Bicara disabilitas di Indonesia masih kental dengan pengaitan disabilitas dengan kegiatan yang bersifat sosial dan amal. Padahal problem disabilitas di Indonesia juga terkait dengan persoalan lapangan pekerjaan, kemampuan dan kesetaraan.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Fatimah Asri Muthmainnah, menjelaskan, sampai sekarang masih banyak persepsi dan paradigma yang salah di masyarakat soal menangani dan memberikan ruang yang setara untuk teman-teman disabilitas.
Fatimah berharap, kehadirannya di Komisi Nasional Disabilitas (KND) bisa memberi kontribusi agar penghormatan terhadap teman-teman disabilitas terus terjaga dengan perspektif yang terus membaik.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Fatimah Asri Muthmainnah untuk mendalami lebih jauh persoalan disabilitas dan problem yang dihadapi.
Berikut petikan wawancaranya:
Sebenarnya problem mendasar apa saja yang dihadapi teman-teman disabilitas?
Kalau akar permasalahan disabilitas itu kan stigma ya. Jadi dalam penanganan terkait disabilitas, kita tidak boleh meninggalkan empat asas. Pertama, bebas dari stigma, karena itu adalah akar masalah. Kedua, harus ada dukungan aksesibilitas. Ketiga adalah akomodasi yang layak, dan keempat adalah partisipasi bermakna.
Jadi disabilitas itu baru bisa membuktikan apa yang namanya setara ketika dia diberikan kesempatan, diberikan ruang-ruang partisipasi. Tetapi dia tidak akan pernah sampai ke sana jika tidak ada dua dukungan itu tadi.
Apa hal yang paling penting untuk dipahami ketika bicara tentang disabilitas?
Menurut saya semua persoalan ini memang harus diurai dari stigmanya dulu. Stigma kita harus diperbaiki. Jadi langkah pertama kenapa kemudian adalah adanya prinsip P3HPD, yaitu Penghormatan, Perlindungan, dan Pemulihan Hak Disabilitas itu jadi sangat penting.
Penghormatan ditempatkan di kata paling awal, karena itu mengurai dari akar-akar masalahnya. Banyak yang mengatakan sudah memberikan kesempatan itu. Tetapi bagaimana bisa sampai di ruang kesempatan ketika dua hal tadi, penghormatan dan kebutuhannya itu tidak dipahami.
Sebenarnya apa sih kebutuhannya? Apa yang menjadi hambatannya? Kalau ini dipahami, kita bisa sampai ke ruang memberikan kesempatan. Kemudian baru bisa membuktikan, bisa berkontribusi. Itu ketika bicara tentang asas ya.
Dibanding problem sosial lain, apakah regulasi pemerintah untuk teman-teman disabilitas sudah cukup mumpuni?
Nah di negara kita sendiri, kalau kita bicara regulasi, itu sudah tidak kurang-kurang. Mulai dari CRPD diratifikasi ke UU Nomor 19 Tahun 2011 dan kemudian melahirkan UU Nomor 8 Tahun 2016, dan seluruh aturan pelaksanaannya. Seluruh regulasi itu bicara, bagaimana khususnya di PP Nomor 70 Tahun 2019 yang saya anggap penting sekali, yaitu tentang Perencanaan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan P3 HAM itu.
Di sana kan disebutkan tujuh pilar pembangunan manusia disabilitas, apa yang dinamakan RIPD, Rencana Induk Penyandang Disabilitas. Semua diurut. Mulai dari tentang pendataan, kemudian lingkungan bebas stigma, dan seterusnya. Tapi di pendataan sendiri, kita belum clear sampai hari ini.
Regulasi ada, strategi juga, tapi sepertinya implementasi di lapangan tidak semulus yang diharapkan?
Betul. Itulah yang menjadi justifikasi, mengapa KND dilahirkan melengkapi tiga lembaga HAM lainnya yang sudah ada. KND ada untuk memastikan itu. Untuk membantu memastikan. Di pendataan saja kan banyak sekali yang belum tercatat. Apalagi khususnya di daerah-daerah pelosok. Tapi jangankan di daerah pelosok, di wilayah Jawa Tengah saja banyak yang belum terdata.
Bagaimana seorang warga negara bisa tersentuh perlindungan sosial dari negara ketika dia tidak teridentifikasi sebagai warga negara di Kartu Keluarga. Jadi dari hulu sampai hilir problem ini terlalu kompleksitas.
