Manakala Orde Baru memulai kinerjanya, sebuah langkah penting dan strategis untuk menopang keberhasilan konsep Orde Baru adalah dengan menjadikan satu konsep pertahanan dan keamanan.Melalui pintu Dwi Fungsi ABRI, TNI dan Polri bersinergi didalamnya. Kini, ditengah tersendatnya pengesahan RUU Kepolisian, secara makro alas an yang digunakan untuk itu dapat ditarik menjadi dua kurub; Pertama, kutub yang menyetujui konsep RUU secara utuh dan kedua, kutub yang mengharuskan RUU Kepolisian di revisi secara sungguh-sungguh.Ada pemikiran apa dibalik penundaan ini?
Bagi pihak yang menyetujui materi RUU Kepolisian, alasan yang dikedepankan adalah materi yang termuat didalam rancangan tersebut, sebenarnya sudah melalui pengkajian berbagai aspek serta melakukan studi banding di berbagai mancanegara.Dan inti dari semua hal tersebut, maka lahirlah konsep RUU yang kini dibahas di DPR RI.Jadi tidak ada alasan untuk menunda-nunda pengesahan RUU tersebut menjadi sebuah UU Kepolisian, bila bangsa ini akan mengenyam kehidupan berdemokrasi.Sebab inti dari demokrasi itu adalah penegakkan hukum di masyarakat dan itu menjadi tugas Kepolisian.
Namun, bagi kutub yang kurang setuju terhadap materi RUU, alasan yang diungkapkan juga cukup relevan dan memiliki dasar yang kukuh.Kutub ini berpikir, bahwa bila RUU ini disetujui oleh DPR RI tanpa dilakukan revisi-revisi, maka sangat dikhawatirkan lembaga Kepolisian akan menjadi lembaga “super power”.
Sayangnya, pertemuan dari kedua kutub ini justru melahirkan wacana yang membenturkan antara fungsi TNI dan Kepolisian.Padahal antara TNI dan Polri memang merupakan dua hal yang berbeda.Mengapa harus dibenturkan?Disinilah permainan politik mulai masuk didalamnya.Praktisnya, tarik menarik kepentingan politik merupakan alas an yang hakiki dalam konteks penundaan RUU Kepolisian.
Wacana politik yang dibangun dalam penundaan RUU ini, sebenarnya hanya berintikan pada dua hal:Satu,peran sebagai penyelidik dan penyidik yang luas.Kedua, status kepegawaian anggota Polri.
Nah, dari wacana yang terbangun tersebut, bila kita renungkan secara jernih dan kritis, memang ada benarnya.Banyak faktor sejarah yang bisa dijadikan oleh kedua kutub tersebut sebagai alasan-alasan pembenaran.Yang pasti, diseluruh dunia, konsep tentang lembaga kepolisian memang cukup beragam.Tergantung dari kebutuhan bangsa itu sendiri.Dan menempatkan lembaga kepolisian dalam bingkai demokrasi yang kokoh dan baik.
Yang pasti, tertundanya pengesahan RUU Kepolisian cukup banyak melahirkan manfaat yang positif.Salah satu titik rawan yang perlu dicermati dalam RUU Kepolisian adalah menyangkut mandat publik yang diletakan dipundak institusi kepolisian.Pada materi RUU, fungsi penjaga stabilitas dan ketertiban dalam negeri sangat menonjol dibanding dengan pungsi penegak hukum.
Disisi lain,pemberian kewenangan yang luas untuk menyidik semua kasus pidana dibidang ekonomi, politik dan HAM memang sangat riskan.Apalagi tanpa diimbangi dengan kontrol publik yang memadai. Karenanya, dengan posisi struktural Polri yang berada di bawah Presiden, terdapat kehawatiran bila institusi Polri akan hadir sebagai sebuah lembaga yang sangat berpotensi untuk mengabdi kepada kepentingan politik, baik di luar maupun untuk dirinya sendiri.
Dalam konteks reformasi, penggiringan institusi Polri menjadi agent of political stabilisation tidaklah tepat dan dapat berbahaya sebagai mana kita alami dimasa orde baru dimana TNI bersama Polri lebih hadir sebagai alat penguasa untuk memelihara ketertiban yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan segelintir elite penguasa.Sepantasnya, institusi Polri harus diarahkan menjadi bagian dari proses demokratisasi lewat pungsi pokoknya sebagai penegak hukum dalam rangka mengayomi masyarakat.
Disetiap negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi, keberadaan institusi polisi terfokus pada mandat publik yang sebenarnya sangat sederhana, yakni pemberantasan tindak kejahatan dan pemeliharaan ketertiban.Polisi merupakan organ milik dan bagian masyarakat untuk memberantas public enemy yang memang berpotensi mengancam keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan masyarakat.
Dari sinilah sepantasnya dipahami bahwa institusi polisi, pada hakekatnya adalah manefestasi dari civil society yang terlembaga untuk menjaga tegaknya ketertiban berdasar order based on and by law, perisai bagi masyarakat untuk melindungi hak, kepentingan, dan bahkan civil liberty.
