HOAX pada dasarnya punya dua prinsip utama. Prinsip too good to be true dan too bad to be true.
Prinsip yang berlaku jamak. Ketika kita mendapat narasi yang begitu indah tentang sesuatu, maka hal yang pertama yang patut muncul adalah curiga. Pun halnya narasi yang terlalu buruk yang lebih baik direspons secara kritis.
Berbicara urusan sepak bola pun sama. Saat ada narasi yang terlalu buruk tentang bahasan yang debatable, seperti pergantian pelatih timnas Indonesia, kita patut kritis sekaligus curiga.
Memiliki persepsi positif atau negatif atas pergantian pelatih dari Shin Tae-yong ke Patrick Kluivert pun sah-sah saja. Sebagai sebuah persepsi awal, pencinta bola berhak berprasangka, bahwa kebijakan ini keliru atau sebaliknya.
Tapi memvonis kebijakan merekrut Kluivert benar atau salah rasanya terlalu dini dan tak adil. Sebab sepak bola tidak ditentukan oleh opini ataupun persepsi dari layar kaca. Tapi sepak bola ditentukan hasil di atas lapangan.
Mari kita mengkaji secara kritis dan objektif soal pergantian pelatih timnas Indonesia ini. Sejumlah fakta bisa dijadikan acuan awal.
Fakta pertama adalah posisi timnas yang kini berada di peringkat 3 Kualifikasi Piala Dunia 2026. Sebagai catatan, dua peringkat teratas di klasemen akhir akan langsung lolos ke Piala Dunia 2026. Sedangkan peringkat 3 dan 4 akan maju ke babak keempat.
Fakta kedua adalah soal konflik yang terjadi antara pemain dan pelatih. Yang jadi fakta adalah konflik Shin Tae-yong dan Elkan Bagott juga Stefano Lilipaly. Fakta ketiga adalah persoalan komunikasi. Bukan rahasia bahwa selama ini Shin Tae-yong tak bisa berkomunikasi langsung dengan pemainnya akibat kendala bahasa. Sehingga selama ini dalam berkomunikasi pria Korea Selatan itu selalu menggunakan jasa penerjemah.
Kondisi tim yang dinamis dengan masuknya banyak pemain baru membuat faktor komunikasi jadi mahapenting. Jika tidak, maka konsolidasi internal tim bisa berantakan dan berujung konflik internal. Jadi fakta pula bahwa dalam kontrak baru Shin Tae-yong dengan PSSI mengharuskannya belajar bahasa, setidaknya Inggris, untuk menghilangkan masalah komunikasi. Tapi hingga kini semua urung dilakukan Shin.
Jadi tak heran jika kemudian muncul isu disharmoni dalam tim Garuda. Ini seperti disinggung dalam konferensi pers soal pergantian pelatih timnas. Yang mana usai laga melawan Bahrain dan jelang laga lawan China ada dinamika internal.
Dinamika ini bisa terlihat dengan dicoretnya Eliano Reijnders, dicadangkannya Thom Haye, hingga Mees Hilgers yang hanya main satu babak sebelum ditarik keluar. Pada laga November, Hilgers menolak tampil.
Indikasi yang menyiratkan ada sesuatu di kamar ganti timnas. Dalam kondisi seperti ini pergantian pelatih atau pemain bisa menjadi solusi. Ini tentu untuk mencegah dampak yang lebih buruk terjadi.
Saya pribadi tidak melihat pergantian dari Shin Tae-yong ke Kluivert sebagai bagian dari strategi instan lolos ke Piala Dunia 2026. Lebih dari itu, ini adalah konsolidasi internal timnas di tengah dinamika yang terjadi. Dengan masuknya Kluivert, masalah komunikasi dan kamar ganti diharapkan bisa mereda dengan segera.
Di samping itu, hal ini juga jadi bagian dari strategi konsolidasi tim menjelang bergabungnya sejumlah pemain keturunan papan atas, seperti Ole Romney dan Jairo Riedewald.
Kita tak bisa mengelak bahwa sejatinya lonjakan prestasi timnas dikarenakan materi pemain keturunan yang memang punya kelas di level atas Asia. Dengan bergabungnya Ole dan Jairo bisa dibilang secara teknis kekuatan Garuda akan semakin meningkat dibanding sebelumnya.
Jadi peran pelatih di sini tak sekadar teknis, melainkan nonteknis. Dalam situasi inilah secara objektif peran Kluivert terlihat masuk akal. Dia tak sekadar mengepalai soal taktik tapi juga mengepalai konsolidasi seluruh tim. Perannya diharap sebagai perekat tim, bukan justru sumber konflik.
Pada akhirnya strategi mengambil Kluivert sebagai pelatih kepala punya potensi positif, bisa pula sebaliknya. Namun semua potensi itu baru terbukti nanti setelah timnas mengarungi seluruh laga kualifikasi. Mari kita nilai secara kualitatif dan kuantitatif performa timnas di atas lapangan. Jangan justru menilai sekadar karena prasangka apalagi fabrikasi informasi di media sosial.
Mengutip perkataan seorang Pramoedya Ananta Toer, "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.
*Penulis adalah Pemerhati Sepak Bola
© Copyright 2025, All Rights Reserved