Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang diajukan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto terkait Pasal 46 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan MK ini menguatkan bahwa pemanggilan anggota DPR oleh KPK tidak perlu melalui izin Presiden.
Uji materi ini diajukan oleh mantan pengacaranya, Fredrich Yunadi pada November 2017. Ia menggugat pasal 46 UU KPK yang dijadikan dasar panggilan pemeriksaan Novanto dalam kasus korupsi e-KTP. Aturan itu dianggap bertentangan dengan pasal 20 A ayat 3 UUD 1945 dan pasal 80 F UU MD3 tentang hak imunitas anggota dewan.
“Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (21/02).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemohon tak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
MK menilai menilai permohonan Setya Novanto tidak beralasan. Merujuk pada ketentuan pasal 245 UU MD3 telah menyebutkan secara jelas bahwa pemanggilan terhadap anggota dewan tak perlu izin dari Presiden jika yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana, diancam pidana mati atau seumur hidup atau melakukan tindak pidana yang mengancam keamanan bangsa dan negara, serta disangka melakukan tindak pidana khusus.
“Oleh karena itu sudah sangat jelas izin presiden untuk memanggil anggota DPR tidak berlaku jika melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU MD3," ujar hakim konstitusi Saldi Isra.
Sesuai fakta persidangan, pemanggilan Novanto oleh KPK terkait perkara penyidikan korupsi e-KTP termasuk dalam tindak pidana khusus.
“Hal tersebut masuk dalam ruang lingkup tindak pidana khusus sebagaimana diatur dalam pasal 245 ayat 3 huruf c UU MD3 sehingga tidak ada masalah konstitusional," tuturnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved