersediam daging potongan sekunder sangat terbatas. Sehingga industri pengolahan daging harus bersaing mendapatkan barang dengan konsumen rumah tangga. Selain harga yang lebih mahal dari impor, kualitas daging potongan sekunder lokal tidak sesuai spesifikasi industri.
"Selain itu, akibat penyetopan tersebut, para pengusaha juga kehilangan omzet hingga Rp300 miliar. Karena industri jasa seperti restoran, hotel dan sejenisnya kesulitan mendapatkan pasokan. Maka, pemerintah harus bisa memetakan jumlah pasokan dan permintaan daging nasional.
Dari nilai omzet industri pengolahan daging sebesar Rp7 triliun per tahun, porsi penggunaan daging potongan sekunder sebesar 30 persen dari industri food service yang memiliki pangsa 15 persen dari seluruh omzet," paparnya.
Ditambahkan, dengan terpenuhiinya kebutuhan pelangan pada segmen hotel, restoran dan catering serta industri olahan, dipastikan sektor pariwisata dam kuliner akan berkembang pesat pada tahun 2016. Selain itu juga produk pangan olahan Indonesia siap bersaing menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
"Untuk itu, para pengusaha lokal harus mampu meningkatkan kualitas pangan olahan kita sehingga mampu bersaing dengan produk pangan olahan dari negara lain. sehingga dapat memberikan nilai lebih pada produk pangan olahan kita. Walaupun ketersediaan dan kualitas pangan olahan khususnya yang berkaitan dengan daging sapi tengah mengalami masa sulit. Namun, sejumlah produk olahan daging tak perlu lagi dicampur dengan tepung," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved