BULAN suci Ramadan berakhir, di Hari Raya Idulfitri umat muslim di seluruh dunia tidak hanya melakukan Salat Id melainkan juga menjalankan tradisi saling memaafkan. Tradisi tersebut tentu memiliki kedalaman makna yang mencerminkan prinsip-prinsip keagamaan serta nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.
Lalu apa makna memaafkan di tengah perayaan idulfitri? Di sini seorang filsuf Jerman abad ke-20, Martin Heidegger, dapat menggugah pikiran, membawa kita pada perjalanan batin yang mendalam dalam memahami tradisi tersebut.
Konsep utama dalam filsafat Martin Heidegger adalah "Dasein", yang merupakan kata Jerman untuk "keberadaan". Nah, bagi Heidegger, manusia merupakan "Dasein" yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "ada-di-sana"
Artinya keberadaan manusia bukanlah sekadar fakta fisik. Sebab sebagai "Dasein", manusia memiliki kemampuan untuk menyadari keberadaannya dan bertanya tentang makna keberadaan mereka sendiri. Oleh karena itu, manusia selalu mengatasi keberadaannya.
Namun "Dasein", menurut Heidegger, terjebak dalam kondisi "faktisitas", ia terikat oleh keterbatasan dan kondisi dunia yang ada. Dalam konteks ini, manusia, cenderung hidup secara otomatis, mengikuti rutinitas dan kebiasaan tanpa menyadari implikasi lebih dalam dari keberadaannya.
Manusia juga cenderung terikat pada masa lalu, baik dalam bentuk kesalahan yang telah dilakukan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu seringkali manusia terikat oleh emosi negatif seperti dendam atau sakit hati yang menghalangi pertumbuhan pribadi dan pembangunan hubungan yang sehat.
Oleh karena itu, Heidegger menekankan bahwa penting bagi manusia untuk melepaskan diri dari keterbatasan faktisitas ini dan mencapai apa yang disebutnya sebagai "authentic existence" atau keberadaan autentik. Di sini, memaafkan membuat kita mampu melampaui batasan itu dan meraih kebebasan untuk menjadi diri sendiri.
Pertama, ketika seseorang memaafkan, ia mengakui emosi negatif yang mungkin dialaminya. Ini melibatkan kesadaran diri yang mendalam tentang kondisi emosional dan pikiran seseorang, serta keputusan sadar untuk melampaui kondisi faktisitas yang membatasi.
Kedua, memaafkan memungkinkan seseorang untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu dan melanjutkan kehidupan dengan pikiran yang lebih jernih dan hati yang lebih ringan. Ini membuka jalan untuk pertumbuhan pribadi dan transformasi.
Ketiga, ketidakmaafan dan dendam dapat menciptakan jarak antara individu, sementara memaafkan dapat membuka pintu untuk rekonsiliasi dan kedekatan yang lebih dalam. Dengan kata lain, memaafkan dapat membantu menciptakan hubungan yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih harmonis.
Ketiga hal di atas menunjukan bahwa memaafkan dapat membantu kita untuk melampaui kondisi faktisitas dan menciptakan keberadaan yang lebih autentik, menemukan kedamaian batin dan mencapai pertumbuhan pribadi. Ini adalah langkah penting dalam perjalanan spiritual dan filosofis untuk mencapai pemahaman diri yang lebih dalam dan kebebasan otonom dari keterbatasan dunia yang ada.
Dengan demikian, merayakan Idulfitri bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi juga tentang perjalanan filosofis untuk memahami dan merangkul keberadaan manusia dengan segala kompleksitasnya. Dalam momen ini, kita diingatkan akan pentingnya memaafkan sebagai langkah awal menuju pemahaman diri yang lebih autentik dan kebebasan yang lebih sejati.
*Penulis adalah Ketua Forum Generasi Muda Purwakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved