Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, penetapan astatus tersangka oleh penegak hukum bisa masuk objek perkara praperadilan. MK mengubah dan memperluas ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang obyek praperadilan. Sehingga penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, menjadi obyek praperadilan.
Putusan itu dikeluarkan MK atas permohonan uji materi yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron, Bachtiar Abdul Fatah. “Mengabulkan permohonan untuk sebagian," ucap Ketua MK, Arief Hidayat, membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/04).
MK menyatakan, pasal yang dipersoalkan oleh Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP adalah inkonstitusional terhadap Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena telah mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.
Alasannya, bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan.
“Namun pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas," sebut MK dalam pertimbangannya.
Tidak hanya itu, dalam putusannya MK pun menambahkan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan frasa “minimal 2 alat bukti” dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap penetapan tersangka haruslah melalui 2 alat bukti yang cukup. Hal ini untuk menghormati HAM. Jika tidak ada 2 alat bukti, maka penyidik bisa digugat ke praperadilan.
Meski demikian, permohonan ini tidak diputus MK secara bulat. Meski begitu ada second opinion dalam pengambilan putusan ini. Hakim I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim dan Aswanto, berpendapat bahwa dalam Pasal 77 tentang penetapan tersangka, tetap bukan menjadi bagian dari obyek praperadilan.
“Jikalau dalam kasus konkrit penyidik ternyata menyalahgunakan kewenangannya, yakni misalnya secara subjektif menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa mengumpulkan bukti, maka hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebab hal semacam itu merupakan penerapan hukum. Penilaian atas penerapan hukum adalah kewenangan institusi lain, bukan kewenangan Mahkamah Konsitusi," pendapat hakim konstitusi Alim menentang putusan MK itu.
Untuk diketahui, meski bukan terkait Kasus Komjen Budi Gunawan, namun kasus ini mengingatkan banyak pihak atas putusan Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi yang kala itu meluaskan Pasal dalam KUHAP mengenai “Penetapan Tersangka” sebagai objek praperadilan, serta menggugurkan status tersangka yang ditetapkan KPK terhadap calon Kapolri saat itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved