TAIWAN itu unik, tapi juga hebat. Negara yang bernama Republic of China (ROC) ini adalah musuh bebuyutan People’s Republic of China (PRC), atau Tiongkok.
Dalam pandangan Tiongkok, Taiwan adalah sebuah provinsi sempalan, yang kelak akan takluk pada Tiongkok yang 267 kali lebih luas. Dengan penduduk hanya 23,57 juta jiwa, Taiwan memang jauh di bawah Tiongkok, yang sudah berpenduduk 1,4 miliar.
Dengan luas sebesar 1/53 dari Indonesia, Taiwan yang hampir seluas Belanda ini ternyata ekonominya dahsyat. Dalam analisis Global Finance tertanggal 4 Mei 2024 silam, peringkat Taiwan adalah nomor 24 dunia, dengan GDP-PPP Per Capita senilai 76,858 Dolar AS. Sementara Tiongkok, berada pada urutan 78 dunia, dengan nilai 25,015 Dolar AS.
Andalan ekspor negeri kecil ini adalah elektronik, logam, plastik, karet, kimia, dan mesin, yang dijalankan oleh perusahan-perusahaan di Taiwan, baik besar maupun kecil. Dari ratusan ribu perusahaan besar dan kecil yang berpusat di Taiwan, setidaknya dunia telah mengenal 5 produk Taiwan yang reputasinya fantastis, seperti Acer, ASUS, HTC, Chatime, dan Din Tai Fung.
Untuk bidang perbankan, dunia sangat akrab dengan nama-nama seperti Bank of Taiwan, Cathay United Bank, CTBC Bank, First Commercial Bank, dan Taiwan Business Bank.
Semua institusi di atas, pada tingkatan puncak hingga menengah sangat mengandalkan Sumber Daya Manusia (SDM) Taiwan sendiri yang sangat terbatas dan juga sangat berkualitas itu.
Untuk lapisan-lapisan di bawahnya, barulah mereka mengandalkan pekerja migran, sepanjang mereka mampu mengikuti aturan Taiwan yang sangat mengedepankan prinsip-prinsip berdaya guna dan berhasil guna.
Diperkirakan saat ini Taiwan telah menyerap sekitar 1 juta tenaga migran, yang tersebar di New Taipei, Taoyuan, Taichung, Tainan, dan Kaohsiung.
Namun untuk urusan investasi, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan, Taiwan sudah memiliki reputasi sangat baik di Indonesia. Sulit dibayangkan, ternyata Taiwan adalah tujuan favorit Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang saat ini berjumlah sekitar 400.000 jiwa, yang umumnya tersebar di sektor-sektor rumah tangga, rumah sakit, konstruksi, manufaktur, dan pelayaran.
Mereka nyaman hidup di Taiwan, karena selain alamnya yang bersih dan asri, negara berlangit biru ini sangat mampu menjaga keamanan di dalam negerinya, sehingga nyaris tak terdengar praktik-praktik kejahatan atas pekerja asing termasuk atas PMI kita.
Sering dijumpai PMI yang bekerja hingga larut malam, dan dengan amannya keluar masuk stasiun kereta api. Tidak terdengar PMI yang mengeluhkan gaji mereka, serta pelanggaran HAM atas diri mereka.
Dari tahun ketahun, Taiwan sangat mengkhawatirkan potensi serangan Tiongkok, mengingat kemampuan militer tetangganya ini semakin meningkat secara kualitas dan kuantitas, dan sudah menggetarkan dunia.
Dalam setahun terakhir, tak terhitung pesawat mata-mata Tiongkok yang terus mengangkasa di luar Taiwan, serta lusinan latihan militer di laut dan udara, yang seolah bersiap memblokade Taiwan, termasuk menguasai negeri tersebut.
Tak terhitung pula sibuknya pemerintah Taiwan, menyikapi kapal-kapal nelayan yang ditangkap Tiongkok karena dianggap memasuki wilayah lautnya secara tidak sah. Sering pula Taiwan menguatirkan betapa mudahnya Tiongkok mengganggu perairan Asia Tenggara lewat Nine Dash Lines, atau sembilan garis putus-putus, yang tidak memiliki dasar dalam Hukum Internasional.
Lebih buruk lagi, saat ini pimpinan di Beijing terus mengutuk Presiden Taiwan, Lai Ching-te, yang dianggap sebagai tokoh separatis berkehendak memerdekakan Taiwan. Beijing sangat marah jika Taiwan menerima kunjungan pejabat legislatif dan eksekutif asal Amerika Serikat dan Uni Eropa, terlebih lagi jika di akhir kunjungan mereka sekecil apa pun mengkritisi Tiongkok.
Di Taiwan pada akhir Juli silam, telah berlangsung Han Kuang Military Exercise, sebuah latihan militer tahunan, yang sejak tahun 1984 terselenggara selama 5 hari, guna menguji kesigapan negara ini secara militer dan elektronik, khususnya dalam aspek-aspek kontra-terorisme, pertahanan sipil, perlindungan instalasi strategis, termasuk serangan amfibi dari daratan Tiongkok.
Dalam kenyataannya, latihan ini juga dijalankan hingga pulau-pulau kecil di sekitar Taiwan seperti Penghu, Kinmen, dan Matsu.
