Pers adalah pilar keempat demokrasi. Seharusnya pers dengan fungsi kontrol sosialnya menjadi kekuatan penyeimbang demokrasi, yang mengawasi kerja eksekutif, legislatif, yudikatif dan Kementerian atau lembaga negara lainnya. Namun perkembangan pers hari ini tak semudah teori-teori demokrasi.
Pers, terutama di Indonesia, hari ini harus berhadapan dengan permodalan yang besar, kemajuan teknologi yang sangat pesat, persaingan dengan influencer dan YouTuber, dan tekanan penguasa. Tak mudah menjalankan fungsi pers sebagai lembaga kontrol sosial. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Apalagi jika ada ekosistem di luar tiga lembaga tadi yang siap mendukung kerja-kerja jurnalistik. Terutama, jika dukungan dari publik sangat kuat.
Meski bekerja dilindungi UU, bukan berarti pekerjaan jurnalis menjadi lebih aman dan mudah. Karena nyatanya, tekanan terhadap jurnalis masih ada. Salah satu yang menjadi ancaman nyata adalah RUU Penyiaran yang memaksa untuk meniadakan jurnalisme investigasi.
Lalu bagaimana tanggapan Dewan Pers sebagai lembaga besar yang menaungi kerja-kerja jurnalistik?
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Dr Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers. Berikut wawancara lengkapnya:
Setelah melalui Pilpres, sebentar lagi kita akan berhadapan dengan Pilkada. Bagaimana menurut Anda posisi pers hari ini?
Peran media dalam Pilkada sangat krusial untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan informasi yang akurat dan tidak memihak, sehingga mereka dapat memilih calon pemimpin yang tepat. Pers harus menjadi wasit yang adil, memiliki nilai moral, integritas, serta bertanggung jawab sesuai dengan kode etik jurnalistik dalam Pilkada ini.
Sejauh ini, bagaimana kerja-kerja jurnalisme dalam pers Indonesia?
Kerja-kerja jurnalisme harusnya didirikan dengan semangat bukan hanya memperjuangkan pada sistem yang sudah jadi, sistem yang sudah ada, tetapi harusnya memikirkan dan mengawani bukan hanya Indonesia hari ini, tetapi juga Indonesia ke depan. Bukan hanya kehidupan manusia hari ini, tapi juga kehidupan manusia ke depan.
Oleh karena itu, mata pisau kerja jurnalis harus melangkah keluar dan mencari terobosan agar bisa mencari solusi, walaupun hanya dengan cara diam. Perjuangan ini saya kira tidak mudah di tengah-tengah situasi kehidupan pers yang memiliki tantangan yang tidak kecil.
Menurut Anda, apa saja tantangan yang dihadapi media massa hari ini?
Pers hari ini menghadapi tantangan yang berbeda dengan 10, 20 atau 30 tahun yang lalu. Kalau kita perhatikan upaya represif yang dilakukan oleh Orde Lama, Orde Baru, mewujudnya adalah dengan cara membreidel, melakukan kekerasan, dengan cara mendeskreditkan, mengkriminalisasi, dan lain lain, yang dilakukan hanya dengan menyebut oknum atau secara personal. Tapi tantangan pers hari ini bukan hanya personal, tapi sudah bersifat sistemik. Inilah yang membuat pers hari ini memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan pers di masa lalu.
Belum lagi kita dihadapkan pada tantangan era digital. Di mana tantangan kerja jurnalistik mulai kesulitan dengan apa yang disebut kebenaran. Proses kerja jurnalistik, mulai dari liputan, menuliskan sampai menghasilkan produk jurnalistik, tetap harus memperhatikan implikasi dari produk jurnalistiknya. Tapi hari ini, kerja-kerja jurnalistik tetap harus berhadapan dengan kerja-kerja digital yang seakan-akan menawarkan sebuah kebenaran.
Pada saat bersamaan, kawan-kawan jurnalis dengan segala keterbatasan, dengan mudah juga menggunakan informasi-informasi itu sebagai sumbernya. Sehingga susah membedakan antara formalism dengan journalism. Pada proses ini, banyak teman-teman jurnalis yang belum memandang ini sebagai ancaman. Bahkan tidak menutup kemungkinan, menganggap digitalisasi ini sebagai cara instan untuk menyampaikan informasi dan berita yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh publik. Mereka bekerja tanpa mempertimbangkan akurasi, tanpa mempertimbangkan kredibilitas, tanpa mempertimbangkan urgensi, tapi mengikuti pola-pola yang diinginkan publik, bukan kebutuhan publik. Dan ini sekarang tantangannya adalah semakin sistemik.
Semakin sistemik, maksudnya bagaimana?
Di luar sana ada kawan-kawan jurnalis yang hanya dengan 50, 100, 200, 500 telah melacurkan profesinya sebagai jurnalis.
Mereka secara bersama-sama, atau by sistem, saya sebut by sistem, karena mereka juga menggunakan regulasi, menggunakan anggaran negara, membuat kerja-kerja yang selama ini dilakukan oleh pemerintah, oleh aparat penegak hukum, oleh anggota legislatif, seakan-akan pekerjaannya itu seperti pekerjaan jurnalis. Padahal produk-produk yang mereka hasilkan tetap tidak bisa diakui sebagai produk jurnalistik.
