PERTEMUAN Presiden Jokowi dan Ketum Nasdem, Surya Paloh, memunculkan spekulasi. Terlebih Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, dan fungsionaris PKS mengkonfirmasi bahwa manuver Paloh itu tanpa sepengetahuan partai-partai Koalisi Perubahan untuk Persatuan lainnya.
Karena itu, wajar kalau saat ini santer gonjang-ganjing di internal Koalisi Perubahan yang mulai gusar, karena khawatir dikhianati. Mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di internal PKS dan PKB tentang komitmen spirit perubahan dalam diri Paloh dan Nasdem.
Selain itu, manuver Paloh itu seolah membenarkan pernyataan Capres Nomor Urut 1, Anies Baswedan, pada debat Capres pertama, yang menyatakan bahwa banyak pemimpin politik tidak tahan menjadi oposisi, karena membuat mereka tidak bisa berbisnis.
Manuver Paloh tampaknya memanfaatkan momentum pasca statemen Capres terpilih, Prabowo Subianto, yang menyatakan siap merangkul semua pihak, kubu 01 dan 03, untuk memperkuat pemerintahannya.
Terlebih, realitas Pilpres 2024 tidak menghadirkan coattail effect sama sekali, dimana partai Capres harus berpuas diri di peringkat ketiga dengan elektabilitas 13 persen. Konsekuensinya, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik (political dependency) sangat tinggi untuk menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal kekuasaan, yang seringkali penuh turbulensi.
Untuk mengamankan itu, Prabowo setidaknya harus bisa mengumpulkan sekitar 70% kekuatan politik di parlemen.
Kesempatan itu seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah dan mediocre untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang. Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Mereka tampaknya juga tidak siap menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya, ketika harus berpuasa dari kekuasaan.
Problemnya, keputusan untuk bergabung dengan kekuasaan merupakan ujian riil terhadap konsistensi atau keistiqomahan partai-partai politik itu terhadap gerakan perubahan dan narasi kritis yang mereka usung selama kampanye jelang Pemilu 2024 lalu. Dimana, baik kubu 01 maupun 03 sangat intens menyerang kubu 02 dan pemerintahan Jokowi sebagai kekuasaan yang merendahkan etika dan konstitusi, tidak memegang moralitas berdemokrasi, hingga dituding mirip dengan karakter kekuasaan otokratik.
Artinya, jika akhirnya mereka memilih bergabung dengan kekuasaan, maka mereka sejatinya tengah menjilat ludah sendiri, dan menipu rakyat yang memilih partainya, setelah terbuai janji-janji perubahan dan narasi kritis kontra-pemerintah yang mereka munculkan.
Rakyat bisa menuding, narasi kritis dan narasi perubahan yang selama ini mereka kampanyekan ternyata hanya gimmick murahan. Sehingga wajar jika rakyat akan bertanya, siapa yang sesungguhnya tidak beretika?
Pertemuan Paloh dengan Jokowi juga memunculkan pertanyaan lanjutan, jika Nasdem hendak masuk ke pemerintahan yang semula dituding tidak demokratis dan tidak beretika itu, lalu mengapa deal politiknya dilakukan dengan Jokowi? Sementara dalam sistem presidensial, kekuasaan tertinggi seharusnya berada di tangan Prabowo sebagai Capres terpilih selanjutnya.
Apakah hal itu menegaskan bahwa Prabowo hanya “petugas Jokowi”? Prabowo atau Jokowi yang memiliki hak veto politik dalam menentukan komposisi dan jatah menteri dalam pemerintahan selanjutnya? Ataukah itu semua tanda-tanda lahirnya akar kontestasi baru bagi hadirnya “matahari kembar” di internal Koalisi Indonesia Maju, yang masing-masing pihak merasa memiliki “saham politik” lebih tinggi dibanding lainnya?
Bisa kita uji dan cermati melalui dinamika pasca 20 Oktober 2024.
Menurut informasi spekulatif, Nasdem dikabarkan positif masuk ke pemerintahan, setelah mengeruk ceruk massa pro-perubahan yang menentang pemerintahan. Lalu, lingkaran istana dan Prabowo sendiri juga sedang mengusahakan pendekatan untuk meyakinkan PDIP bersedia ikut membackup pemerintahan Prabowo ke depan, sebagaimana PDIP dulu mempersilahkan Prabowo masuk ke kekuasaan, setelah kalah dari Jokowi di Pilpres 2019.
Sementara itu, PPP jelas tidak kuat bertahan dari luar kekuasaan, dan akan terus mencari jalan untuk bergabung. Sedang jika PKS dan PKB bergabung, tampaknya agak problematik di fase awal. Sebab PKS tergolong paling kuat menyerang pemerintahan Jokowi, sedangkan PKB sendiri intens menggunakan “slepet”-nya untuk menghantam kredibilitas pemerintahan dan Jokowi secara personal.
Namun, semua itu bergantung pada basis kebutuhan penciptaan stabilitas politik dan pemerintahan di fase awal transisi kekuasaan Prabowo ke depan.
*Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina, Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic)
© Copyright 2024, All Rights Reserved