Walaupun latihan militer di atas hanya melibatkan angkatan bersenjata, namun penduduk sipil dan juga pekerja migran sudah lama terkondisikan. Dalam hal ini, banyak larangan atas diri mereka, mulai dari sirine yang tiada henti, serta keharusan berada di lokasi kerja pada jam-jam tertentu, termasuk larangan berkeliaran di perkotaan.
Apakah pemerintah dan masyarakat di Indonesia memahami perkembangan di Taiwan di atas? Di negara kecil ini, pemerintah dan rakyatnya yang terus menggenjot pertumbuhan ekonomi, ternyata sangat mengkhawatirkan terjadinya serangan mematikan dari dataran Tiongkok, yang dapat terjadi kapan pun.
Namun pernahkah kita membayangkan suasana batin PMI yang setiap harinya mendengar berita rencana penyerangan Tiongkok atas Taiwan? Tahukah kita, jika Taiwan akan sangat terpukul jika para PMI tersebut mendadak kembali ke Indonesia karena alasan keamanan diri mereka?
Dalam berhubungan dengan Tiongkok dan Taiwan, kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia adalah bebas aktif, yakni hanya mengakui Tiongkok sebagai pemerintah yang berdaulat, dan tidak berhubungan resmi dengan Taiwan.
Bahkan dalam paspor dinas yang dikeluarkan, tertulis jelas di halaman pertamanya, yakni terlarang bertandang ke Israel dan Taiwan.
Dalam hal meningkatnya ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan, kebijakan apakah yang dapat Indonesia lakukan? Sanggupkah kita memulangkan TKI dalam jumlah yang fantastis di atas?
Belajar dari pemulangan WNI dari China saat merebaknya Covid-19 yang serba rumit dan pelik, serta pemulangan serupa dari Ukraina saat terjadinya serangan Rusia, diperkirakan pemulangan PMI dari Taiwan mustahil dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Dalam hal hubungan Tiongkok-Taiwan terus memburuk, dengan PMI kita merasa dirinya ikut terancam, sementara Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, kebijakan apakah yang perlu Indonesia lakukan?
Kesatu, dalam berhubungan dengan Taiwan. Dalam hal ini, perlu membuka sebuah mekanisme konsultasi, guna memungkinkan tertanganinya masalah-masalah PMI di Taiwan kala terjadinya krisis, mulai dari skala rendah hingga yang tersulit.
Sudah dirasakan perlu membangun hubungan yang lebih mendasar, yang tidak diplomatik, namun berkekuatan hukum mengikat bagi kedua negara. Hal ini dapat diawali dari Kementerian/Lembaga dalam lingkaran Polhukam, namun diwakili pejabat bukan struktural.
Kedua, dalam berhubungan dengan Tiongkok. Dalam hal ini, meyakinkan pemerintah Tiongkok, jika walaupun Indonesia tidak mengenal Taiwan sebagai sebuah negara, namun khusus dalam urusan perlindungan PMI ini, di mana Tiongkok berpotensi menyerang Taiwan kapanpun, maka pemerintah Indonesia harus berhubungan secara terbatas sehingga dengan sangat terpaksa berseberangan dengan pemerintah Tiongkok.
Karena dalam masalah yang sangat pelik ini, Indonesia haruslah mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan PMI di Taiwan, sesuai prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, yang merupakan bagian dari ideologi negara, konstitusi negara, dan juga sesuai dengan Piagam PBB.
Ketiga, menggalang diplomasi global, agar dunia memahami besarnya potensi perang antara Taiwan dan Tiongkok, di mana pemboman dan pengrusakan fasilitas dunia usaha termasuk penelitian dan pengembangan di Taiwan, akan berimbas pada runtuhnya ekonomi dunia.
Karena mayoritas industri dunia sudah lama mengandalkan produk-produk semikonduktor asal Taiwan yang memang sudah teruji. Hancurnya industri ini berarti juga mundurnya industri dunia secara tajam.
Keempat, tidak mengkritisi prakarsa Taiwan meningkatkan kualitas PMI yang berusia produktif, guna mengikuti program-program keselamatan publik dan ketahanan industri, seperti perlindungan atas instalasi bukan militer dan fasilitas umum.
Dalam hal pemerintah Taiwan melakukan program-program semi-militer seperti pelatihan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), kedisiplinan, dan kesiagaan di lingkungan kerja, pemerintah Indonesia hendaknya memakluminya, dan tidak mengaitkannya dengan masalah kewarganegaraan Indonesia.
Kelima, dalam kerangka ASEAN Community, pemerintah Indonesia perlu membangun kesepahaman dengan sesama anggota ASEAN yang memiliki tenaga kerja dalam jumlah besar di Taiwan.
Dalam hal ini, perlu konsultasi dan rencana aksi nyata bersama Filipina, Thailand, dan Vietnam, guna bersama-sama memikirkan penduduk mereka di Taiwan, yang keselamatannya mungkin kelak terganggu.
Akankah konflik Tiongkok-Taiwan kelak terjadi? Belum ada jawaban pastinya. Namun bagi Indonesia, siaga dan waspada itu penting adanya.
*Penulis adalah Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
© Copyright 2024, All Rights Reserved