Presiden Soeharto lengser dari kursi kepresidenannya karena ditinggalkan para orang dekatnya.Namun yang terjadi pada Habibie dan Abdurrahman Wahid justru sebaliknya.Keduanya meninggalkan kongsi politik akibat rasa ambisius untukmempertahankan jabatan.Akan demikian jugakah yang terjadi pada Megawati Soekarnoputri? Momentum politik untuk mengulang sejarah, kini memang ada dihadapan sang presiden.
Dalam suasana hiruk pikuk yang mencekam akibat kerusuhan dan tindakan anarkisme yang dilakukan berbagai kelompok kepentingan, Soeharto mengantarkan Habibie untuk menduduki kursi yang ditinggalkannya.
Maka jadilah B.J Habibie sebagai Presiden RI yang Ke-3.Berkat dukungan TNI dan Polri dan Partai Golkar, Habibie menghantarkan sebuah pesta demokrasi “Pemilu” 1999 yang dikatakan jujur dan adil, bila dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya di era Orde Baru.
Pemilu 1999 melahirkan sebuah parlemen yang sangat beragam.PDIP, Golkar,PPP,PKB,PAN,PBB secara berurutan menguasai struktur suara di parlemen.Tak ada suara mayoritas dalam parlemen.
Ringkas kata, dengan komposisi parlemen yang demikian, Habibie yang bertekad ingin mempertahankan kursi Kepresidenannya mulai berpaling terhadap dua pilar pendukung utamanya—Golkar dan TNI/Polri.
Apa yang terjadi kemudian? Habibie tumbang oleh kekuatan koalisi mayoritas di parlemen.Laporan pertanggungjawabannya dibabat habis,salah satunya oleh Golkar---diluar kelompok Iramasuka.
Pendulum politik dengan cepat berubah.Koalisi Poros Tengah yang dimotori Amien Rais dan Hamzah Haz bermain sangat cantik dan elegan,tentu juga dibantu secara all-out oleh Golkar melakukan koalisi taktis guna menghentikan langkah PDIP yang ingin menduduki kursi yang ditinggalakn oleh Habibie.
Tanpa menghiraukan kekurangan seorang Abdurrahman Wahid, kelompok ini melibas Megawati Soekarnoputri.Maka jadilah Gus Dur sebagai Presiden RI Ke-4.Megawati hanya menjadi Wakil Presiden.
Sama dengan Habibie, Gus Dur pun bertekad untuk mempertahankan kursi kepresidenannya.Secara all-out pula Gus Dur menyingkirkan kongsi-kongsi yang menyokongnya untuk duduk di kursi kepresidenan.Poros Tengah,Golkar,PDIP,termasuk TNI/Polri dibabatnya dari kursi-kursi kepemerintahan.
Benih permusuhan mulai beranak pinak.Rasa jengkel kongsi-kongsi yang ditinggalakan oleh Gus Dur jadi mengkristal.PDIP dengan pandai memainkan pendulum politik.Melalui koalisi pelangi (PDIP,Poros Tengah,Golkar dan TNI/Polri), Gus Dur dengan telak diturunkan dari kursi kepresidenan.Maka Jadilah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI Ke-5 dan Hamzah Haz Si :Pici Miring” menjadi Wakil Megawati Soekarnoputri.
Belum genap satu tahun Megawati menjalankan roda pemerintahannya, kini ada tiga masalah besar dalam blantika politik Indonesia yang tentu saja akan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan (politik) nasional.Pertama, terjadi perseteruan internal ditubuh Golkar.Kedua, terjadi perseteruan internal di kubu PPP.Ketiga, terjadi perseteruan di tubuh PKB.
Pada perspektif konflik di tiga partai ini, kata kunci politik yang bisa meredam agar perseteruan tidak menjadi meluas adalah bersumber dari seorang Megawati Soekarnoputri.Kenapa? Sebagai Presiden dan Ketua partai, tentu saja Megawati dapat melakukan sesuatu secara maksimal untuk mengamankan kursi politik Hamzah Haz,Akbar Tanjung, dan Matori Abdul Djalil yang digoyang lawan politiknya di partai.Apalagi Hamzah Haz juga duduk sebagai Wakil Presiden,Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR RI, dan Matori masuk dalam barisan kabinetnya sebagai Menteri Pertahanan.
Secara politik, Megawati sangat berkepentingan terhadap ketiga partai ini yang terbukti menjadi penyokong utamanya untuk duduk di kursi kepresidenan. Bila partai-partai ini goyah, tentu rasa “aman” Megawati juga akan terimbas goyah.Utamanya di dalam parlemen.Sebab, ada “musuh” besar PDIP yang kini sedang merapatkan barisan di DPR, yakni sebagian anggota PKB.
Bagaimana Megawati menyikapi ketiga konflik ini?Banyak pilihan strategis yang bisa dilakukan.Namun, apapun langkah politik yang akan dimainkan oleh Ketua Umum PDIP ini, yang paling penting diingat adalah sejarah tumbangnya presiden RI Ke-3,Ke-4 akibat meninggalkan kongsi politiknya.
Khusus di Fraksi TNI/Polri, Megawati harus memperlakukannya dengan bijak dan jernih.Ada banyak momen yang bisa membuat TNI/Polri menjadi kongsi atau lawan.Pertama, langkah penggantian Kapolri.Kedua,langkah penggantian tiga Kepala Staf Angkatan.Ketiga, langkah penggantian Panglima TNI.Dan yang tak kalah penting selain ketiga hal diatas, adalah pengesahan UU Kepolisian dan UU Pertahanan Negara.
Dari kesemua moment politik diatas, bila Megawati tak pandai memainkan posisinya—utamanya membuat lebih banyak orang yang kecewa,maka “keamanan” atas kelangsungan pemerintahannya sungguh diragukan bisa berakhir di tahun 2004.Sebab, periode 2002 s/d 2003, para Ketua Partai yang akan mengikuti Pemilu mendatang juga tentu sudah menyusunkan grand strategy politik untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dalam pesta demokrasi tersebut.
Dengan demikian, langkah yang diperlukan Megawati dan PDIP adalah menciptakan kepentingan secara bersama.Bila ini yang dilakukan,maka rasa “aman” pemerintahannya hingga 2004 akan terjaga.Soal Pesta Demokrasi 2004 bisa dihadapi dengan konsep yang matang dan terencana karena waktu masih ada.
Bisa diduga, para partai politik pada Pemilu 2004, salah satu tema utama yang akan dijual adalah kegagalan dan kebobrokan yang dilakukan Megawati Soekarnoputri selama menjadi Presiden.
Artinya,pada kontek konflik yang terjadi di tiga partai saat ini,Megawati Soekarnoputri dan PDIPnya harus bermain secara cantik.Bermain atau tidak, tetap saja para politisi akan mengatakan bahwa PDIP turut bermain dalam konflik di dalam tubuh ketiga partai ini.Dan mereka tetap akan menuding,bahwa PDIP punya kepentingan untuk melemahkan partai saingannya. Naluri politik akan tetap mengatakannya demikian.
Akan seperti apa irama gendang itu dimainkan? Tentu tak akan luput dari perhatian para politisi partai.Kita lihat saja.(PI) Nita Nawangwulan
© Copyright 2024, All Rights Reserved