Jadi, institusi dan aparat kepolisian wajib untuk tunduk dan terikat hanya pada hukum.Bukan mengabdi pada keinginan individual dari pimpinannya ataupun kepentingan politik dari sebuah partai yang berkuasa.Jangan sampai lahir sebuah state police.
Nah, yang kedua adalah soal status kepegawaian aparat kepolisian. Bila saja dalam konsep RUU Kepolisian yang diajukan pemerintah ke DPR ini dibuat dengan penuh pengkajian dan pemikiran yang jernih, tanpa ada unsur balas dendam atau yang lainnya.Maka sudah sepantasnya RUU ini tidak menemui hambatan atau bahkan menimbulkan efek benturan antara TNI dan Polri dalam soal kewenangan.Bila saja secara jelas disebutkan bahwa polisi masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka dimungkinan ada titik jernih yang bisa dirajut dari sisi ini.Sebab, kesamaan derajat diantara pelaksana sistem hukum di Indonesia akan cepat didapat.Hakim,Jaksa,Polisi, Bea Cukai, Imigrasi,sama-sama menjadi PNS.Sehingga wacana yang dibangun bukan lagi soal retorika “dibawah” atau “bertanggungjawab” kepada presiden.
Juga bukan lagi pada soal fungsi keamaman dan ketertiban.Sebab, dari sisi status ini, Polri secara tegas dibedakan dengan TNI.Sehingga anggota Polri sebagai aparat sipil tidak perlu mempunyai status kepegawaian tersendiri dengan menyebut dirinya pegawai negeri Polri. Melalui status PNS, maka polisi akan cepat beradaptasi di lingkungan institusi sipil setelah lepas dari pengaruh militer.Dengan demikian,pemerintah tidak perlu repot-repot membuat UU yang khusus mengatur institusi Polri karena pengaturan pelaksanaannya akan menyita waktu dan biaya yang tidak sebentar.
Jadi, kedepan, DPR dan Pemerintah hanya perlu membuat UU Pokok Kepolisian Negara saja yang mengatur tugas, wewenang dan kedudukan Polri setelah lepas dari ABRI. Sedangkan mengenai peraturan pelaksanaan menyangkut kepegawaian dan kedudukan hukumnya tetap mengacu pada peraturan PNS yang sudah ada.
Disamping itu, perlu juga dipahami, salah satu semangat yang terkristal di era reformasi ini adalah pemisahan kewenangan dan kekuasaan.Bila dalam RUU Kepolisian yang baru memberikan kewenangan peyelidikan dan penyidikan yang sangat luas terhadap institusi Polri mencakup semua jenis tindak pidana (umum dan khusus), itu kan sama saja memberikan kekuasaan hukum yang berlebihan pada satu institusi. Dan ini berpeluang menimbulkan dampak negatif dalam pelaksanaannya. Ambisi untuk menjadikan Polri sebagai penyidik tunggal rasanya kurang tepat dilakukan.
Dalam konteks KUHP yang berlaku saat ini dikenal dua jenis penyidik yaitu penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik Polri. Dengan berubahnya status Polri menjadi sipil maka perlu juga perubahan jenis penyidik, menjadi Penyidik Sipil yang terdiri dari para penyidik unsur Polri, Agen, Jaksa, Bea Cukai, Imigrasi, dll untuk lingkup peradilan umum. Serta Penyidik Militer terdiri dari kelompok penyidik dari unsur TNI AL,AD dan AU untuk lingkup Peradilan Militer.
Disamping kedua hal tersebut, masih ada titik rawan lainnya didalam RUU kepolisian, yakni soal lemahnya pengawasan eksternal terhadap kepolisian. Bila Polri mempunyai wewenang yang luas didalam menangani masalah pidana tanpa diimbangi kontrol publik yang memadai maka dikhawatirkan kewenangan itu akan berpotensi untuk korup. Apalagi seperti yang terjadi selama ini, kewenangan tersebut sering kali dilakukan di atas prinsip yang tidak transparan.
Di berbagai negara demokrasi, sebuah komite eksternal yang mengarahkan dan menjadi tempat pengembangan akuntabilitas publik dari Polri sudah menjadi satu prasyarat, guna menciptakan institusi kepolisian menjadi institusi yang profesional dan mengabdi bagi kepentingan publik.
Nah, berkaca dari semua itu, sudah sepantasnya pihak pemerintah dan DPR mengkaji ulang RUU Kepolisian.Janganlah kita bermain-main lagi tentang sebuah kehendak kelompok kepentingan.Sebagian besar rakyat saat ini sudah cukup susah untuk bertahan hidup.Pelanggaran hokum terjadi dimana-mana.Rasa ketentraman rakyat setiap hari kian terganggu.Maka ciptakanlah polisi yang baik dan kukuh.(Nita Nawangwulan)
© Copyright 2024, All Rights Reserved