Saya beberapa kali bertemu dengan Pemerintah Daerah, teman-teman dari Humas Pemerintah Daerah, wartawan yang bergabung dengan kerja-kerja dari pemerintah. Mereka bertanya, “Bu kenapa masih perlu wartawan? Kami juga menulis berita kok, dan itu juga dikerjakan oleh wartawan. Jadi wartawan cukup mengakses informasi yang kami upload di halaman website kami. Wartawan cukup mendapatkan informasi itu saja, tidak perlu lagi melakukan investigasi dan lain lain.” Saya jawab, “tidak boleh.”
Apa pun informasi yang disampaikan oleh Humas Pemda, Kementerian Lembaga, dan berbagai pihak, tetap bukan kerja wartawan. Bukan kerja jurnalistik. Karena kerja jurnalistik mensyaratkan dua hal: pekerjaan itu harus dihasilkan oleh wartawan dan karyanya harus dihasilkan oleh perusahaan pers. Maka produk-produk yang dihasilkan oleh TPID, oleh Humas, yang didanai, maka itu bukanlah kerja jurnalistik. Mereka tidak boleh menghalangi kerja jurnalistik yang ingin melakukan pendalaman secara investigatif atas informasi yang menjadi oleh kebutuhan publik.
Hak publik untuk tahu itu adalah hak dasar yang dilindungi dalam UU No.40 Tahun 1999, dan ini menurut saya adalah sesuatu yang perlu ditegakkan, bukan hanya perlu dijaga sebagai suatu kemerdekaan pers.
Sewaktu ke IKN jelang peringatan kemerdekaan, Presiden memamerkan sejumlah YouTuber dan influencer yang diajak ke sana. Bagaimana menurut Anda?
Pemerintah hari ini, kalau kita perhatikan lebih berpihak pada YouTuber, pada influencer. Saluran informasi pemerintah hari ini lebih ke YouTuber dan Influencer ketimbang jurnalis. Meskipun mungkin jurnalis itu tidak perlu diundang, tapi juga jangan dihalang-halangi untuk mencari informasi. Saya termasuk yang merasa prihatin ketika kemarin dipertontonkan, bapak kepala negara kita, bapak Presiden Joko Widodo mengajak influencer untuk melihat kesiapan Ibu Kota Negara baru.
Menurut saya, ya enggak apa-apa lah kalau itu untuk kepentingan pribadi, pakai uang pribadi, tapi kalau untuk keperluan negara dan pakai uang negara, mbok ya jangan mengajak influencer dan YouTuber. Mereka bekerja sesuai pesanan, mereka akan ngomong yang baik-baik saja. Mereka tidak bisa melakukan pendalaman informasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh publik. Bayangkan, pertanyaan yang muncul adalah, “bagaimana bapak, enak tidurnya?”
Menurut Anda, apakah seharusnya presiden juga mengundang jurnalis?
Jurnalis itu tidak perlu diundang, tapi yang terpenting adalah, jangan dibatasi akses mencari informasi. Jurnalis mah sudah biasa tidak diundang. Maksud saya begini, situasi bagaimana Ibu Kota Negara dalam konteks ketahanan nasional, itu kan tidak sederhana.
Tentu kalau teman-teman jurnalis hadir di sana, dan dibuka aksesnya bagi semua pihak untuk mengetahui, setidaknya kita sebagai warga negara, bisa mulai memitigasi, apa yang akan kita lakukan. Kan kita semua tahu bahwa sebuah Ibu Kota Negara bukan hanya kesiapan infrastruktur saja, tapi banyak hal yang perlu diketahui publik.
Saya yakin ke depannya, tugas jurnalis, tugas wartawan untuk melihat kebenaran, bukan hanya menggunakan apa yang sudah dishare orang di media sosial, apa yang sudah berseliweran dari hasil produk-produk teknologi saat ini, ada ChatGPT, ada AI, tetapi kebenaran adalah apa yang didukung dengan akurasi yang tepat, bukan hanya bekerja untuk keinginan publik, tapi memenuhi apa yang menjadi kebutuhan publik.
Bagaimana jurnalis sebaiknya bersikap ditengah gempuran digital yang makin keras ini?
Menghasilkan karya dengan integritas, tidak mencampurkan antara profesi ini dengan profesi lain. Apalagi jadi politisi, jadi NGO, dicampur jadi satu. Jadi sulit membedakan antara jurnalis yang memperjuangkan keadilan, dan memperjuangkan kemanusiaan, keadilan, dan terutama memperjuangkan kebutuhan masyarakat untuk tahu, untuk sejahtera dan merasa aman bisa diperjuangkan dengan sebaik-baiknya.
Apalagi tantangan yang akan dihadapi jurnalis ke depan?
Kita masih akan berhadapan dengan UU ITE, dengan UU KUHP, dengan UU Ciptaker yang sekarang punya keinginan, perusahaan pers itu hanya dimiliki oleh satu orang. Jadi tidak perlu ada banyak orang di dalam perusahaan pers. Jadi atas nama kebebasan pers, kita juga harus tetap berhati-hati, dengan tidak membiarkan berdirinya perusahaan-perusahaan pers yang hanya berbadan hukum, tetapi tidak menggunakan UU Pers dan seluruh produk-produk jurnalistik sebagai pegangan. Mari kita sama-sama berjuang untuk membangun, dan mengukuhkan agar kemerdekaan pers tetap berjalan dengan sebaik-baiknya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved