Menjelang acara perayaan malam tahun baru 2013 lalu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengunjungi pintu air Katulampa, Bogor. Dari kunjungan ini Jokowi mengaku mendapat gambaran pentingnya fungsi pintu air Katulampa. Pengertian ini penting untuk membuat langkah mengatasi banjir di Jakarta. Dalam kunjungan itu, Jokowi sempat memberikan parsel kepada petugas pintu air.
Jokowi bilang, ia datang ke Katulampa karena pintu air ini menentukan. “Saya pingin mengerti standarnya seperti apa. Terus kapan harus dibuka, kemudian ambang batasnya ada di sebelah mana.”
Paling tidak, ujar Jokowi, kunjungan itu memberikan gambaran pentingnya fungsi pintu air itu. Pengertian ini penting untuk membuat kebijakan yang real, sebagai langkah mengatasi banjir di Jakarta.
Bicara soal Katulampa, adalah bendung yang didesain untuk irigasi lokal. Sedangkan bagi Jakarta, pintu air ini adalah flood warning system bagi penduduk Jakarta dan sekitarnya jika debit air Sungai Ciliwung meningkat.
Selain posisi geologisnya, persoalan serius selama ini ternyata adalah Kanal Banjir Barat (KBB). Kanal yang mengalir dari Manggarai dan seterusnya itu, miliki keterbatasan daya tampung. Jalur ini hanya mampu menampung air 240-390 meter kubik per detik.
Jika debit air di pintu Katulampa antara 275 - 441 meter kubik per detik setiap 1 jam, maka warga bantaran Kali Ciliwung di Jakarta dalam posisi Siaga 2. Jika debit air di atas 441 meter kubik per detik setiap setengah jam, maka kondisi di Jakarta sudah Siaga 1.
Merujuk sejarahnya, peningkatan debit air secara signifikan di Katulampa terjadi sejak 1985. Beberapa kali debit air menembus angka 600 meter kubik per detik. Banjir tahun 1996, 2002 dan 2007 terjadi dimana saat itu debit air di Pintu Katulampa lebih dari 600 meter kubik per detik. Bahkan, pada 2010, pintu Katulampa mencapai rekor dengan debit 630 meter kubik per detik.
Memang, untuk mengantisipasi debit air yang sudah diluar ambang batas tadi, Kanal Banjir Timur (KBT) didesain untuk membagi beban KBB. KBT mampu menampung 350 meter kubik per detik. Skenarionya, air yang mengalir dari Katulampa turun ke Depok terus ke Cililitan. Dari sini rencana air sebagian dibagi ke KBT untuk mengurangi beban KBB.
Akan tetapi, selama ini belum adanya sodetan yang menghubungkan Ciliwung ke KBT. Banyak faktor yang membuat langkah ini tertunda, antara lain karena ruwetnya pembebasan lahan dan sejumlah masalah teknis lainnya. Hingga kini skenario itu belum jalan.
Terbentuknya 60 bendungan baru pada 2009, turut mengurangi dampak banjir Jakarta pada 2010. Banjir yang menghebohkan pada Januari lalu, sebetulnya terjadi dengan curah hujan tak setinggi banjir-banjir sebelumnya. Pada pintu air Katulampa tercatat debit air hanya 477 meter kubik per detik saat puncaknya. Jika Bendung Latuharhary dan Tanah Abang tidak bobol, banjir Jakarta tidak akan segaduh kemarin itu.
Audit total infrastruktur KBB lainnya, saat ini sedang dilakukan. Bukan tidak mungkin kondisinya seperti Latuharhary dan Tanah Abang. Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memberi peringatan masih adanya potensi curah hujan tinggi sampai Maret mendatang.
Ada potensi banjir kiriman, juga non kiriman seperti 2011 dan Desember 2012 yang menggenangi jalan-jalan utama karena curah hujan tinggi. Akibat 12 sungai yang mengalir di Jakarta tidak mampu menampung air karena telah jenuh.
Jokowi, gubernur pertama dalam 20 tahun ini yang hadir dan bertanya langsung dengan petugas di Katulampa dan bendungan lainnya, tentu sudah tahu masalah dan solusi banjir Jakarta. Selain itu, Ia juga mendapat masukan dari para ahli.
Bukan berarti pada era Fauzi Bowo, ia tidak bersungguh-sungguh. Foke telah bekerja untuk mengatasi banjir Jakarta, hanya saja ia masih terhalang oleh persoalan pembebasan tanah.
Untuk mengatasi masalah ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) semestinya membantu Pemprov DKI Jakarta untuk membereskan soal pembebasan tanah yang telah berlarut-larut ini, dengan meminta Pemprov menyiapkan mata anggaran khusus untuk program tersebut.
Pembebasan tanah untuk keperluan sodetan Ciliwung itu harus terealisasi, bahkan dengan cara yang sangat "tegas" jika perlu. Warga yang tinggal di bantaran kali tersebut harus diberi pengertian untuk mau pindah. Toh, selama ini, sebagian besar mereka yang menempati lokasi bantaran kali itu tak jelas status kepemilikan tanahnya. Selain itu, seharusnya PLN menegakkan aturan secara sungguh-sungguh dalam pemasangan aliran listrik di rumah-rumah warga yang tinggal di bantaran kali tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved