DALAM pidatonya pada 30 Desember 2024 di Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan aset negara. Prabowo memerintahkan kepada jajarannya untuk memperketat penjagaan terhadap komoditas ini.
Selain itu, pemerintah akan menambah dan memperluas penanaman kelapa sawit karena nilai ekonomi dan strategisnya bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia di pergaulan internasional.
Presiden Prabowo juga dengan tegas meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), beserta pejabat daerah untuk menjaga kebun-kebun kelapa sawit yang tersebar di Indonesia.
Menanggapi pidato Presiden Prabowo diatas, persoalan Sawit di Indonesia memang terbilang kompleks. Mulai dari konflik kepemilikan lahan, kerusakan lingkungan, pengemplangan pajak perusahaan, izin dan luas penguasaan lahan yang tidak sesuai dan sebagainya.
Menurut temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2022, Indonesia memiliki perkebunan sawit seluas 16,8 juta hektare. Di antaranya terdapat kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare.
Jika pemerintah serius ingin meningkatkan efektivitas dan efisiensi nilai ekonomi perkebunan sawit nasional, temuan BPKP yang menyatakan adanya 3,3 juta hektare perkebunan ilegal itu harus dikejar oleh negara. Negara harus meminta pertanggungjawaban atas kerugian negara dan perekonomian yang disebabkan oleh korporasi sawit tercela.
Bahkan pengambilalihan perkebunan sawit ilegal oleh Negara adalah suatu tindakan yang sangat perlu untuk memastikan tanah dan kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk dikuasai oleh segelintir pengusaha.
Menurut hemat saya, pemerintah tidak perlu buru-buru membuka lahan baru untuk memperluas perkebunan sawit yang berpotensi merusak hutan dan lingkungan hidup serta melahirkan konflik sosial. Ada jutaan hektar luas perkebunan sawit ilegal yang bisa diambil alih oleh negara pengelolaannya untuk meningkatkan pendapatan negara dari sawit tanpa perlu membuka hutan.
Dengan pengambilalihan lahan perkebunan sawit ilegal tersebut, pemerintah bisa membagikan ke rakyat, tiap kepala keluarga petani di sekitar kawasan perkebunan akan mendapat lahan 2 hektare sesuai amanah UU Pembaruan Agraria.
Dalam konteks Sumatera Utara, salah satu kasus perkebunan sawit ilegal yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah penguasaan lahan secara ilegal seluas 47.000 hektare di kawasan hutan Register 40 Padang Lawas oleh PT Torganda.
Kawasan Register 40 merupakan hutan negara yang memiliki fungsi vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Penguasaan ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat sekitar atas manfaat hutan.
Kerugian negara akibat penguasaan ilegal kawasan ini mencapai triliunan Rupiah—sumber daya yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pid/2006, lalu kemudian Peninjauan Kembali N 39 PK/Pid/2007 tertanggal 16 Juni 2008; menyatakan D.L. Sitorus sebagai Direktur Utama PT Torganda terhukum penjara delapan tahun, denda Rp5 miliar.
Dalam amar putusan Nomor 2642/K/PID/2006 juga dinyatakan tanah yang selama ini dikuasai Torganda, merupakan lahan negara. Bahkan MA menyatakan, lahan seluas 47.000 hektare dalam Register 40 beserta isi disita oleh negara.
Namun putusan tersebut sampai tahun 2025 ini belum dieksekusi. Perusahaan tetap beroperasi di lahan yang merambah kawasan hutan Register 40. Seharusnya sejak 2006 atau ketika putusan MA keluar, keuntungan perusahaan ilegal itu diberikan kepada negara.
Kita hitung saja sejak putusan MA sampai 2025 ini, berapa keuntungan yang diraup dari sana. Jika lahan 47.000 hektare tersebut menghasilkan keuntungan Rp1 juta saja per hektarenya setiap bulan. Maka dalam sebulan menghasilkan Rp47 miliar atau Rp564 miliar per tahun. Artinya sejak 2006 hingga sekarang lahan perkebunan ilegal tersebut telah menghasilkan minimal Rp10 triliun!
Menyelaraskan dengan semangat Presiden Prabowo menjadikan sawit sebagai komoditi dan aset strategis nasional, sudah seharusnya pihak terkait seperti Polda Sumut, Kejaksaan Tinggi Sumut untuk segera melanjutkan eksekusi hukum atas kawasan Register 40 di Padang Lawas, Sumatera Utara, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA).
Keputusan MA pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa lahan Register 40 adalah milik negara dan harus dikembalikan, merupakan langkah penting dalam upaya menjaga kedaulatan hukum dan kelestarian lingkungan.
Begitu juga kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan (dulu KLHK) harus segera mengambil langkah tegas dalam eksekusi kawasan Register 40, bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memastikan keputusan MA dilaksanakan tanpa hambatan.
Terakhir kali KLHK terdengar membahas rencana eksekusi lahan Register 40 ini adalah pada tahun 2015 pada saat dipimpin Siti Nurbaya bersama Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan, namun akhirnya rencana tersebut tidak pernah dieksekusi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus mengusut tuntas potensi tindak pidana korupsi yang menyebabkan tertundanya eksekusi ini. Aparat penegak hukum mesti bersikap adil tanpa pandang bulu, termasuk kepada korporasi besar yang terindikasi melanggar hukum di kawasan tersebut.
Putusan MA ini sudah terlalu lama tidak diindahkan, dan semakin lama akan semakin memperbesar kerugian negara, tidak hanya secara ekonomi, namun juga soal kewibawaan hukum dan marwah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peran berbagai elemen seperti media massa, masyarakat sipil, dan organisasi lingkungan sangat dibutuhkan untuk tetap mengawal isu ini, hingga sumber daya alam Indonesia terlepas dari penguasaan ilegal segelintir pengusaha.
Mari bersama-sama menjaga kedaulatan hukum dan melindungi hutan kita untuk keberlanjutan bangsa.
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Kebijakan Sumatera Utara
© Copyright 2025, All Rights Reserved