Kalau memang problemnya terjadi dari hulu sampai hilir, apakah ini karena kelalaian pemerintah atau memang ada sistem yang tidak berjalan sehingga penyelesaian untuk problem teman-teman disabilitas seperti jalan di tempat?
Kalau bicara lalai, sebenarnya tidak. Hadirnya regulasi itu menandakan pemerintah memikirkan itu. Tetapi kemudian saya kira pengetahuan tentang perspektif ini yang kurang begitu dipahami. Kami datang ke berbagai pemerintahan kabupaten dan kota. Saya juga mendatangi perguruan tinggi. Kami benar-benar mengerahkan sinergitas pentahelix itu untuk mengedukasi, menyosialisasikan, dan seterusnya.
Jadi begini, ketika pusat membuat program edukasi, sosialisasi, itu ada anggarannya, Nah dari pusat ini kan kemudian diturunkan ke bawah melalui kementerian. Tapi kadang-kadang, kemudian sasaran dari program itu sendiri akhirnya tidak tepat sasaran itu karena pemahaman atau perspektif. Jadi seperti pengguguran kewajiban. Merasa bahwa yang penting aku sudah mengakomodasi disabilitas.
Contohnya seperti apa?
Ini contoh kecil ya, ada bantuan alat bantu untuk disabilitas. Misalnya ada disabilitas butuh alat bantu kursi roda, yang penting dibelikan kursi roda. Tapi tak mencari tahu lagi, sepertinya kursi roda seperti apa yang dibutuhkan. Akhirnya, ini banyak kejadian, si kursi roda itu hanya jadi penghias dapur. Mereka simpan di dapur karena tak bisa dipakai, karena memang enggak sesuai. Itu salah satu contoh yang banyak terjadi.
Jadi sepertinya ada pemahaman yang tak berimbang di publik soal kebutuhan teman-teman disabilitas?
Betul. Sepertinya memang hal pertama ketika bicara di level penghormatan, interaksi ini menjadi penting. Interaksi ini yang bisa membuat orang tahu, oh dia disabilitas. Karena disabilitas itu banyak. Yang terlihat seperti saya ada, yang tidak terlihat juga ada. Pada praktiknya kemudian, disabilitas yang banyak mengalami diskriminasi itu adalah yang tidak terlihat. Disabilitas tuli misalnya. Karena tak terlihat dan orang tak tahu dia mengalami disabilitas.
Jadi memang butuh benar-benar paham. Pahamilah di lingkungan kita ada disabilitas, jadi kita tahu bagaimana harus bersikap dan berinteraksi dengan mereka. Setelah berinteraksi kita jadi tahu, oh terhadap dia ternyata kita harus seperti ini. Akhirnya jadi tahu, keunikannya apa, kelebihannya apa. Dengan mengetahui keunikan, kelebihan dan memberikan ruang untuk dia berpartisipasi itu kan mendorong munculnya kesetaraan antara kita dengan disabilitas. Nah dari interaksi itu kita jadi tahu kebutuhan mereka.
Maksudnya, misalnya, meski sama-sama disabilitas, tapi kebutuhan mereka tidak sama?
Betul. Mereka bisa satu ragam, tapi tidak semua kebutuhannya sama. Contohnya tuli, Bahwa memang ada yang bisa bahasa isyarat tapi ada juga yang tidak bisa bahasa isyarat. Jadi tidak semua dihadirkan juru bahasa isyarat (JBI). Orang-orang yang tidak sekolah, tidak bisa bahasa isyarat.
Tidak semua juga menggunakan alat bantu. Ada yang hanya butuh alat saja untuk bisa membedakan, ada juga yang butuh juru bahasa isyarat, ada yang bisa melihat gerak bibir saja. Jadi sekali lagi, spektrum dan kebutuhannya berbeda-beda. Bahkan pilihan untuk menggunakan akomodasi yang layak bagi dirinya, itu juga berbeda-beda, tergantung disabilitasnya. Dan itu dilindungi UU. Enggak bisa dipaksakan, tiba-tiba dikumpulin, ini kamu butuh ini, pakai alat ini. Enggak bisa seperti itu.
Jadi memang pengenalan dan penyelesaiannya tidak sesimpel itu ya?
Betul. Memang perlu identifikasi, asesmen menjadi sangat penting. Itu satu, identifikasi. Kedua, ketika bicara disabilitas, dan bicara tentang dukungan tadi, maka kami juga bicara anggaran. Anggarannya pasti lebih dari yang biasa, dari yang nondisabilitas. Ini juga harus dipahami. Jangan kemudian jadi beban. “Enggak usah undang dia, repot. Harus ada pendamping, harus siapkan ini itu.” Jangan begitu. Itu biasa ada komentar seperti itu kalau ada undangan diskusi, musyawarah, atau apa pun itu. Ini hal yang sehari-hari terjadi lho.
