Soal pendekatan hukum dalam kasus laporan fitnah dan pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata atas pemberitaan majalah Tempo di Polda Metro Jaya, terkesan simpang siur dan membingungkan masyarakat. Khususnya masyarakat yang tidak mengerti hukum, sehingga bisa tersesatkan.
Satu pihak, mengatakan soal pemberitaan itu harus diselesaikan dengan pendekatan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dipihak lain kepolisian melakukan penyidikan dengan berlandaskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Seperti diketahui, dalam perkembangannya, atas laporan pengusaha Tomy Winata, pihak kepolisian menjadikan Bambang Harymurti dan Ahmad Taufik—keduanya wartawan majalah Tempo menjadi tersangka.
Ada apa? Seperti yang diungkapkan pengacara majalah Tempo, Todung Mulya Lubis dihadapan Komisi I DPR RI dalam hukum ada asas {Lex Spesialis derogat Lex Generalis}dimana apabila ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Sehingga, menurut Todung persoalan pemberitaan majalah Tempo harus diselesaikan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sayangnya, ada sepotong sambungan kalimat yang terlupakan (?). Penerapan asas {Lex Spesialis derogat Lex Generalis} tersebut hanya diberlakukan [apabila mengatur mengenai hal yang sama]. Apabila hal yang diatur [tidak sama], maka masing-masing aturan mengatur ruang lingkupnya masing-masing.
Menurut pengacara Boy Januardi, SH di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Delik Pers itu sudah diatur dalam Pasal 18 UU Ayat 1: { Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)}, Ayat 2: { Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 13 dipidana dengan pidana paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)} dan Ayat 3: {Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)}.
Soal pencemaran nama baik dan fitnah, tidak diatur dalam UU No 40/1999. Jadi majalah Tempo, dalam konteks pemberitannya soal Tomy Winata, bisa dipergunakan Pasal-pasal yang ada di dalam KUHP. Karena [permasalahan yang diatur tidak sama], maka ketentuan UU Pers tersebut [tidak bisa mengenyampingkan] ketentuan KUHP. Majalah Tempo sebagai bagian dari insan Pers, memang tunduk terhadap UU Pers, namun demikian apabila insan pers tersebut melakukan pelanggaran diluar UU Pers, maka yang berlaku adalah ketentuan lain tersebut (KUHP).
Karena pemberitaan majalah Tempo, ujar Boy diduga telah mencemarkan nama baik Tomy Winata sebagai individu, sehingga laporannya kepada pihak kepolisian dilakukan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mengapa? Hal ini dikarenakan, delik Pers yang tercantum dalam UU Pers tidak mengatur mengenai hal ini. Meskipun delik pers dalam UU Pers adalah {Lex Spesialis} (aturan yang bersifat lebih khusus) dari KUHP sebagai {Lex Generalisnya} (aturan yang bersifat Umum), tidak berarti majalah Tempo sebagai bagian dari Pers Nasional hanya mengacu pada UU Pers. Apabila ada hal yang tidak diatur dalam delik Pers UU Pers, maka mengacu pada ketentuan lain yang lebih bersifat umum ({Lex Generalis}), dalam hal ini mengacu pada KUHP.
© Copyright 2024, All Rights Reserved