Lalu bagaimana kalau tidak ada keterwakilan, bagaimana kepentingan dan suaranya bisa terdengar, tersuarakan dan terakomodir.
Kadang keluarga juga menganggap aib ketika ada anggotanya yang mengalami disabilitas. Apakah ini juga akhirnya berpengaruh pada stigma masyarakat?
Iya betul. Itu yang saya sebutkan tadi. Salah satu hal yang membuat mereka tidak ketahuan adalah karena mereka tidak ada di kartu keluarga (KK) dan dianggap aib. Jadi itu sebabnya mengapa Komisi Nasional Disabilitas (KND) tidak mungkin bekerja sendirian dan mengapa pendekatan pentahelix itu menjadi sangat penting. Salah satunya adalah dengan gerakan masyarakat sipil atau organisasi masyarakat, khususnya yang berbasis keagamaan.
Mengapa perlu pendekatan khusus juga pada ormas yang berbasis keagamaan?
Karena pola masyarakat kita itu kan sebenarnya lebih nurut pada pimpinan spiritualnya dari pada anjuran pemerintah. Coba saja lihat, kalau kyai ngomong A, maka masyarakat ikutan A. Pendeta ngomong A, umatnya juga ikutan A.
Nah jadi ini salah satu pendekatan yang kami lakukan juga, yaitu lewat organisasi besar untuk minta yakinkan pada masyarakat dan pada umat.
Disabilitas ini paradigmanya sudah berubah di negara kita. Itu juga sudah kami lakukan.
Dengan berjuang dan berhasil masuk dalam Komisi Disabilitas Nasional, apa harapan Anda?
Kalau saya pribadi, tentunya saya dapat bekerja dengan baik, menjalankan mandat UU, di mana visi UU Nomor 8 Tahun 2006 itu dampaknya bisa dirasakan semua penyandang disabilitas. Kami kuatkan prinsip no one left behind itu.
Tentu dengan hadirnya KND ini kami berharap dapat mengurai masalah-masalah disabilitas yang ada di negeri ini. Itulah juga yang membuat kami berkolaborasi dengan tiga lembaga HAM yang lain, karena advokasi kami terasa lebih ringan ketika disuarakan bersama-sama.
Kemudian bagaimana pendekatan kami terhadap lembaga perguruan tinggi. Karena landscape pendidikan disabilitas yang ada di negara ini kan, 30% pendidikan dasar, 40% pendidikan menengah, 16% pendidikan atas, dan perguruan tinggi hanya 2,87%. Jadi kami datangi berbagai perguruan tinggi di Indonesia, kami membuat MoU, kami mengandalkan perguruan tinggi ini untuk membantu kami.
Perguruan tinggi ini kan riset-risetnya jadi penting karena bisa menjadi regulasi yang berpihak dan mengakomodir. Kemudian, masalah pendidikan ini kan juga soal ketersediaan GPK. Jadi kami juga mendorong ada perguruan tinggi GPK, ada mata kuliah inklusi di semua program studi. Kemudian melalui Tri Darma Perguruan Tinggi, bagaimana mereka bisa terjun di masyarakat mendampingi teman-teman disabilitas.
Kami juga mendorong Unit Pelayanan Disabilitas di berbagai perguruan tinggi. Bahkan di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kebencanaan, semua sektor.
Pergeseran paradigma publik tentang disabilitas jadi sangat urgen ya?
Iya, yang kami pahamkan itu di semua masyarakat tentang disabilitas itu, sekarang bicara disabilitas itu bukan hanya bicara sosial lho. Contohnya, kalau ada disabilitas yang sakit, itu dilemparnya ke Dinas Sosial. Kan enggak begitu, kalau sakit urusannya ya Dinas Kesehatan. Disabilitas butuh kerja, dibawa ke Dinas Sosial, padahal ini kan ranahnya ketenagakerjaan.
Nah pergeseran paradigma ini yang harus kami dorong terus. Urusan disabilitas sekarang bukan urusan charity lagi. Ini sudah human rights base. Sudah bukan sektor sosial lagi, tapi sudah multi sektor.
Saya berharap satu lagi, pentahelix itu kan salah satunya media massa ya. Saya berharap sekali peran media massa untuk ikut menyuarakan ini. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved